• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Memutus Lingkaran Abang-abangan dalam Kampus

MAHASISWA BERSUARA: Memutus Lingkaran Abang-abangan dalam Kampus

Seperti pemerintah yang menjaga status quo, abang-abangan mahasiswa juga mempraktikkan hal tersebut di dalam kampus.

Khanan Saputra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Ilustrasi. Gerakan mahasiswa menghadapi tantangan di era yang dikuasai kapital. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)

10 November 2025


BandungBergerak.id – Dunia mahasiswa merupakan salah satu ruang yang bisa dimanfaatkan untuk berproses dan membentuk kematangan intelektual. Ada keunggulan di ruang mahasiswa itu sendiri, yakni ruang yang tepat untuk mematangkan pikiran sebab belum lagi berpikir mengenai ekonomi secara langsung. Kebanyakan mahasiswa sendiri merupakan orang-orang yang secara ekonomi cukup, sehingga banyak mahasiswa tak perlu berpikir untuk hari esok akan makan apa, selagi masih menjadi mahasiswa, karena biaya tersebut ditanggung oleh orang tuanya. Dengan begitu, ruang tersebut memiliki keunggulan yakni menjadi ruang yang benar-benar fokus pada kematangan intelektual.

Walaupun begitu, harapan berbanding terbalik. Ruang yang seharusnya menjadi tempat untuk mematangkan intelektual, justru ruang mahasiswa menjadi ruang di mana dogmatisme itu bersarang. Dogmatisme ini lahir bisa melalui lingkaran mahasiswa yang sakit. Lingkaran mahasiswa yang sakit ini bisa dikatakan lingkaran yang terdapat abang-abangan di dalamnya dan juga ade-adean. Lingkaran yang semacam ini sudah tentu akan melahirkan senioritas, walaupun di muka yang dislogankan ialah solidaritas. Namun, solidaritas yang di sini merupakan solidaritas yang akan menghambat seseorang untuk berproses secara kreatif. Abang-abangan di sini yang saya maksud ialah orang yang dianggap lebih senior atau lebih tua secara angkatan, sedangkan ade-adean ialah orang yang dianggap lebih junior atau lebih muda secara angkatan. Praktik abang-abangan ini terjadi melalui banyak hal, bisa organisasi ataupun lingkaran pertemanan yang cair. Abang-abangan lebih sering dihormati oleh ade-adeannya, hal ini bukan karena taraf keilmuannya ataupun taraf praktik secara konkritnya, namun karena abang-abangan itu orang yang lebih dahulu masuk kampus.

Abang-abangan ini bisa orang yang memang tak memiliki kepentingan politis apa pun, hanya saja menginginkan dihargai secara berlebih melalui lingkaran yang ia bangun dan ada juga abang-abangan yang memiliki posisi ideologis tertentu, biasanya ini lekat dengan suatu lingkaran organisasi. Abang-abangan ini akan terus mencari mahasiswa di bawahnya untuk membangun lingkarannya, yang dari lingkaran tersebut abang-abangan akan menghidupkan dogmatismenya. Mahasiswa baru yang biasanya merupakan orang yang belum tahu lebih dalam mengenai dunia kampus merasa akan lebih tahu dunia kampus jika dekat dengan seorang abang-abangan. Kekaguman mahasiswa baru ketika dikasih tahu situasi kampus oleh abang-abangan akan merasa kagum dan tertarik, apalagi mahasiswa baru yang memiliki semangat untuk berproses, maka hal tersebut juga akan membuat dirinya rentan masuk ke dalam lingkaran abang-abangan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Desublimasi Pemuda yang Tertidur
MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Anomali di Cihampelas Bandung Barat

Penokohan Abang-Abangan

Mengenai abang-abangan yang membangun lingkarannya, selanjutnya dirinya juga akan menjadi tokoh di lingkarannya. Perihal ketokohan sendiri bagi saya tak terlalu dipersoalkan ketika masih di tahap awal, karena ketokohan sendiri muncul karena ada orang yang dianggap tahu lebih banyak informasi dan orang yang minim informasi akan tertarik untuk mencari lebih dalam informasi lainnya dari orang tersebut, maka di situ ketokohan akan ada, orang yang lebih tahu informasi itu yang akan menjadi tokoh. Walaupun begitu, yang akan dipersoalkan ialah ketika abang-abangan yang telah menjadi tokoh ini justru terlalu asyik dengan ketokohannya, sehingga ia akan menerapkan dogmatisme kepada ade-adeannya agar ketokohannya tidak terusik. Ketika dogmatisme telah digunakan oleh abang-abangan, maka hal ini akan menghambat proses dari ade-adeannya. Suatu hal yang telah dilakukan oleh Abang-abangan haruslah juga diikuti oleh ade-adeannya. Abang-abangan merasa lebih memiliki otoritas untuk itu, sebab dirinya sudah lebih dahulu berproses di dalam kampus. Ketika proses yang terjadi semacam itu, maka lingkaran mahasiswa sendiri akan sakit. Konsekuensi dari adanya abang-abangan tersebut membuat ade-adeannya tak bisa berpikir secara kreatif, ade-adean juga akan terhegemoni dan selanjutnya akan mengamini praktik dogmatisme tersebut dan dilanjutkan ke angkatan bawahnya lagi, sehingga tak heran ini bisa menjadi kultur yang sakit di lingkaran mahasiswa.

