• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan tidak bisa menembus dinding institusi pengadilan pada kasus Maba Sangaji.

Nibras Andaru

Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung.

Ilustrasi. Hukum harus berpihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

4 November 2025


BandungBergerak.id – Demokrasi Indonesia kerap dirayakan dengan jargon kedaulatan rakyat, supremasi hukum, dan keadilan konstitusional. Selain itu, Indonesia dalam konstitusinya telah mendeklarasikan dirinya sebagai “Negara Hukum” secara jelas dan tegas (ekspresif verbis) yang termaktub dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Meski demikian, hukum sering kali berhenti sebagai kalimat sakral di atas podium, dan bukan sebagai kompas moral secara faktual.

Mahkamah Konstitusi (MK) lahir dari semangat reformasi yang berdiri pada 13 Agustus tahun 2003, dengan mandat menjaga kemurnian konstitusi agar kekuasaan tidak melampaui batas. Kewenangan MK salah satunya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, putusan MK bersifat final dan mengikat secara umum (erga omnes) dan berlaku bagi seluruh lembaga negara tanpa kecuali.

Sejak berdirinya, MK memikul harapan besar untuk menegakkan keadilan konstitusional melalui judicial review. Dalam dua dekade terakhir, banyak undang-undang telah diuji karena dianggap merugikan hak konstitusional warga negara.  Sebagai contoh, baru-baru ini terdapat putusan yang menarik untuk dikaji. Mahkamah Konstitusi pada 28 Agustus 2025 membacakan Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 yang memperluas makna “setiap orang” dalam penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Menurut pemohon, Penjelasan pasal a quo dalam frasa tersebut terlalu sempit karena hanya melindungi korban atau pelapor, sementara saksi, ahli, maupun aktivis lingkungan tetap rentan terhadap kriminalisasi.

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa perlindungan hukum berlaku bagi siapa pun yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, makna frasa “siapa pun” mencakup seluruh warga negara, termasuk masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Putusan ini menjadi tonggak penting dan langkah progresif bagi penguatan perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan hidup.

Namun, selang dua bulan kemudian realitas berbicara lain. Pada 16 Oktober 2025, sebelas warga adat Maba Sangaji dari Halmahera Timur dijatuhi hukuman penjara lima bulan delapan hari oleh Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Dalih pengadilan yakni karena menghalangi aktivitas pertambangan nikel milik PT Position. Padahal, warga adat setempat memperjuangkan haknya karena aktivitas pertambangan tersebut telah merusak lingkungan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat adat.

Vonis tersebut dijatuhkan berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Pasal yang sebenarnya telah lama dikritik karena kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat penolak tambang. Ironisnya, keputusan ini muncul hanya beberapa bulan setelah MK memperluas perlindungan hukum terhadap para pembela lingkungan agar memberikan jaminan dan kepastian hukum. Padahal, putusan MK bersifat final dan mengikat.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Di Bandung Selatan, Setiap Pagi adalah Ujian
MAHASISWA BERSUARA: Memaknai Ucapan Dedi Mulyadi tentang Disiplin dalam Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Desublimasi Pemuda yang Tertidur

Paradoks Putusan Mahkamah Konstitusi

Di titik ini, publik disadarkan pada paradoks besar: putusan penjaga konstitusi (guardian of constitution) negeri ini tak mampu menembus dinding institusi lembaga penegak keadilan dalam sistem ketatanegaraan yang ada. Kasus Maba Sangaji, dapat dikatakan logika penegakan pidana sektoral mengabaikan konteks hak lingkungan yang telah ditegaskan oleh MK. Dengan kata lain, hukum berhenti di kertas, tidak sampai ke bumi tempat keadilan seharusnya tumbuh. Hal ini bukan sesuatu yang baru. Berdasarkan riset Indonesian Legal Roundtable (ILR), sepanjang 2003–2018 hanya sekitar 73 persen putusan MK yang benar-benar diimplementasikan, sementara sisanya diabaikan, ditunda, atau diinterpretasi berbeda oleh lembaga lain.

Fenomena ini dikenal sebagai defisit implementasi putusan MK, yang bukan hanya sekadar persoalan teknis hukum, melainkan cermin budaya politik yang enggan tunduk pada konstitusi. MK sendiri dalam Focus Group Discussion bersama Universitas Mulawarman pada 2024 mengakui bahwa implementasi putusan masih menjadi tantangan bersama. Bahkan lembaga penjaga konstitusi pun menyadari bahwa ada kesulitan teknis dalam menindaklanjuti putusan MK untuk diimplementasikan.

Jika dilihat dari teori Stufenbau des Rechts Hans Kelsen, sistem hukum tersusun secara hierarkis di mana validitas norma di tingkat bawah bergantung pada norma yang lebih tinggi hingga berpuncak pada grundnorm, di Indonesia UUD NRI 1945 dapat dimaknai sebagai grudnorm. Dalam konteks ini, penjelasan Pasal 66 UU PPLH menimbulkan ketidakharmonisan hierarkis karena membatasi makna “setiap orang” hanya pada korban atau pelapor. Pembatasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika lembaga pelaksana tidak menyesuaikan diri terhadap putusan MK, yang terganggu bukan hanya efektivitas hukum, tetapi juga rasionalitas sistem normatif. Tanpa kepatuhan, maka grundnorm kehilangan makna.

