Ketika Pengetahuan Turun dari Menara Gading: Pelajaran dari The Conversation Indonesia untuk Ruang Publik Kita
Ruang publik kita telah lama dijajah oleh suara paling lantang, bukan suara yang berbasis bukti.

Mang Sawal
Praktisi komunikasi dan pembelajar pada Program Doktoral Unisba dengan fokus pada komunikasi sains. Aktif di berbagai kegiatan edukasi publik.
8 Desember 2025
BandungBergerak.id – Pagi itu, seorang ibu di Bandung membuka grup WhatsApp keluarga. Pesan itu pendek, tetapi cukup untuk membuatnya cemas: “Vaksin bikin cacat, jangan percaya rumah sakit.” Ia menatap anaknya yang masih balita. Seperti banyak ibu lain yang merasa tersesat di tengah banjir informasi, ia membuka Google. Di sana ia menemukan di antara banyak postingan, sebuah link platform TikTok dengan judul sederhana: “Mengapa vaksin tidak berbahaya: ini kata dokter ahli.”
Bahasanya tidak seperti jurnal ilmiah yang kaku. Tidak ada jargon Latin. Tidak ada nada menggurui. Yang tampil seorang profesor, tetapi seolah bicara dari kursi sebelah di Angkutan Kota. Di akhir postingan, ada tulisan: sumber dana penelitiannya, afiliasi kampus, dan potensi konflik kepentingan. Informasi itu membuatnya tenang, lebih tenang daripada ratusan pesan berantai yang bertahun‑tahun meracuni grup keluarga.
TikTok itu ia kirim ulang ke grup WhatsApp yang sama. Percakapan berubah arah. Malam itu, ia memutuskan membawa anaknya vaksinasi. Dalam cerita kecil seperti inilah sebuah platform bernama The Conversation Indonesia (TCID) menemukan makna paling sederhananya: membuat pengetahuan sulit menjadi percakapan yang memungkinkan orang membuat keputusan yang lebih baik.
Bagi sebagian orang, itu hal kecil. Bagi demokrasi, itu krusial.
Baca Juga: Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia
AI dan Renungan tentang Kemanusiaan
Ketika Alam Enggan Bersahabat dengan Kita, Saatnya Mengingat Percakapan yang Terlupakan
Ketika Pengetahuan Tak Lagi Dimiliki Segelintir Orang
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan pengetahuan, tetapi sangat miskin akses terhadapnya. Pengetahuan akademik berputar di ruang‑ruang formal: kelas, jurnal berbayar, seminar tertutup, dan abstrak ilmiah yang dibuat bukan untuk publik. Sementara itu, ruang publik digital kita dipenuhi hoaks, pseudosains, dan influencer yang lebih cepat dipercaya daripada profesor yang telah meneliti selama berpuluh tahun.
Ada jurang yang lebar antara dunia akademik dan masyarakat. Jurang itulah yang coba dijembatani TCID sejak September 2017.
Mengapa jurang itu lahir? Karena pola komunikasi sains kita lama terjebak dalam deficit model: publik dianggap “kosong” dan perlu “diisi” oleh ilmuwan. Model itu menggiring ilmuwan berbicara ke bawah, bukan berdialog ke samping. Padahal, publik tidak anti‑sains. Mereka hanya tidak percaya pada cara pengetahuan disampaikan.
Di sinilah TCID mengambil posisi yang berbeda: mereka tidak datang sebagai pengkhotbah, tapi sebagai fasilitator percakapan.
Lima Pilar yang Mengubah Cara Kita Menerjemahkan Pengetahuan
Dalam delapan tahun perjalanannya, ada lima pilar yang menjelaskan mengapa TCID mampu menembus ruang publik dengan cara yang jarang dilakukan media mana pun, bahkan media sains sekalipun.
1. Kurasi Ketat, Dua Keahlian Bertemu
Setiap penulis harus akademisi dengan rekam jejak penelitian. Tetapi setiap artikel juga harus melewati penyuntingan jurnalis profesional. Yang satu menjaga ketepatan, yang lain menjaga keterbacaan. Inilah kombinasi yang tidak dimiliki blog ilmuwan maupun portal berita media arus utama.
Hasilnya bukan sekadar “artikel ilmiah” melainkan jurnalisme sains.
2. Transparansi Radikal
Pernyataan konflik kepentingan bukan formalitas, melainkan etika. Dalam era pasca‑kebenaran, transparency is trust. Publik tidak hanya ingin tahu apa yang ditulis, tetapi siapa yang menulisnya dan mengapa kita harus percaya.
TCID menjadikan itu standar.
3. Creative Commons: Pengetahuan yang Tidak Dikunci
Setiap artikel boleh direpublikasi siapa pun. Gratis. Dengan atribusi. Akibatnya, satu artikel bisa muncul di puluhan media dan mencapai jutaan pembaca. Ini penerapan prinsip communalism ala Merton: pengetahuan adalah milik bersama.
