• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat

MAHASISWA BERSUARA: Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat

Kekerasan negara tidak pernah muncul sebagai kejutan, tapi sebagai pola berulang yang lahir dari relasi kuasa yang timpang dan ketakutan pemerintah pada warganya.

Rafindra Bhima

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

2 Desember 2025


BandungBergerak.id – Di dunia yang mengaku menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, dan hak asasi manusia, kita tetap hidup dalam kenyataan pahit. Banyak negara masih merasa berhak membungkam suara yang berbeda, sebuah ironi yang menunjukkan bahwa semangat demokrasi sering kali berhenti pada deklarasi semata.  Laporan Freedom House dalam lima tahun terakhir bahkan mencatat penurunan skor kebebasan sipil secara konsisten di lebih dari 60 negara, sebuah pola yang mengindikasikan bahwa kemunduran demokrasi kini menjadi fenomena global dan bukan kasus terisolasi.

Tekanan terhadap demokrasi kini tidak lagi hadir secara halus, melainkan melalui praktik-praktik kekerasan langsung yang semakin normal di banyak negara, seakan represi adalah bahasa politik yang kembali dianggap wajar. Indonesia, sebagai negara yang merepresentasikan diri sebagai negara demokratis, tidak terkecuali dalam kenyataan ini. Beberapa bulan terakhir memperlihatkan bagaimana negara memperkeras upaya meredam kritik, bahkan menghadirkan kekerasan di ruang akademik, yaitu tempat yang seharusnya menjadi zona aman bagi pikiran yang tidak sejalan, tempat yang seharusnya melindungi perbedaan sebagai bagian dari proses intelektual.

Untuk memahami betapa beratnya situasi ini, kita perlu melihatnya melalui sudut pandang yang lebih besar, yaitu perspektif yang mencakup sejarah kekerasan negara, perkembangan hukum kemanusiaan internasional, serta memori kolektif peradaban manusia terhadap kejahatan yang pernah dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri. Kekerasan negara tidak pernah muncul sebagai kejutan, tetapi sebagai pola berulang yang lahir dari relasi kuasa yang timpang dan ketakutan pemerintah terhadap warganya sendiri.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Islam dan Tradisi
MAHASISWA BERSUARA: Suara yang Dibungkam, Tragedi Pembangunan Kota demi Kepentingan Elite
MAHASISWA BERSUARA: Nyeker, Simbol Kesatuan Manusia dan Alam di Tengah Modernitas

Represi sebagai Alat Negara untuk Menekan Demokrasi

Hannah Arendt, dalam bukunya On Violence, menulis bahwa kekerasan dapat menghancurkan kekuasaan, tetapi sama sekali tidak mampu menciptakannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa negara memakai kekerasan ketika ia kehilangan legitimasi, ketika suara rakyat tidak lagi dipandang sebagai sumber otoritas, melainkan sebagai ancaman terhadap kelangsungan kendali. Selain itu, menurut Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish, untuk melengkapi Arendt, kekuasaan modern tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga mengatur tubuh manusia; ruang publik, ritme protes, cara warga bergerak, bahkan suasana kampus sebagai arena diskusi. Jika pemikiran keduanya dipadukan, terlihat bahwa represi bukanlah respons spontan, melainkan instrumen kekuasaan yang dirancang untuk mengatur hidup dan tubuh masyarakat secara sistematis.

Hukum internasional lahir sebagai respons terhadap kecenderungan negara untuk bertindak tanpa batas. Setelah dunia menyaksikan kehancuran besar dalam Perang Dunia II, komunitas global memutuskan bahwa bahkan dalam perang, terdapat batas moral yang tidak boleh dilanggar. Geneva Conventions of 1949 dan Additional Protocols tahun 1977 merupakan kesepakatan global yang merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban. Kesepakatan-kesepakatan tersebut menegaskan bahwa warga sipil tidak boleh menjadi target, tenaga medis dan fasilitas kesehatan harus dilindungi, serangan harus bersifat proporsional dan tidak membabi buta, serta tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi.

Namun, keberadaan aturan bukan berarti ia akan serta-merta ditaati. Laporan PBB dan Amnesty International mengenai konflik Israel-Palestina menunjukkan bahwa Israel melakukan pengeboman tanpa pandang bulu, menyerang rumah sakit, serta melakukan blokade yang menghambat bantuan kemanusiaan bagi warga Palestina. Di Suriah, senjata kimia tetap digunakan meski telah dilarang. Di Yaman, sekolah dan rumah sakit menjadi sasaran. Realitas ini menunjukkan bahwa hukum memang eksis, tetapi kekuasaan dapat melanggarnya dengan mudah ketika tidak ada kehendak politik untuk tunduk pada prinsip kemanusiaan.

Apa yang Menjadi Ideal dalam Kebebasan Berdemokrasi?

