• Narasi
  • Maya dan Nyata, Indung Braga Berjaga

Maya dan Nyata, Indung Braga Berjaga

Indung Braga Berjaga mengelola pengetahuan lokal warga Kampung Braga, menyiapkan mitigasi bencana ancaman banjir.

Manuella Princessa Harefa & Theo Frids Hutabarat

Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Karya Indung Braga Berjaga (Foto: Terap Festival)

31 Desember 2024


BandungBergerak.id – Sebagai kawasan yang sering dikunjungi oleh para turis, Braga memiliki sisi yang jarang dijumpai. Pada 11 Januari 2024 lalu terjadi banjir bandang di wilayah Kampung Braga. Banjir tersebut disebabkan curah hujan yang tinggi dan mengakibatkan tanggul Sungai Cikapundung jebol. Banjir terjadi di kawasan Braga, khususnya di Kampung Braga RT 03, 04, 05, dan RW 08 yang padat penduduk. Banjir tersebut bukanlah banjir besar pertama yang terjadi di wilayah Kampung Braga. Sebelumnya, seperti yang diberitakan oleh Detik News pada Rabu, 25 Maret 2009, wilayah Kampung Braga juga pernah dilanda banjir besar yang merendam rumah warga dengan kedalaman lebih dari 1 meter. Mirisnya, menghadapi bencana yang kerap terjadi, Kota Bandung belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), apalagi memiliki regulasi terkait mitigasi bencana banjir.

Pada Bandung Dance Meeting (BADAMI) Vol. 4 yang bertajuk Refleksi Karya “Indung Braga Berjaga” yang dilaksanakan pada 26 Agustus 2024 lalu, Agni Ekayanti, selaku fasilitator penulisan naskah, menceritakan proses penciptaan karya yang berangkat dari simulasi penanggulangan bencana banjir berbasis pengetahuan lokal, Indung Braga Berjaga. Dalam karya ini, Agni bertugas untuk mengelola alur karya dari awal sampai akhir. Tidak sendiri, bersama dengan Tazkia Hariny, Irfanuddien Ghozali, dan Fajar Riyanto, mereka memosisikan diri sebagai “teman” dari ibu-ibu PKK Kampung Braga, sembari menggali data dan menyusun skenario mitigasi bencana banjir dari perspektif ibu-ibu. Karya yang ditampilkan pada 3 Agustus 2024 sebagai bagian dari Terap Festival tersebut dilakukan bersama Gymnastic Emporium, Hot Mamah Dance Club, dan Ibu-ibu PKK Kampung Braga. Indung Braga Berjaga me-reka-ulang situasi penyelamatan diri dari banjir yang terjadi dan membuat simulasi penanggulangan bencana berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki Ibu-ibu PKK Kampung Braga.

Pengetahuan lokal adalah sesuatu yang dimiliki sekelompok masyarakat sebagai akibat dari hubungan timbal balik dengan lingkungannya dan memiliki sifat yang sangat khas (Rosyadi, 2014). Pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang sangat kontekstual karena diperoleh sebagai bagian dari proses bertahan hidup manusia. Inilah jenis pengetahuan yang dimiliki oleh warga Kampung Braga sebagai dampak dari tinggal di wilayah yang rawan bencana banjir.

Ocha, salah satu dari ibu PKK yang terlibat Indung Braga Berjaga, menceritakan situasi ketika banjir tersebut terjadi. Dirinya mengaku telah berupaya untuk menyelamatkan diri, keluarga,  beserta dengan surat-surat penting lainnya. Ocha menceritakan perasaan paniknya ketika ia berupaya menyelamatkan diri dan memastikan keluarganya aman di saat yang bersamaan. Perasaan bingung dan kelimpungan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diselamatkan, tertumpuk bersama kekhawatiran tentang bagaimana nasib harta benda, dan bagaimana nasib warga lain. Perasaan-perasaan semacam itu mendorong Ocha dan ibu-ibu PKK Kampung Braga lainnya untuk terlibat dalam karya Indung Braga Berjaga. Melalui penciptaan karya tersebut, pemahaman warga menjadi lebih terbuka terkait apa yang harus dilakukan ketika banjir, apa yang harus diselamatkan, bagaimana rute evakuasi, dan memiliki kesadaran terkait pentingnya mitigasi bencana.

