MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan Melawan Setan Tanah di Sukahaji
Konflik Sukahaji memperingatkan kita semua untuk menyadari betapa pentingnya reformasi hukum agraria, karena tanah merupakan ruang hidup bukan komoditas semata.

Zullyansyah
Mahasiswa UIN Bandung
17 November 2025
BandungBergerak.id – Dalam darurat agraria Bandung Raya, kasus yang semakin panas dibicarakan yaitu kasus Tanah Sukahaji di Kelurahan Sukahaji, Babakan Ciparay, Bandung. Simbol perampasan hak rakyat oleh para setan tanah. Lahan seluas 7,5 hektare yang dikuasai warga sejak 1980 dengan izin garapan untuk pertanian dan perumahan, yang juga terdampak dari pembangunan tol, dan mulai membangun bangunan permanen di tahun 1990. Konflik tanah Sukahaji mulai meletus pada tahun 2002 saat Junus-Juliana yang mengklaim sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga PT. Sakura memicu eskalasi konflik yang lebih besar.
Eskalasi konflik yang meluas mengakibatkan pembakaran misterius di Sukahaji, intimidasi, juga kekerasan fisik. Teror-teror termasuk pelemparan batu, intimidasi ormas bayaran, dan kriminalisasi warga Sukahaji, sebagai pelaku penyerobotan di bulan Juli 2025. Kompensasi yang timpang, hanya senilai 750 ribu rupiah sebagai bayaran untuk meninggalkan tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun. Hingga masuk dalam ranah pengadilan pada tahun 2025, memicu solidaritas kolektif dari masyarakat luas untuk konflik yang terjadi di Sukahaji, demi melawan Setan Tanah yang semakin menggila.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Soeharto Bukan Pahlawan Kami
MAHASISWA BERSUARA: Berhentilah Bermain Pahlawan-pahlawanan
MAHASISWA BERSUARA: Mama dan Bapak Saya Miskin Sebab Orde Baru
Sejarah Teror Setan Tanah
Sejarah Tanah Sukahaji merupakan catatan hitam perampasan ruang hidup rakyat oleh para kapitalis rakus. Di mana para warga yang telah bertahun-tahun menempati lahan, di usir secara paksa menciptakan konflik vertikal yang didukung dengan kolaboratif antara ormas-aparat juga pemerintah yang pasif atas konflik ini. Dalam Land for the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia oleh Anton Lucas dan Carol Warren menyoroti bagaimana akar konflik tanah sejak era kolonial hingga pasca-reformasi, mengutip di dalamnya: “Dampak dari Undang-Undang Kehutanan Dasar membuat sebagian besar petani –tanpa hak hukum– untuk menantang sengketa wilayah di pengadilan. Dengan demikian, sebagian besar petani tidak menerima kompensasi yang memadai atas tanah mereka yang hilang”.
Dimulai dari 1980 dengan menggarap lahan kosong dan mulai diisi pemukiman pada tahun 1990 pasca-pembebasan area tol. Konflik berkembang setelah munculnya setan tanah pada tahun 2002 dengan sertifikat BPN yang masih kelabu. Kedatangan sertifikat BPN yang masih kelabu, mengabaikan penguasaan fisik warga selama puluhan tahun di Sukahaji, sejak saat itu juga eskalasi konflik semakin brutal. Hal tersebut, jelas melanggar dari UUPA 1960, dengan tujuan mencapai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kesatuan wilayah nasional berdasarkan Pancasila, sebagaimana yang disampaikan dalam konsideran: hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari perikemanusiaan, juga kerakyatan dan keadilan sosial, dengan bunyi pasal satu di mana tanah dan air memiliki fungsi sosial dan tidak boleh merugikan kepentingan umum.
Eskalasi konflik yang semakin brutal di mulai pada 2018 ketika terjadinya pembakaran lahan yang mengakibatkan puluhan kios hangus diikuti beberapa ultimatum pada tahun 2022. Dilanjut di April 2025 pembakaran yang mengakibatkan 45 kios dan rumah pasca-ultimatum pengosongan lahan 7 April. Pada Oktober 2025 pembakaran kembali terjadi pada dini hari dan 11 November 2025 yang baru-baru ini terjadi. Ketiga kalinya pembakaran di Sukahaji pada tahun ini, menjadi bukti bagaimana pembakaran lahan menjadi alat intimidasi yang terorganisir. Selain pembakaran, pelemparan batu, juga intimidasi ormas kepada warga, pemukulan, dan kriminalisasi warga membentuk momok kekejaman tahun ini di Bandung Raya. Di ambil dari Political Ecology of REDD+ in Indonesia: Agrarian Conflicts and Forest Carbon, oleh Jones I.Hein memperlihatkan bagaimana konflik atas sumber daya alam –dimaksudkan di sini adalah tanah– akibat dari kebijakan negara yang bias kapital.
