MAHASISWA BERSUARA: Suara yang Dibungkam, Tragedi Pembangunan Kota demi Kepentingan Elite
Pembangunan kota harus didasarkan pada prinsip keadilan spasial dan hak asasi manusia.

Lusiana Eka Banuwati
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta
28 November 2025
BandungBergerak.id – Kota, pada hakikatnya, adalah pusat peradaban, magnet ekonomi, dan mesin kemajuan. Namun, di balik gemerlap gedung pencakar langit dan infrastruktur modern sebuah kota, tersembunyi tragedi kemanusiaan yang sunyi: penggusuran paksa. Dalam narasi pembangunan kota-kota besar di Indonesia, sering kali kepentingan modal dan ambisi politik para elite menjadi melodi utama, menenggelamkan suara-suara lirih kaum urban miskin yang terpinggirkan.
Esai ini akan menganalisis bagaimana visi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan citra kota global telah menciptakan "kota tanpa suara”, di mana hak-hak warga kelas bawah dikorbankan demi mewujudkan proyek-proyek prestisius. Sebuah praktik yang melanggengkan ketidakadilan struktural dan mencoreng wajah kemanusiaan pembangunan itu sendiri.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan Melawan Setan Tanah di Sukahaji
MAHASISWA BERSUARA: Sampah Bandung, Cermin Krisis dan Harapan Kota Kreatif
MAHASISWA BERSUARA: Islam dan Tradisi
Suara Warga yang Hilang
Pembangunan kota sering dipandang sebagai proses linear menuju kemajuan, namun, di banyak kasus, ia lebih menyerupai kanibalisme ruang. Fenomena ini didorong oleh keterbatasan lahan di pusat kota dan melesatnya harga properti yang dipicu oleh investasi infrastruktur yang masif –seperti jalan tol, pusat perbelanjaan, atau bahkan Proyek Strategis Nasional (PSN) berskala ambisius– dari kawasan bisnis terpadu hingga proyek pariwisata premium.
Logika pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi (growth-oriented development) menempatkan kaum miskin kota, yang sering tinggal di permukiman informal (kampung) di bantaran sungai, rel kereta, atau lahan yang secara historis dianggap tidak produktif, sebagai "penghalang" yang harus segera dibersihkan. Pemukiman mereka, yang padahal merupakan hasil dari solusi perumahan swadaya (self-help housing) akibat kegagalan pemerintah menyediakan perumahan layak dan terjangkau, tiba-tiba diredefinisi sebagai lahan ilegal yang mendesak untuk “dinormalisasi” atau “direvitalisasi”. Dalam narasi ini, legitimasi hak tinggal digantikan oleh legalitas sertifikat formal, sebuah standar yang hampir mustahil dipenuhi oleh penduduk miskin yang telah menetap secara turun-temurun selama bergenerasi.
Proses hilangnya suara warga ini bukanlah kecelakaan, melainkan sebuah proses sistemik yang melibatkan konspirasi aktor-aktor. Dalam politik penggusuran, aktor-aktor utamanya adalah pemerintah daerah yang berperan sebagai regulator sekaligus eksekutor. Pihak pengembang swasta yang menjadi pemodal dan penerima manfaat utama serta aparat keamanan yang secara efektif digunakan untuk meredam setiap bentuk perlawanan warga. Marginalisasi dimulai dari naratif: warga miskin dikonstruksi sebagai subjek yang tidak memiliki kontribusi ekonomi dan secara sosial dianggap kumuh, sementara media dan wacana publik sering mengesampingkan sejarah panjang dan peran vital ekonomi sektor informal komunitas tersebut. Hal ini menciptakan landasan moral bagi proses negosiasi yang sangat asimetris.
