Palestina dalam Dekapan Bandung
Di Bandung, seruan solidaritas bagi perjuangan rakyat Palestina sudah terdengar sejak 66 tahun lalu. Nama Palestina selalu memiliki tempat khusus di kota ini.
Penulis Tri Joko Her Riadi11 Mei 2021
BandungBergerak.id - Bentrokan yang terjadi di Masid Al Aqsa, Yerusalem dalam beberapa hari terakhir, yang membuat ratusan orang warga Palestina terluka, menggemakan kembali seruan solidaritas dari berbagai penjuru dunia. Di Bandung, seruan serupa sudah terdengar sejak 66 tahun lalu. Nama Palestina selalu memiliki tempat khusus di kota ini.
Dalam gelaran Konferensi Asia Afrika 1955, 18- 24 April 1955, pada delegasi yang hadir mewakili lima negara sponsor dan 24 negara peserta sepakat mencantumkan sikap atas apa yang terjadi di Palestina sebagai bagian dari komunike final. Konflik berkepanjangan di Timur Tengah ini dikhawatirkan “dapat membahayakan perdamaian dunia”.
Tidak berhenti menjadi ekspresi keprihatinan, suara antipenjajahan dari jantung Kota Bandung ini secara jelas memberikan dukungan bagi warga Palestina.
“… Konferensi Asia Afrika menyatakan dukungannya terhadap hak-hak penduduk Arab Palestina dan menyerukan agar resolusi tentang Palestina dilaksanakan serta dicapainya penyelesaian damai persoalan Palestina,” demikian bunyi pertanyataan bersama tersebut.
Baca Juga: Tadarus Teks Pidato Sang Penggagas Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika, Paul Tedjasurja, dan Buruknya Pengarsipan Kita
Perdebatan
Pembahasan tentang Palestina dalam Konferensi Asia Afrika 1955 berlangsung alot. Ada diskusi dan bahkan perdebatan antardelegasi sebelum rumusan kalimat dalam komunike final itu disepakati.
Dalam bukunya Konferensi Asia Afrika 1955: Asal Usul Intelutal dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimpialisme (2017), Wildan Sena Utama mengulas bagaimana proposal tentang masalah Palestina yang disodorkan Afganistan ditanggapi secara beragam oleh para delegasi. Zhou Enlai secara tidak terduga menyampaikan dukungan Tiongkok pada Palestina dan bahkan meminta agar rumusan konsensus dibuat lebih tegas.
Para degelasi negara-negara Arab mendorong agar zionisme Israel digolongkan sebagai “imperialisme yang kejam”. Sementara itu, perwakilan Burma dan India memilih bersikap moderat. Jawaharlal Nehru menyetujui bahwa zionisme merupakan langkah agresif, tapi ia juga meminta para peserta kongres untuk tidak melupakan penderitaan orang Yahudi di era Hitler.
“Satu-satunya perubahan dari proposal asli Afganistan adalah kalimat terakhir yang mengacu pada implementasi resolusi PBB,” tulis Wildan.
Dalam kesimpulannya, Wildan Sena Utama berpendapat bahwa warisan terpenting Konferensi Asia Afrika 1955 “tidak hanya bersifat institusional, tetapi juga edukasional dan normatif”. Ia merincinya menjadi dua fungsi edukasional dan tiga fungsi normatif.
Dua fungsi edukasional itu adalah munculnya pemahaman yang lebih utuh dan realtistis dalam diri para peserta delegasi serta terbukanya dialog antara Tiongkok dengan negara-negara non-komunis.
Sementara itu, tiga fungsi normatif konferensi yang berlangsung selama sepekan ini terdiri dari artikulasi prinsip-prinsip dasar berperilaku dalam hubungan internasional, melunaknya konflik ideologis, serta saling akomodasi yang didorong oleh pendekatan sintesis kreatif.
Wildan menyebut satu lagi pengaruh penting Konferensi Asia Afrika 1955 yang perlu diteliti lebih jauh. Fakta sejarah menyebutkan, dalam kurun 1957-1962, ada 25 negara di Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
“Tidak sedikit para pejuang Afrika yang mendapatkan momentum antikolonialismenya dari euforia KAA,” tulis peneliti lulusan Universitas Leiden, Belanda tersebut.
Kalau seruan dari Bandung 66 tahun lalu itu begitu keras gaungnya di negara-negara Afrika, lain ceritanya di Palestina. Sampai hari ini warganya masih harus hidup dalam impitan kecamuk konflik yang seolah tiada ujungnya.
Palestine Walk
Dalam setiap peringatan Konferensi Asia Afrika, entah di Jakarta maupun Bandung, solidaritas terhadap Palestina nyaris selalu disebut. Dalam tidak sedikit forum internasinal, perwakilan Indonesia juga tidak luput menyampaikan seruan itu. Ia seperti utang janji yang tidak kunjung terlunasi.
“Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya," begitu pernyataan termutakhir dari Presiden Joko Widodo dalam rekaman pidato yang diputar di Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara virtual, Rabu (23/9/2020).
Di Bandung, solidaritas bagi perjuangan Palestina diawetkan dalam bentuk taman sepanjang 100 meter yang membelah Jalan Alun-alun timur. Diresmikan pada 13 Oktober 2018, taman peringatan tersebut dinamai Palestine Walk: Road to Freedom (Setapak Palestina: Jalan Menuju Kebebasan).
Wali Kota Bandung Oded M. Danial, dalam siaran persnya, menyebut Palestine Walk sebagai simbol dukungan Indonesia terhadap Palestina yang sekaligus menjadi monumen persahabatan kedua negara.
“Dengan memohon rahmat Allah SWT, kita berharap Palestina akan segera merdeka," tutur Oded yang di hari peresmian itu didampingi oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki.
Peresmian Palestine Walk merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Indonesian Solidarity Week for Palestine yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 13-17 Oktober 2018.
“Dukungan bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur hingga rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya. Palestina selalu ada dalam nafas diplomasi Indonesia," ucap Menlu Retno.
Mengapresiasi tinggi solidaritas warga Bandung dan Indonesia, Menteri Riad menyampaikan salam dan doa dari masyarakat Palestina “yang setiap hari, setiap jam, setiap detik terus berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan”.
"Tahun 1955 saya lahir, dan hari ini saya berdiri di tempat bersejarah ini. Percayalah, pada 1955 Bandung telah mengubah dunia. Maka, langkah ini juga dapat membantu kami untuk mengubah dunia dan semakin mendekatkan kami pada kemerdekaan," katanya.
Tidak ada yang menyangkal Konferensi Asia Afrika 1955 sebagai sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Ia, menurut Wildan Sena Utama, menjadi "sebuah landmark melawan ketidakadilan politik global".
Namun, usaha menemukan relevansi konferensi monumental itu pada peristiwa global hari ini tidak cukup berupa acara simbolik. Apalagi sekadar pernyataan atau pidato. Seperti para pejuang di pulunan negara Afrika yang bertarung merebut kemerdekaan setelah terinspirasi oleh Semangat Bandung, yang mendesak dilakukan adalah tindakan.