Kejadian-kejadian tersebut memicu solidaritas kolektif dari masyarakat luas, membuktikan empati juga perlawanan rakyat yang semakin berapi-api. Karena, mengabaikan teror ini sama saja membiarkan ketidakadilan struktural mengakar untuk menghancurkan masyarakat yang dimarginalkan. Minim pengetahuan atas hak tanah, juga sistem hukum agraria yang lemah membuka peluang bagi setan tanah yang ingin mengeksploitasi sumber daya. Sebagaimana dibahas dalam Konflik Agraria: Kebijakan Industrialisasi, Dualisme Hukum, dan Dekade Krisis oleh Umar Sholahudin tentang kritikan dualisme hukum sebagai pemicu konflik berkepanjangan. Intervensi negara terhadap konflik ini sangat diperlukan untuk melegitimasi kekuasaan rakyat atas tanahnya, bukan sebaliknya. Bila intervensi negara bukan untuk melegitimasi kekuasaan rakyat atas tanahnya, dapat memicu konflik yang semakin parah dalam sengketa agraria di kemudian hari.
Haruslah Reformasi Untuk Keadilan Agraria
Berpijak pada UUPA dan UU Perumahan 2011 tentang wajibnya melindungi hak tinggal layak untuk rakyat, bukan para setan tanah yang mengeksploitasi celah birokrasi melalui sertifikat kelabu BPN. Seperti kritik dalam Criminal Injustice and Agrarian Conflict in Indonesia oleh Lilis Mulyani, menggarisbawahi bagaimana kriminalisasi sebagai alat penindasan dalam konflik agraria “Penggunaan hukum pidana sebagai cara untuk menegakkan hak properti yang sedang disengketakan memunculkan pertanyaan utama yang dibahas dalam bab ini: Mengapa banyak sekali orang dikriminalisasi karena ini”. Konflik agraria juga sering kali merangkap dengan pelanggaran HAM, seperti kasus yang terjadi di Sukahaji; teror harian yang menciptakan trauma psikologis pada rakyat, penghancuran ekonomi buruh juga pedagang kecil, meningkatnya kemiskinan lokalitas, dan ancaman hilangnya akses pendidikan pada anak-anak.
Selanjutnya, kompensasi nihil yang kontras dengan nilai lahan. Di lain sisi, pembakaran dan kekerasan fisik kolaboratif antara aparat-ormas untuk lindungi penindas, menyebabkan kurangnya rasa percaya masyarakat pada pemerintah saat ini. Sukahaji darurat agraria, seperti kasus-kasus yang ada dalam buku Putih Reforma Agraria oleh KPA, mendokumentasikan 1.520 konflik di era SBY dengan luas 6,5 juta hektare. Reforma agraria yang dimaksudkan untuk merombak struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan pengunaan tanah serta kekayaan alam sehingga terciptanya keadilan. Malah memunculkan penyakit kronis dalam konflik agraria yaitu setan tanah.
Saat ini, pemerintah haruslah memprioritaskan warga Sukahaji untuk mendapatkan PTSL agar dapat menata-ulang dan mereformasi hukum agraria. Sukahaji memperingatkan kita semua untuk menyadari betapa pentingnya reformasi hukum agraria, karena tanah merupakan ruang hidup bukan komoditas semata. Minimnya kesadaran atas hak tanah membuka celah para setan tanah untuk mengeksploitasi hukum, sebagaimana Sajogyo Institute dalam Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir mengatakan “Reforma agraria adalah bagian yang tidak pernah terpisahkan dari revolusi Indonesia”. Munculnya solidaritas kolektif membuktikan rakyat tak pernah diam akan penindasan, solidaritas kolektif juga menjadi seruan untuk tuntut negara bela ruang hidup dan mengembalikan keadilan agraria bagi rakyat. Ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia merupakan penyebab kemiskinan saat ini—selaras dengan kutipan dalam Dinamika Konflik Sosial Agraris di Indonesia.
Tanah bukan untuk kepentingan bisnis, tanah merupakan simbol hidup masyarakat. Konflik tanah Sukahaji dari 1980 sampai hari ini membuktikan bagaimana keadilan agraria belum terpenuhi bagi warga yang termarginalkan. Peran hukum yang lemah memicu konflik yang berkepanjangan. Di samping itu, konflik agraria juga memicu pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Sukahaji. Pemerintah haruslah mengakui penguasaan rakyat atas tanahnya agar terciptanya keadilan sosial yang inklusif seperti apa yang dicita-citakan dalam Pancasila juga UUPA. Reformasi hukum agraria menjadi seruan utama bagi mereka, selama hukum yang penuh celah tetap berlaku, selama itu juga konflik agraria semakin parah. Tanah untuk rakyat bukan tiran kapitalis, reformasi hukum agraria secepatnya –demi terciptanya keadilan sosial yang berlandaskan perikemanusiaan, dan kerakyatan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

