MAHASISWA BERSUARA: Memaknai Ucapan Dedi Mulyadi tentang Disiplin dalam Pendidikan
Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang melarang orang tua ikut campur dalam urusan sekolah anak memantik perdebatan.

Adi Muhamad Fadilah
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Siliwangi
30 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Beberapa waktu lalu, pernyataan Dedi Mulyadi tentang larangan bagi anak-anak dari orang tua yang ikut campur dalam urusan sekolah memantik perdebatan yang begitu luas. Banyak yang menilainya sebagai bentuk arogansi semata, bahkan pelanggaran terhadap hak anak atas pendidikan. Tapi di tengah riuh opini yang saling menuding itu, saya sebagai seorang pendidik justru merasa tergelitik untuk memahami, bukan menghakimi.
Mungkin, di balik nada tegas itu, tersimpan pesan yang jauh lebih penting: bahwa pendidikan kita sedang kehilangan kepercayaan. Guru kehilangan wibawa, sekolah kehilangan otoritas, dan orang tua kehilangan kesabaran untuk belajar mempercayai. Pernyataan Dedi bisa jadi adalah sebuah alarm peringatan agar kita kembali menata ulang hubungan antara rumah, sekolah, dan masyarakat.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kenapa Hukum di Indonesia Buruk?
MAHASISWA BERSUARA: Nasionalisme Seharusnya untuk Kesejahteraan Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Di Bandung Selatan, Setiap Pagi adalah Ujian
Krisis Kepercayaan pada Sekolah
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah masa pandemi, kita menyaksikan bagaimana ruang pendidikan berubah drastis. Orang tua semakin aktif mengawasi, bahkan mengintervensi tugas guru. Kritik memang perlu, tetapi yang sering muncul justru bentuk campur tangan yang melemahkan peran sekolah.
Setiap keputusan sekolah dari berbagai metode pembelajaran hingga penilaian siswa kini mudah dipersoalkan. Guru tak lagi dianggap sosok yang dipercaya, melainkan pekerja yang harus selalu melayani.
Di titik inilah, ucapan Dedi Mulyadi menemukan konteksnya. Ia bukan sedang menolak peran orang tua, melainkan menggugat cara pandang kita terhadap pendidikan. Sekolah bukan biro jasa, dan guru bukan sekadar pelaksana kurikulum. Ada nilai-nilai yang sedang diperjuangkan: disiplin, kesabaran, dan tanggung jawab hal-hal yang hanya bisa tumbuh bila kita saling menghormati ruang peran masing-masing.
Banyak guru yang kini berjalan di atas tali tipis antara idealisme dan tekanan. Laporan kecil dari orang tua bisa berujung pada teguran, bahkan ancaman hukum. Dalam kondisi itu, ruang refleksi guru untuk mendidik dengan hati perlahan menghilang.
Padahal, pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Dan karakter tidak bisa dibentuk tanpa ketegasan.
Saya yakin, Dedi Mulyadi ingin mengingatkan bahwa pendidikan tidak akan berhasil bila setiap langkahnya terus diganggu oleh ego orang tua.
Dulu, tamparan guru adalah bahasa disiplin; namun kini, ia berubah menjadi bukti perkara. Di masa lalu, orang tua mempercayakan anaknya pada guru dengan penuh hormat; namun lihat sekarang, sebagian justru memperkarakan guru ketika ketegasan muncul. Padahal, yang hilang bukan hanya kepercayaan, tetapi juga nilai: bahwa mendidik kadang perlu keberanian untuk tidak selalu menyenangkan.
Ada perbedaan besar antara terlibat dan ikut campur. Keterlibatan berarti mendukung, ikut mengawasi dengan bijak; sementara ikut campur berarti merusak keseimbangan sistem yang sudah dibangun bersama.
Saya masih ingat cerita orang tua dulu: jika seorang murid dihukum oleh guru, lalu pulang mengadu, maka ia justru mendapat hukuman kedua di rumah. Bukan karena orang tuanya kejam, tetapi karena mereka tahu bahwa guru tidak sedang menyakiti, melainkan mengajar dengan cara yang keras namun tulus. Di masa itu, sekolah dan rumah masih berbicara dalam bahasa yang sama: bahasa tanggung jawab.
Refleksi Seorang Pendidik
Ketika Dedi mengatakan bahwa “anak dari orang tua yang ikut campur tidak bisa sekolah di mana pun,” sebenarnya ia sedang menggunakan gaya bahasa hiperbolik untuk menegaskan prinsip moral. Ia bukan sedang menutup akses pendidikan, tapi menegur keras budaya intervensi yang membuat sekolah tak lagi dipercaya menjalankan perannya.
Ucapan itu, bila ditarik ke ranah nilai, bisa dibaca sebagai ajakan untuk menahan diri. Agar orang tua kembali belajar mempercayai guru; agar guru kembali berani menegakkan nilai-nilai pendidikan tanpa takut disalahkan; agar murid belajar menghormati sistem yang sedang mendidiknya menjadi manusia yang utuh.
Sebagai pendidik, saya percaya bahwa pendidikan adalah kerja kolaboratif yang harus dijaga keseimbangannya. Guru tidak bisa bekerja sendiri, tapi guru juga tidak akan mampu bekerja di tengah campur tangan yang berlebihan. Pendidikan akan tumbuh subur jika semua pihak tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam mendengar.
Mungkin benar, dunia pendidikan kita sedang butuh ketegasan seperti yang diucapkan Dedi Mulyadi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan: bahwa menghormati guru adalah bagian dari mendidik anak. Karena sesungguhnya pendidikan tak akan tumbuh di tanah yang penuh curiga. Ia hanya akan berakar di antara mereka yang saling percaya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