Karya Indung Braga Berjaga (Foto: Terap Festival)
Karya Indung Braga Berjaga (Foto: Terap Festival)

“Indung Braga Berjaga”

Seni, dalam kapasitasnya sebagai pengalaman artistik, menyentuh batin dan mendorong manusia untuk kembali mempertanyakan isu-isu yang diangkat dalam karya, atau menyadari kembali apa yang telah luput. Dalam sifatnya yang metaforis, seni menjadi sesuatu yang universal. Dengan itu, seni bergaung di berbagai kalangan masyarakat dan bersifat sosial. Dalam seni yang penting bukanlah what it means, melainkan what it does. Memang, dalam proses penciptaannya, seni berisiko mengabaikan fakta yang dapat atau bahkan perlu untuk diabaikan. Sesungguhnya, seni hanya mengangkat sebagian kecil dari suatu pengalaman partikular, untuk diolah dan dijadikan karya. Namun melaluinya, seni berbicara secara universal dan membawa dampak yang nyata.

Kapasitas metaforis dari karya seni ini pada dasarnya adalah fiksi yang bersifat maya. Namun yang maya ini terus berkelindan dengan yang nyata, bahkan berpotensi menghadirkan kenyataan eksistensial yang sebelumnya tak tercerap. Peleburan antara yang maya dan yang nyata inilah yang tampak dalam karya Indung Braga Berjaga. Bentuk karya Indung Braga Berjaga sendiri berupa koreografi yang diadaptasi dari gerak keseharian ibu-ibu PKK Kampung Braga, yang dibalut dengan dramaturgi teater proses penyelamatan diri dalam situasi banjir. Dramaturgi yang dihadirkan karya ini memiliki dimensi yang menarik. Dalam karya tersebut, terjadi peleburan antara penonton dan karya itu sendiri. Penonton barangkali merasa dirinya berada di luar karya, namun dalam skenario karya, penonton merupakan bagian dari karya tersebut, sehingga batas antara penonton, pencipta, dan karya menjadi kabur.

Apabila sebuah karya seni memiliki kapasitas untuk membentuk realitas fiktif yang bersifat maya, penonton Indung Braga Berjaga tidak secara jelas merasakan realitas maya tersebut. Penonton tetap merasa menonton sesuatu yang maya, namun dirinya adalah sesuatu yang nyata. Di sisi lain, tidak semua penonton sepenuhnya menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari karya yang turut diperhitungkan dan diantisipasi keberadaannya. Tanpa partisipasi mereka, karya Indung Braga Berjaga akan kehilangan relevansinya.

Dilihat dari perspektif tersebut, penulis yang tidak hadir dalam presentasi Indung Braga Berjaga menempati posisi yang spesifik, yaitu sebagai saksi bagi berbagai kesaksian. Berbagai cerita, dokumentasi, dan representasi media sosial mengenai karya Indung Braga Berjaga menjadi pintu masuk untuk melihat karya tersebut dari suatu jarak. Melalui sesi diskusi BADAMI dan sesi kunjungan lapangan kelas Seni Sosial, Seni Lingkungan di Universitas Katolik Parahyangan, penulis dipapar pada kesaksikan Agni dan Ocha mengenai proses penciptaan Indung Braga Berjaga yang mereka jalani: bagaimana ingatan mengenai bencana banjir dibingkai melalui proses penciptaan Indung Braga Berjaga, bagaimana peran krusial ibu-ibu pada saat banjir terjadi, serta bagaimana bencana banjir yang dipenuhi kepanikan dan kedukaan, beralih bentuk menjadi koreografi bernuansa senam yang festive.

