MAHASISWA BERSUARA: Berhentilah Bermain Pahlawan-pahlawanan
Pemberian gelar pahlawan nasional dari masa ke masa tak lepas dari kepentingan politik. Yang terbaru, pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto.

Abdullah Azzam Al Mujahid
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang
13 November 2025
BandungBergerak.id – Baru-baru ini publik dihebohkan oleh penetapan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional. Jika kita tilik secara historis, usulan ini sungguh membagongkan. Sebab musababnya, di masa lampau, Soeharto merupakan tokoh yang terindikasi sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia dan dalang di berbagai macam tragedi kemanusiaan.
Ironisnya, penetapan Soeharto sebagai gelar pahlawan nasional ini bersamaan dengan penetapan Marsinah sebagai pahlawan nasional, seorang tokoh aktivis buruh perempuan yang dulu dibunuh oleh rezim Soeharto. Selain tak masuk akal karena jasa Soeharto merupakan bentuk tanggung jawab sebagai seorang presiden, penetapan ini juga mencederai kemanusiaan, di mana pemerintahan Prabowo melanggengkan impunitas pelanggar Hak Asasi Manusia di masa lalu.
Dan tentu saja kalian sudah melihatnya, bukan? Foto Marsinah dan Soeharto berada di dalam satu bingkai yang sama sebagai pahlawan nasional? Entah suka atau duka yang mesti kita lontarkan, nurani saya justru lebih ingin meneriakkan, “Mari sudahi bermain gelar pahlawan-pahlawanannya, sebab hari ini kami tak lagi butuh sosok pahlawan!”
Bagi saya, dan barangkali kawan-kawan yang budiman pun merasa satu pendapat: gelar pahlawan nasional hari ini sudah tak lagi relevan sama sekali, alias sudah ketinggalan zaman!
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Anomali di Cihampelas Bandung Barat
MAHASISWA BERSUARA: Memutus Lingkaran Abang-abangan dalam Kampus
Gelar Pahlawan Tak Pernah Lepas dari Kepentingan Politik
Kalau kita lihat dari kacamata sejarah, gelar pahlawan nasional pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soekarno. Tujuannya jelas, untuk membangun identitas dan melahirkan rasa kebanggaan kolektif suatu bangsa yang masih seumur jagung. Meski begitu, bukan berarti di masa-masa itu pengangkatan gelar pahlawan nasional terbebas dari kepentingan politik.
Pada masa kepemimpinan Soekarno, dua tokoh komunis, Tan Malaka dan Alimin, diangkat sebagai pahlawan nasional. Mengutip artikel, “Di Balik Gelar Pahlawan Nasional untuk Tan Malaka dan Alimin” (Isnaeni, 2015), Klaus H. Schreiner berpendapat bahwa pengangkatan itu merupakan bagian dari “kepentingan strategis” jangka pendek Soekarno, terutama guna memenuhi penyatuan ideologi Nasakom.
Memasuki masa kepemimpinan Soeharto, pengangkatan gelar pahlawan nasional berlangsung ketat. Meski demikian, menurut Martin Sitompul dalam artikel, “Adakah Udang Di Balik Gelar Pahlawan Nasional?” (2017), pemberian gelar pahlawan nasional pada masa itu juga tak lepas dari kepentingan politik, khususnya pada soal pemberian gelar pahlawan pada Laksamana Martadinata, Siti Hartinah, dan Basuki Rachmat. Dalam hal ini, kita bisa melihat nama-nama tokoh yang diangkat itu, mulai dari latar belakangnya sampai peranannya untuk pemerintah (bukan negara).
Di masa-masa setelah reformasi, pengangkatan gelar pahlawan nasional cenderung tampak sebagai tradisi yang bersifat seremonial belaka, yang bahkan lebih berbau politis, ketimbang sebagai bentuk pembelajaran sejarah lewat tokoh-tokoh inspiratif yang benar-benar berjasa kepada negara (bukan pemerintah semata). Mengutip artikel Ganda Febri Kurniawan (2022) di The Conservation, kondisi itu digambarkan sebagai cerminan dari kentalnya unsur politik, di mana pemberian gelar pahlawan nasional bukan lagi demi kepentingan masyarakat. Artinya, pemberian gelar pahlawan pada hari ini dipilah dan dipilih tergantung pada apa yang telah mereka sumbangkan kepada suatu kelompok/golongan penguasa di zaman tertentu.
Di masa kepemimpinan Joko Widodo, misalnya, H. R. Soeharto, dokter pribadi Soekarno, diangkat menjadi pahlawan nasional. Menurut Kurniawan (2022), pengangkatan gelar ini seiring dengan upaya Jokowi untuk membersihkan nama Soekarno dari dugaan pengkhianatan dan keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, pemberian gelar pahlawan nasional semacam menjadi sekadar senjata politik belaka, sehingga ia tidak lagi punya nilai-nilai luhur. Atau jika boleh mengutip Kurniawan (2022) sekali lagi, apa yang dilakukan pemerintah setiap tahun, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai upaya administratif belaka. Di mana tidak ada pengukuhan gelar pahlawan, tetapi yang ada adalah pendataan pahlawan –sebab mereka yang dulu berjuang melawan penjajah juga mesti diberi apresiasi yang sama.
Pentingkah Gelar Pahlawan Nasional?
Alih-alih menawarkan solusi praktis seperti menggeser upaya pemerintah dalam penetapan gelar pahlawan sebagai upaya administratif melalui pendataan –supaya tampak objektif– saya lebih setuju jika gelar pahlawan nasional mulai hari ini dihapus. Atau dengan kata lain, kita tidak lagi butuh gelar pahlawan nasional.
Jika ditimbang lagi setelah berkaca pada sejarah, maka benar sudah gelar pahlawan nasional pada hari ini memang tak lagi punya relevansi untuk kepentingan kolektif –sebagaimana yang saya ungkapkan di awal tulisan. Sebab musababnya, sejak awal gelar pahlawan nasional sudah cenderung bersifat politis –meskipun tidak bisa dipungkiri, di awal-awal perjalanan sebagai bangsa yang baru berumur jagung, gelar pahlawan nasional menjadi langkah penting untuk membentuk dan menempa identitas serta kesadaran nasional.
Penobatan (istilah yang menurut saya lebih luhur) gelar pahlawan nasional seharusnya sudah berhenti dicanangkan pada saat usia senja kepemimpinan Soekarno. Di tengah derasnya arus globalisasi, upaya yang mesti digencarkan setiap tahun seharusnya adalah suatu perenungan historis secara kolektif –seperti menulis peristiwa sejarah– sebagai bentuk pembelajaran sejarah yang lebih efektif.
Hal ini bukan saja dapat menyumbang kepekaan pada setiap individu dalam menyeleksi sumber pengetahuan sejarah di masa kencangnya laju informasi, tetapi juga sebagai pembiasaan untuk belajar dari masa lampau. Dengan menghapus gelar pahlawan nasional, harapannya adalah dapat membebaskan (atau paling tidak meminimalisir) pengetahuan sejarah dari belenggu politik segelintir kelas penguasa yang sewenang-wenang.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

