Peran Media di Pusaran Aksi Demonstrasi di Indonesia
Membaca keberpihakan media di angkaian gerakan sosial di Indonesia, mulai dari Peringatan Darurat, Indonesia Gelap, dan gelombang protes besar di Agustus-September.

Detta Rahmawan
Dosen peneliti dari Pusat Studi Komunikasi Media, Budaya dan Sistem Informasi Fikom Unpad
9 Desember 2025
BandungBergerak - Aksi demonstrasi #PeringatanDarurat di bulan Agustus 2024, #IndonesiaGelap di bulan Februari 2025, dan gelombang protes besar di Agustus-September 2025 adalah rentetan aksi kolektif dan protes publik berskala besar di Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan. Ketiga aksi ini merupakan bentuk kulminasi kekecewaan dan frustrasi publik pada berbagai permasalahan yang menyeruak pada transisi akhir pemerintahan Jokowi-Ma’Aruf Amin dan awal pemerintahan Prabowo-Gibran.
Tiga aksi ini dikatakan sebagai penanda gerakan sosial yang lebih bersifat “rizomatik” dan sering diatribusikan pada peran sentral anak muda. Ada juga upaya-upaya konsolidasi organisasi masyarakat sipil dan kelas pekerja, juga dari kelas menengah, meskipun masih banyak kritik soal kelas menengah yang sering kali dipandang antipolitik praktis, dan terlalu lemah untuk menantang kepentingan yang bersifat anti demokratis.
Meningkatnya pembicaraan tentang “gerakan sosial”, sering muncul saat terjadi aksi protes, demonstrasi, atau turunnya massa ke jalanan untuk menyuarakan tuntutannya. Pada kondisi ini, Liputan media arus utama tetap menjadi salah satu kanal informasi utama terkait keberadaan gerakan, menjelaskan tuntutan publik dan dinamika serta kronologinya. Hal ini selaras dengan pendapat Gamson & Wolfsfeld (1993), bahwa media dan gerakan sosial layaknya sebuah sistem yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lain. Akan tetapi, pemberitaan sering mengacu pada “paradigma protes” yang memperlihatkan penggambaran aksi secara negatif. Hal ini muncul dari pemberitaan yang kerap mendelegitimasi gerakan, berfokus pada insiden yang terisolasi seperti kericuhan, dan bergantung pada pernyataan resmi pemerintah atau aparat.
Gerakan Sosial sebagai Identitas, Ketimbang Sekadar “Aksi Protes”
Paradigma protes telah dikritik karena analisisnya berfokus pada kericuhan yang terjadi, konfrontasi antara peserta aksi dan aparat, serta melihat aksi sebagai tontonan dan fokus pada kejadian dramatis, sehingga kerap melupakan analisis yang lebih mendalam tentang substansi dan legitimasi gerakan. Berbeda dengan konsep “paradigma protes” yang menelusuri pemberitaan dengan kata kunci “protes”, “kerusuhan”, “demonstrasi” dll, kami memilih untuk berfokus pada tiga komponen bingkai aksi kolektif dari Snow dan Benford (1988).
Tiga bingkai tersebut yaitu; pertama, bingkai “diagnostik” tentang identifikasi masalah dan menunjuk pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut. Kedua, bingkai “prognostik” yang berfokus pada penelusuran solusi dari masalah yang telah terdiagnosis sebelumnya. Ketiga, bingkai “motivasional” berisi seruan untuk terlibat dalam pemecahan sebuah masalah. Riset kami juga mengeksplorasi keberadaan nama, simbol, tagar, maupun penyebutan tertentu yang membentuk “identitas kolektif” dari gerakan sosial seperti tagar #PeringatanDarurat dan simbol garuda biru, tagar #IndonesiaGelap dan simbol garuda hitam, hingga berbagai tagar dan simbol yang muncul sepanjang aksi Agustus-September.
Dalam penelitian analisis isi yang kami lakukan, 371 artikel terkait aksi #PeringatanDarurat, 367 artikel untuk aksi #IndonesiaGelap, dan 360 artikel untuk aksi Agustus-September dipilih secara acak sebagai sampel penelitian.