Namun, trauma warga Kampung Braga akibat bencana banjir merupakan kenyataan yang tak terhindarkan. Dalam BADAMI Refleksi Karya “Indung Braga Berjaga”, trauma tersebut dicoba untuk diartikulasikan. Dengan bantuan dari psikolog profesional, ibu-ibu PKK Kampung Braga mencoba untuk merefleksikan kembali ingatan mereka akan bencana banjir melalui pengalaman penciptaan Indung Braga Berjaga. Seni menjadi sesuatu yang kontemplatif. Meski sifatnya maya, seni membawa efek yang nyata. Tidak dapat dipungkiri, perasaan sedih tertanam dalam diri warga Kampung Braga yang menjadi korban bencana banjir. Dalam hal ini, seni dapat menjadi proses pembersihan diri atau katarsis bagi para ibu PKK Kampung Braga dan korban bencana banjir lainnya. Melalui karya Indung Braga Berjaga, ingatan dan pengalaman warga akan bencana banjir menjadi suatu refleksi yang intens.

BADAMI Vol. 4 Refleksi Karya Indung Braga Berjaga. (Foto: Dokumentasi Ars TV)
BADAMI Vol. 4 Refleksi Karya Indung Braga Berjaga. (Foto: Dokumentasi Ars TV)

Mitigasi Bencana Banjir di Brga

Dilandasi pengetahuan warga terkait titik-titik di mana air masuk dan membanjiri wilayah kampung, serta pengetahuan terkait penataan pemukiman yang padat, kini wilayah Kampung Braga telah memiliki jalur evakuasi. Papan-papan bertuliskan “titik kumpul” mulai tersebar di wilayah yang dinilai aman. Warga Kampung Braga pun menjadi teredukasi akan pentingnya mitigasi bencana, dan pentingnya mengetahui jalur evakuasi. Karya Indung Braga Berjaga menembus sifat mayanya sebagai suatu karya seni yang berupa ciptaan dan memberikan dampak nyata terkait kehidupan masyarakat Kampung Braga. Dalam hal ini, Indung Braga Berjaga menjadi suatu pengolahan pengetahuan lokal, yang menjadi tindakan preventif terhadap bencana banjir yang mungkin akan datang di kemudian hari.

Penyelenggaraan karya ini juga bertujuan untuk menarik perhatian Pemerintah Daerah untuk membuka mata terhadap situasi warga dan segera membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandung. Sebagai bantuan tanggap bencana saat banjir terjadi, beberapa partai politik mengirimkan makanan, barang, dan bantuan lain, yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan warga setempat. Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan sebagai sebuah gerakan kemanusiaan, melainkan suatu tindakan politis. Bantuan yang dikirimkan memiliki tujuan kampanye dan diberikan hanya kepada masyarakat yang mendukung partai politik tertentu.

Di tengah kompleksitas sosial ini, Indung Braga Berjaga tidak hanya menawarkan sebuah karya yang berdampak secara langsung bagi kehidupan warga Kampung Braga yang terkena banjir, seperti yang tampak dengan adanya papan bertuliskan “titik kumpul” atau “jalur evakuasi” yang sekarang tersebar di daerah tersebut. Lebih dari itu, karya Indung Braga Berjaga juga menawarkan dampak dalam dimensi yang tak tampak, dengan menjadi wahana untuk membersihkan diri dari trauma-trauma yang terpendam. Indung Braga Berjaga hadir sebagai bentuk pengelolaan pengetahuan lokal, yang digunakan untuk kebaikan masyarakat lokal itu sendiri. Melalui karya Indung Braga Berjaga, masa lalu para ibu-ibu PKK Kampung Braga dialami kembali, di saat yang sama membentuk masa depan yang diciptakan sekarang.

Melalui dramaturgi yang membuka diri bagi partisipasi penonton dan berbagai kemungkinan interpretasi yang menyertainya, karya Indung Braga Berjaga memperlihatkan kapasitas seni untuk menjadi bagian dari realitas kompleks di kawasan Braga, bahkan setelah karya itu selesai dipresentasikan. Penyelenggaraan BADAMI Refleksi Karya “Indung Braga Berjaga” turut mengamplifikasi kapasitas dan dampak karya tersebut, baik secara artistik, etik, maupun politik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karya Indung Braga Berjaga telah melampaui dirinya sendiri dan sifat-sifatnya yang maya dan memantik berbagai kesadaran dan ke-nyata-an baru.

*Tulisan ini merupakan bagian dari program pengabdian Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) berkolaborasi dengan Bandung Dance Meeting (BADAMI)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//