Di Indonesia, ini revolusioner.
4. Aktual Tapi Tidak Dangkal
Ketika banjir bandang terjadi, TCID tidak memuat foto dramatis atau kutipan pejabat. Mereka menerbitkan analisis hidrologi dan tata kota dalam 48 jam. Ketika Pemilu berlangsung, mereka tidak bermain quick count, mereka membedah sistem elektoral dan dinasti politik.
Di sini, aktualitas bukan kompetisi kecepatan, melainkan kesempatan memperdalam percakapan.
5. Investasi pada Akademisi
TCID tidak hanya mempublikasikan artikel. Mereka melatih peneliti agar mampu berbicara ke publik. Lebih dari 800 akademisi telah mengikuti pelatihan mereka sejak 2018. Hasilnya: lahir generasi peneliti yang percaya diri berbicara langsung ke depan publik awam tanpa mengejar angka kumulatif.
Pengetahuan, Kekuasaan, dan Ruang Publik yang Retak
Riset Nurhalida dkk. (2020) menyebut TCID sebagai “media baru yang membuka ruang publik ilmiah tanpa meninggalkan etika jurnalistik.” Sementara Abrar dkk. (2024) menemukan bahwa pola argumentatif artikel TCID selalu memadukan konteks aktual, bukti ilmiah, dan implikasi jangka panjang, sebuah struktur yang jarang dilakukan media lain.
Namun keberhasilan TCID justru menyoroti masalah yang lebih besar: ruang publik kita telah lama dijajah oleh suara paling lantang, bukan suara yang berbasis bukti. Kita dijejali debat politik dangkal, teori konspirasi, dan tokoh publik yang membangun pengaruh dari emosi, bukan kenyataan.
Di tengah kegaduhan ini, TCID menawarkan sesuatu yang sederhana: jeda untuk berpikir.
Tetapi jeda semacam itu tidak datang tanpa perlawanan. Ada resistensi dari kultur akademik yang memuja jurnal internasional dan meremehkan tulisan populer. Ada tantangan pendanaan karena TCID memilih tetap nirlaba. Ada bias algoritma yang selalu memprioritaskan konten sensasional, bukan konten mendalam.
Maka pertanyaannya: Apakah ruang publik kita masih punya tempat bagi percakapan berbasis bukti?
Mengapa Kita Harus Mengambil Pelajaran dari TCID
Kisah TCID bukan hanya kisah media alternatif. Ia adalah cermin kecil dari apa yang dapat terjadi jika pengetahuan membuka pintunya bagi publik.
Esai ini bukan ajakan untuk menjadikan semua akademisi penulis populer. Bukan pula glorifikasi satu platform. Karena banyak media alternatif seperti BandungBergerak atau Digital Mama, yang mengisi ruang-ruang kosong, yang ditinggalkan media arus utama pencari cuan. TCID mengingatkan kita pada sesuatu yang lebih mendasar: demokrasi yang sehat membutuhkan pengetahuan yang mudah diakses dan dipercaya.
Sebab demokrasi yang hidup bukan hanya tentang memilih siapa dan siapa yang memerintah. Demokrasi yang hidup adalah tentang siapa yang bisa bertanya tanpa rasa takut, dan seberapa sering pertanyaan dijawab dengan jujur.
Ketika warga bisa bertanya “buktinya apa?”, dan jawabannya tidak datang dari influencer, melainkan dari orang yang memang meneliti, maka ruang publik kita sedikit lebih waras.
Betul, TCID tidak menyelesaikan masalah disinformasi. Tidak juga menutup jurang literasi. Tetapi ia memberi contoh bahwa pengetahuan bisa diturunkan dari menara gading tanpa hancur oleh populisme digital.
Itu saja sudah langkah besar.
Penutup: Kita Melanjutkan Percakapan
Di tengah algoritma yang memanen kemarahan, di tengah politisi yang lebih sering berbicara daripada mendengarkan, dan di tengah publik yang kelelahan oleh informasi yang saling bertentangan, platform seperti The Conversation Indonesia menunjukkan bahwa percakapan yang berbasis bukti masih mungkin dilakukan.
Namun percakapan itu tidak akan berlangsung tanpa partisipasi warga. Pengetahuan hanya bermakna jika diambil kembali oleh publik yang menggunakannya sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar percaya.
TCID telah membuka jalan. Kini giliran kita untuk melanjutkan percakapannya.
Bukan karena itu mudah. Tetapi karena tanpa percakapan berbasis pengetahuan, demokrasi hanya akan menjadi gema dari suara paling bising.
Di platform TikTok, TCID memiliki 10.7 ribu pengikut, dan postingannya disukai 185.6 ribu pengguna. Ada nyala lilin di ujung sana.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