Abang-abangan di kampus merupakan contoh praktik ketokohan yang bodoh. Sebab ia memberhentikan kreativitas individu dan bahkan tak percaya di tiap individu terdapat ragam kreativitas. Semua yang berjalan harus sesuai dengan praktiknya, ini yang dikatakan dogmatisme. Seperti pemerintah yang menjaga status quo, abang-abangan juga mempraktikkan hal tersebut di dalam kampus. Ia terus menginginkan menjadi tokoh tanpa ingin memutuskan label ketokohannya. Bagi saya sendiri, ketokohan di awal masih bisa dinormalkan, namun untuk di tahap selanjutnya ketika lingkaran terbentuk, kemudian seseorang ingin terus menjadi tokoh, itu adalah tokoh yang buruk. Tokoh yang baik ialah tokoh yang mengenalkan dan memfasilitasi orang untuk belajar, kemudian setelah belajar, tokoh tersebut memutus mata rantai ketokohannya. Sebab, proses yang baik ialah proses yang dipacu oleh pengetahuan, bukan oleh tokoh, tokoh dalam hal ini hanyalah memantik di awal, karena ketokohan di awal sendiri terkadang sulit dihindari, namun ketika sudah berjalan sejatinya ketokohan bisa diputus ketika tokoh itu sendiri yang memutus.

Memutus mata rantai penokohan ini ialah dengan menghancurkan dogmatisme. Tak menjadikan ade-adeannya sebagai objeknya, namun meletakkan pada level subjek. Percaya bahwa tiap individu memiliki kreativitasnya masing-masing, bukan malah sebaliknya yang kerap kali abang-abangan tak percaya pada kreativitas individu dan menganggap praktik dari dirinya yang paling benar dan harus diikuti tanpa kritik. Lingkaran yang semacam ini haruslah dihindari demi kebaikan berproses dan mematangkan intelektual. Sebab kematangan intelektual lahir karena kreativitas dalam memelajari pengetahuan, bukan dari apa mengikuti kata senior. Dengan begitu, dogmatisme haruslah benar-benar dihancurkan. Karena ini merupakan penyakit dalam lingkaran mahasiswa. Kembali lagi, bahwa ruang mahasiswa terdapat keunggulan untuk menjadi ruang mematangkan intelektual, maka jadikan ruang itu yang sesuai dengan harapan awal, bukan justru sebaliknya yang menjadi ruang menghambat berproses dan menghambat seseorang dalam mematangkan intelektual melalui praktik dogmatisme. Sudah tentu, dogmatisme merupakan hal yang harus dihindari ketika kita menginginkan ruang mahasiswa menjadi ruang yang tepat untuk berproses. Sebab, dogmatisme hanya akan membunuh kreativitas individu dan membuat lingkaran menjadi sakit.

Ketahui, Mana Abang-abangan atau Bukan

Abang-abangan di lini mahasiswa sendiri bisa terdapat dua model. Pertama, model abang-abangan kampus yang tak memiliki kapasitas intelektual dan hanya menjual senioritasnya kepada angkatan di bawahnya. Abang-abangan ini tak berfokus pada pengetahuan, ia hanya menginginkan lingkaran pertemanan saja di mana dia yang menjadi tokoh dalam lingkaran tersebut. Abang-abangan model ini sangat menghambat proses dari seseorang yang ingin belajar. Sebab, abang-abangan model ini hanya menjual senioritas yang nantinya juga lekat dengan dogmatisme, walaupun bukan dogmatisme pada pengetahuan, namun dogmatisme pada kultur senioritas yang buruk.

Kedua, model abang-abangan yang memiliki garis politik atau memegang salah satu ideologi. Abang-abangan dalam model ini menjual pengetahuan, namun dirinya sangat dogmatis terhadap garis politik atau ideologi yang dipegang, sehingga abang-abangan yang kedua ini akan membuat mahasiswa yang ingin belajar menjadi ditangkal daya kritisnya oleh komandoisme abang-abangannya. Sehingga, hal ini dapat melemahkan kreativitas seseorang dalam menilai sesuatu atau kondisi secara objektif.

Namun begitu, terkait model abang-abangan sendiri, dalam intinya sama ia berakar dari sisa-sisa feodalisme yang berdampak buruk terhadap kehidupan orang banyak. Praktiknya dilakukan dengan ia terus ingin ditokohkan, hanya mau untuk meregenerasi kepada orang yang praktiknya mengikuti jalannya, dan tak mengkritisi apa yang telah dilakukan walaupun jalan abang-abangannya itu salah.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//