Permasalahan ini bukan kondisi yang tidak dapat dihindari. Beberapa negara berhasil belajar dari sejarah dan memperkuat perlindungan terhadap ruang sipil. Korea Selatan, sebagai contoh, mengingat Gerakan Demokrasi Juni 1987 sebagai tonggak demokrasi yang menjadi landasan mereka untuk bernegara hingga hari ini. Jerman, melalui Pasal 8 Grundgesetz, memastikan bahwa hak untuk melakukan protes dijamin sepenuhnya. Ditambah lagi, Putusan Brokdorf dari Mahkamah Konstitusi Federal pada tahun 1985 mempertegas bahwa polisi memiliki kewajiban untuk membedakan pelaku kekerasan dari demonstran damai, sebuah prinsip yang menempatkan kebebasan sipil sebagai nilai yang harus dijaga daripada ancaman yang harus dikendalikan.

Kepastian hukum untuk berdemokrasi di Jerman tidak lahir begitu saja, ia lahir dari memori paling gelap abad ke-20. Rezim Nazi membawa dunia pada ambang batas kemanusiaan, sebuah tragedi yang memaksa memunculkan definisi baru terkait kejahatan kemanusiaan. Holocaust menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa batas akan berujung pada penyiksaan, pembantaian, dan pembungkaman. Nuremberg kemudian mengadili para pemimpin Nazi bukan atas nama balas dendam, melainkan atas nama kemanusiaan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia menyatakan bahwa individu yang memegang kekuasaan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap manusia. Dari proses inilah lahir Deklarasi Universal HAM 1948, yaitu fondasi moral bagi peradaban modern.

Ketimpangan idealisme dengan realitas di Indonesia

Sayangnya, pelajaran tersebut tidak selalu sampai kepada negara-negara yang seharusnya belajar. Di Indonesia, kita menyaksikan rangkaian kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap warganya sendiri, yaitu peristiwa yang menandai tergerusnya prinsip demokrasi dan kedewasaan bernegara. Pada 29 Agustus 2025 lalu, Affan Kurniawan ditabrak Brimob saat Ia sedang melewati kerumunan pendemo di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya sebagai ojek online. Selain itu, pada 31 Agustus 2025, Rheza Sendy Pratama meninggal dalam aksi di Yogyakarta. Di hari yang sama, Iko Juliant Junior, mahasiswa UNNES, kehilangan nyawanya akibat brutalitas aparat. Tiga nama ini adalah puncak gunung es dari apa yang oleh Johan Galtung, dalam jurnalnya yang berjudul Violence, Peace, and Peace Research, disebut sebagai kekerasan struktural. Kekerasan ini tertanam dalam institusi, dilembagakan melalui prosedur, dan dinormalisasi sebagai bagian dari fungsi keamanan. Kekerasan struktural tidak hanya terjadi karena brutalitas aparat, tetapi juga karena sistem yang mendukungnya, yaitu sistem yang memandang kritik sebagai ancaman dan mahasiswa sebagai objek yang harus diatur bukan warga negara yang harus dilindungi.

Kampus, sebagai ruang yang seharusnya memberikan perlindungan bagi pertukaran gagasan, juga tidak lagi aman. Pada 1 September dini hari, polisi menembakkan lebih dari 60 gas air mata ke area sekitar kampus Unisba dan Unpas , sebuah tindakan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Ambulans, tenaga medis, dan jurnalis ikut menjadi sasaran. Negara menggunakan kekerasan selayaknya kita menggunakan bahasa sehari hari, yakni secara spontan, refleks, dan tanpa rasa bersalah. Amnesty Intentational dalam artikelnya, Indonesia: Authorities must Investigate Eight Deaths following Violent Crackdown on Protests, mengecam tindakan ini dan menyatakan bahwa aparat berulang kali menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan terhadap massa yang sebagian besar damai. Mereka mengingatkan bahwa kampus merupakan ruang netral dan bukan zona operasi aparat. Situasi ini juga menunjukkan kegagalan institusi kampus menjaga kekuatan demokrasi serta menjaga vokalitas mahasiswa yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari tradisi akademik. Hal tersebut disorot oleh Viva dalam artikelnya, Amnesty Says TNI Intimidation of Student Forum Threat to Freedom of Assembly. Di sisi lain, KontraS melaporkan adanya peningkatan intimidasi, termasuk kedatangan orang tidak dikenal yang diduga terkait aparat negara ke kantor mereka setelah aksi protes, sebagaimana diceritakan kepada Kompas.com dalam artikel berjudul Kantor KontraS didatangi Orang tak Dikenal usai Geruduk Rapat RUU TNI.

Sejarah mengajarkan bahwa represi tidak pernah memperpanjang umur kekuasaan malah justru memperpanjang luka. Setiap nyawa yang hilang mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak akan bertahan jika negara berbicara dengan bahasa kepatuhan, bukan bahasa kemanusiaan. Ketika negara berbahasa opresi, ia tidak hanya merusak hak warganya, tetapi juga meretakkan tatanan internasional yang dibangun melalui darah, air mata, serta pertanggungjawaban moral selama satu abad terakhir.

Untuk melindungi demokrasi, menciptakan konvensi dan mengutip pasal hukum tidak akan pernah cukup. Negara harus mewujudkannya dalam tindakan. Dunia menuntut hal ini, sejarah menuntut hal ini, dan yang paling penting, mereka yang telah menjadi korban menuntut hal ini dengan suara yang mungkin tidak lagi dapat mereka ucapkan sendiri.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//