Berdasarkan kapasitas hukum positif, otoritas MK berhenti pada putusan yang final dan mengikat, tanpa memiliki kewenangan eksekutorial untuk memerintah lembaga lain menindaklanjuti secara administratif. Namun, MK dapat memberi constitutional order dalam amar putusannya, yakni perintah normatif kepada pembentuk undang-undang. Masalahnya, perintah itu bersifat moral-konstitusional, bukan operasional. Ruang kosong setelah putusan inilah yang sering kali menimbulkan stagnasi. Tidak ada tindak lanjut regulatif yang mengikat DPR atau Presiden untuk menyusun aturan turunan dalam jangka waktu tertentu setelah tafsir baru dinyatakan oleh MK.

Dalam merespons persoalan ini, perlu dihadirkan mekanisme judicial implementation act atau instrumen tindak lanjut yudisial yang mengikat dan dapat diaudit secara berkala oleh MK. Pembuat undang-undang wajib menindaklanjuti putusan dalam waktu tertentu dengan sanksi administratif atau politik apabila lalai. Selain itu, diperlukan pedoman teknis bagi aparat penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Dalam konteks penegakan hak lingkungan hidup, perlu adanya regulisasi yang diharmonisasikan dengan peraturan lainnya atau revisi UU terkait, sehingga amar putusan MK dapat dijalankan secara konsisten dan efektif di seluruh tingkat pelaksanaan hukum.

Menggerus Wibawa Negara Hukum

Dengan kata lain, defisit implementasi putusan MK sesungguhnya mencerminkan ketidakpatuhan konstitusional yang menggerus wibawa negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi konkret agar defisit implementasi ini tidak terus berulang, setidaknya melalui lima langkah kebijakan yang realistis dan dapat diuji baik secara akademik maupun praktis. Pertama, wajib tindak lanjut regulatif, di mana setiap putusan MK yang membuka tafsir baru terhadap hak warga negara harus diberi tenggat waktu tertentu untuk dibentuk regulasi pelaksananya, sehingga pembentuk undang-undang tidak menunda tanpa alasan konstitusional.

Kedua, pedoman interpretatif bagi aparat penegak hukum, di mana Kemenkumham, MK, dan MA perlu berkolaborasi mengeluarkan pedoman resmi bagi polisi, jaksa, dan hakim agar putusan konstitusional menjadi acuan di pengadilan dan tidak ada celah penggunaan tafsir lama. Ketiga, mekanisme monitoring publik, di mana MK perlu merilis implementation status setiap putusan besar secara berkala dan DPR serta pemerintah wajib mempertanggungjawabkan langkah legislasi serta administratif pasca-putusan, membangun budaya hukum baru yang memungkinkan publik mengawasi pelaksanaan konstitusi.

Keempat, sanksi administratif dan politik, sehingga bila pembentuk undang-undang menolak menindaklanjuti putusan MK tanpa dasar konstitusional, mekanisme politik seperti rapat DPD/DPR atau penggunaan hak interpelasi dapat dipercepat, menegaskan bahwa tanggung jawab konstitusional adalah kewajiban hukum, bukan pilihan moral kepentingan elite. Kelima, litigasi strategis dan bantuan hukum, di mana negara bersama komunitas advokasi perlu menyediakan bantuan hukum bagi warga terdampak agar putusan konstitusi dapat diuji kembali dalam kasus sektoral yang relevan, memperkuat efek jangkauan putusan MK ke praktik peradilan pidana maupun perdata. Dengan lima langkah ini, diharapkan fungsi judicial review tidak berhenti di atas teks amar putusan, tetapi benar-benar terimplementasi secara nyata dalam praktik hukum untuk membangun kepatuhan konstitusional, dan menegakkan wibawa negara hukum.

Oleh karena itu, kasus Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025 menjadi salah satu contoh yang menunjukkan bahwa meskipun MK telah memberi angin segar bagi perlindungan pembela lingkungan hidup, namun hembusan itu tak cukup menggerakkan perubahan bila tak disertai tindakan nyata. Vonis penjara terhadap sebelas warga Maba Sangaji bukan sekadar tragedi lokal, melainkan alarm bagi demokrasi konstitusional kita.

Hal Ini menjadi refleksi ketatanegaraan yang paling jujur: bahwa relasi antara norma dan pelaksana kekuasaan masih rapuh, dan hukum sering kali berhenti di ruang deliberasi, tidak menjelma dalam kebijakan yang berpihak pada keadilan. Bila norma tertinggi tak menjadi norma praktis, maka konstitusi hanya menjadi teks estetis. PR negara kita adalah membuat teks itu hidup melalui hukum dalam menegakkan keadilan yang substantif, kultur, dan politik yang menghormati serta melindungi hak warga, dan bukan menghukum mereka karena memperjuangkan haknya.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//