Dalam tahap negosiasi, pemerintah kerap kali menawarkan skema relokasi atau kompensasi yang tidak adil atau tidak memadai, memaksa warga menerima pilihan yang justru menempatkan mereka dalam kesulitan ekonomi yang lebih besar. Relokasi ke rumah susun di pinggiran kota, misalnya, sering kali memutus akses warga dari sumber mata pencaharian utama mereka di pusat kota, menjerumuskan mereka ke dalam jurang pengangguran dan utang. Ketika jalur negosiasi menemui kegagalan, penggusuran memasuki tahap kekerasan struktural dan fisik, di mana kekuatan hukum dan fisik digunakan untuk membungkam dan menghancurkan secara sepihak. Kasus-kasus konflik lahan, seperti yang terjadi di Kampung Pulo atau kasus-kasus yang melibatkan PT KAI dan warga di pinggir rel, menunjukkan betapa rentan dan tak berdayanya warga ketika berhadapan dengan aliansi negara dan modal yang terorganisir.
Proses yang Menciptakan Kemiskinan
Dampak penggusuran ini jauh melampaui kerugian material. Ini adalah proses yang menciptakan kemiskinan yang lebih besar dan trauma psikologis mendalam. Selain kehilangan rumah, warga tercerabut dari modal sosial mereka –jaringan komunitas, gotong royong, dan ikatan kekeluargaan– yang merupakan satu-satunya jaring pengaman sosial yang mereka miliki. Mereka juga kehilangan modal ekonomi berupa akses stabil ke pasar kerja. Anak-anak menjadi korban yang paling rentan, kehilangan akses ke pendidikan dan kesehatan yang stabil akibat perpindahan mendadak, sehingga siklus kemiskinan struktural berlanjut ke generasi berikutnya tanpa jeda.
Motivasi mendasar di balik penggusuran ini hampir selalu bermuara pada ambisi elite untuk menciptakan citra kota yang “bersih”, “modern”, dan “layak investasi” –sebuah cita-cita "World Class City”. Proyek-proyek mercusuar, seperti pembangunan kawasan bisnis terpadu atau waterfront city, dipandang sebagai simbol keberhasilan politik dan alat yang cepat untuk menarik investasi triliunan rupiah. Dalam skenario ini, keberlanjutan sosial dan ekologis diletakkan di bawah prioritas pertumbuhan PDB. Upaya "normalisasi" sungai yang awalnya mengklaim tujuan pengendalian banjir, pada akhirnya sering diiringi dengan lahan bekas penggusuran yang dialihkan menjadi proyek properti swasta. Kebijakan tata ruang dengan demikian beralih fungsi menjadi alat untuk memfasilitasi akumulasi modal bagi sekelompok kecil investor, alih-alih menjamin hak dasar seluruh warganya. Ini adalah manifestasi nyata dari kapitalisme sekularistik yang memandang ruang kota sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan mengabaikan aspek keadilan dalam perumusan kebijakan.
Pada akhirnya, "Kota Tanpa Suara" adalah monumen tragis atas kegagalan pembangunan yang inklusif. Ia adalah hasil dari kebijakan yang secara sadar memilih untuk memprioritaskan ambisi elite dan modal, mengorbankan kaum miskin kota yang telah membangun komunitas dan berkontribusi pada dinamika kota selama puluhan tahun.
Penggusuran paksa bukanlah sekadar masalah penegakan hukum, tetapi merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang melanggengkan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Untuk mengakhiri narasi tragis ini, diperlukan pergeseran paradigma total. Pembangunan kota harus didasarkan pada prinsip keadilan spasial dan hak asasi manusia. Ini berarti pemerintah harus mengakui keberadaan kampung sebagai bagian integral dari ekosistem kota dan mengedepankan peningkatan kualitas permukiman (in-situ upgrading) daripada relokasi yang menghancurkan. Mewujudkan mekanisme dialog yang setara dan transparan sebelum proyek pembangunan diputuskan, serta menjamin kompensasi dan relokasi yang layak, dekat dengan sumber penghidupan, dan sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional, adalah keharusan. Hanya dengan mengembalikan suara kepada warga yang terpinggirkan, kota-kota kita dapat benar-benar disebut sebagai pusat peradaban yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