Fungsi Explanatory dan Simpati pada Aksi
Pada tiga aksi yang kami analisis, bingkai diagnostik dan prognostik mendominasi pemberitaan, dan bingkai motivasional paling sedikit ditemukan. Dalam konteks identifikasi masalah, meskipun secara proporsi terdapat kemiripan antara pemberitaan tiga aksi, terdapat beberapa perbedaan seperti; identifikasi masalah pada aksi #PeringatanDarurat sangat terfokus pada isu tunggal, yaitu revisi UU Pilkada, sedangkan pada aksi #IndonesiaGelap, dan aksi Agustus-September, identifikasi masalahnya sangat beragam. Hal ini menunjukkan bahwa ketika gerakan sosial dan aksi kolektif muncul, media arus utama di Indonesia masih berfokus pada upaya penjelasan permasalahan yang ada serta solusinya, menitikberatkan fungsi explanatory journalism.
Menariknya, dari segi posisionalitas pemberitaan, lebih dari separuh pemberitaan yang berfokus pada tiga aksi dengan keunikan identitas dan konteks masing-masing gerakan, cenderung bersimpati kepada aksi dan menggambarkan aksi secara positif alih-alih antipati atau menggambarkan aksi secara negatif. Pemberitaan simpatik menggambarkan aksi dengan kata-kata kunci seperti “menyerukan” dan “menyampaikan” tuntutan maupun aspirasi, dan desakan pada pihak-pihak yang menjadi objek protes. Berbagai penggambaran “solidaritas” juga muncul dan memperlihatkan berbagai pihak yang mendukung aksi dari pihak mahasiswa, selebritis, hingga influencer media sosial.
Temuan ini melengkapi berbagai kajian tentang pemberitaan aksi protes di media, dengan memperlihatkan bahwa berbagai demonstrasi dan aksi massa dengan segala dinamikanya perlu dilihat sebagai bagian dari gerakan sosial dan aksi kolektif yang berkelanjutan ketimbang berfokus pada demonstrasi, kerusuhan, atau hal-hal dramatis yang terjadi dalam rangkaian aksi.

Baca Juga: Ketika Pengetahuan Turun dari Menara Gading: Pelajaran dari The Conversation Indonesia untuk Ruang Publik Kita
Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat
Media sebagai Penjaga Momentum Gerakan
Temuan kami juga berupaya menggambarkan sisi lain dari tudingan bahwa media selalu berpihak pada status quo dan penguasa, alih-alih berpihak pada publik. Bias media yang memandang aksi protes secara negatif sempat ramai diperdebatkan dalam diskusi di X/Twitter tentang liputan media CNN pada aksi protes #IndonesiaGelap. Kemudian, beberapa netizen juga mencermati 'bungkamnya' salah satu tokoh media Narasi Najwa Shihab terkait aksi #IndonesiaGelap, hingga redaksi Narasi perlu mengumumkan sikap mereka terhadap berbagai isu-isu publik terkini. Berbagai reaksi ini, serta adanya ketakutan akan “melunaknya” media yang mencuat setelah acara undangan Presiden Prabowo Subianto kepada tujuh jurnalis pada 6 April 2025, jelas menunjukkan adanya ‘harapan’ dan ‘ekspektasi’ publik soal peran media dalam menggambarkan gerakan sosial dan aksi protes warga.
Simbiosis mutualisme antara media dan publik menjadi krusial, di tengah kondisi demokrasi yang terus terancam. Perhatian publik pada media perlu dijawab para pengelola media dengan tidak memaksakan diri menjadi “netral” atau menjadi corong pejabat pemerintah pada isu-isu yang menjadi kontroversi dan mengundang protes warga. Kajian kami tentang munculnya konsep “playful activism” saat isu-isu publik dibicarakan secara lebih kreatif dalam gerakan protes peringatan darurat, juga memperlihatkan bagaimana media masih berfungsi sebagai rujukan untuk penjelasan isu terkini, dan bagaimana berbagai cara berkomunikasi satir yang dilakukan terutama di media sosial mendapatkan simpati karena timbul kesan dukungan media kepada publik.
Oleh karena itu, sesuai dengan fungsi explanatory journalism, media perlu meningkatkan kapasitasnya dalam menghadirkan liputan yang lebih bersifat tematik dengan menjelaskan duduk permasalahan dari sebuah isu secara mendalam, mengulas kronologi keresahan publik, dan memberi ruang lebih berimbang pada narasumber nonpemerintah. Peningkatan kualitas liputan investigatif, penguatan independensi editorial, dan mencoba berbagai cara penuturan kreatif di media sosial agar agar liputan dan pemberitaan mereka lebih relevan dalam percakapan warganet menjadi prasyarat penting agar media semakin aktif terlibat dalam praktik demokrasi.
Dengan cara ini, media dapat berperan sebagai pihak yang merawat ingatan kolektif, menyediakan ruang dan menjelaskan konteks bagi keresahan warga, serta membuka peluang penggambaran gerakan sosial sebagai bentuk partisipasi aktif yang terus berkembang serta beresonansi di ruang publik.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

