MAHASISWA BERSUARA: Sampah Bandung, Cermin Krisis dan Harapan Kota Kreatif
Krisis sampah seharusnya menjadi momentum perubahan. Bandung dengan masyarakatnya yang kreatif, punya potensi menjadi kota yang mandiri dalam pengelolaan sampah.

Ivan Ramdani
Mahasiswa Studi Sistem Informasi Universitas Terbuka Bandung
21 November 2025
BandungBergerak.id – Bandung dikenal sebagai kota kreatif, indah, dan penuh inovasi. Namun di balik keindahan itu, tersimpan masalah klasik yang belum terselesaikan: sampah. Di setiap sudut kota, dari pasar tradisional hingga kawasan wisata, tumpukan sampah masih sering menjadi pemandangan sehari-hari. Masalah ini bukan sekadar soal kebersihan, tetapi sudah menjadi krisis lingkungan dan sosial yang membutuhkan tindakan nyata.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung menunjukkan, kota ini menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah setiap hari, tetapi hanya sekitar 800 ton yang bisa dibuang ke TPA Sarimukti. Sisanya menumpuk di TPS, pinggir jalan, bahkan sungai. Kondisi ini semakin parah sejak TPA Sarimukti mengalami kebakaran besar pada 2023, yang membuat ribuan ton sampah tak tertangani.
Komposisi sampah Bandung sebagian besar adalah organik (sekitar 45 persen) dan plastik (16 persen). Namun ironisnya, pemilahan sampah masih jarang dilakukan di tingkat rumah tangga. Masyarakat masih terbiasa membuang sampah campuran, dan fasilitas daur ulang atau bank sampah belum menjangkau semua wilayah.
Masalah sampah Bandung tidak bisa disalahkan hanya pada pemerintah. Ada tiga akar persoalan utama. Pertama, kesadaran masyarakat yang rendah. Banyak warga belum terbiasa memilah dan mengurangi sampah. Budaya sekali pakai masih kuat.
Kedua, keterbatasan infrastruktur. TPS dan TPST tidak cukup menampung seluruh volume sampah, sementara armada pengangkut terbatas. Dan ketiga, kebijakan yang belum tegas. Perda tentang pengelolaan sampah sudah ada, tapi penegakan hukumnya lemah.
Krisis sampah menimbulkan dampak serius bagi kota. Secara lingkungan, sampah yang menumpuk mencemari tanah dan sungai. Saat musim hujan, tumpukan itu menyumbat drainase dan menyebabkan banjir lokal. Secara kesehatan, bau busuk dan tumpukan sampah menjadi sarang lalat dan penyakit. Sementara secara ekonomi dan sosial, citra Bandung sebagai kota wisata ikut tercoreng.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Berhentilah Bermain Pahlawan-pahlawanan
MAHASISWA BERSUARA: Mama dan Bapak Saya Miskin Sebab Orde Baru
MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan Melawan Setan Tanah di Sukahaji
Harapan untuk Bandung
Pemerintah Kota Bandung sebenarnya telah melakukan berbagai langkah, seperti pembangunan TPST dan rumah maggot untuk mengolah sampah organik, serta program KBS (Kampung Bebas Sampah) di beberapa RW. Upaya ini patut diapresiasi, namun hasilnya belum merata.
Ada sejumlah solusi yang sudah dilakukan, yang perlu diperkuat. Antara lain pemilahan dari sumber, edukasi berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, serta penegakan hukum yang konsisten.
Krisis sampah seharusnya menjadi momentum perubahan. Bandung, dengan masyarakatnya yang kreatif, punya potensi besar untuk menjadi contoh kota yang mandiri dalam pengelolaan sampah. Banyak inovasi lokal seperti eco-enzyme, composter, dan rumah maggot yang bisa dikembangkan jika ada dukungan nyata dari pemerintah dan partisipasi warga.
Masalah sampah bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga cermin moral dan tanggung jawab sosial. Jika setiap warga mulai memilah dan mengurangi sampah dari rumahnya sendiri, maka perubahan besar akan terjadi. Menjaga kota tetap bersih bukan tugas petugas kebersihan semata, tapi tugas kita semua.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

