MAHASISWA BERSUARA: Anomali di Cihampelas Bandung Barat
Desa Mekarjaya memiliki jumlah anak pendek dan sangat pendek tertinggi di Kecamatan Cihampelas, Bandung Barat, yakni 487 jiwa dan prevalensi mencapai 58,21 persen.

Lutfi Faudzil Adhiem
Aktivis mahasiswa Hima Persis Jabar
7 November 2025
BandungBergerak.id – Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, berjarak tiga puluh kilometer dari Bandung, ibukota Jawa Barat, dan memakan waktu kira-kira 45 menit menggunakan motor. Sebuah daerah yang berbatasan dengan Batu Jajar di utara, Cililin di selatan, Kabupaten Bandung di timur, Saguling di barat, serta berbatasan langsung dengan Sungai Citarum yang menjadi nadi kehidupan di Jawa Barat.
Di sana, kamu akan menemukan curug yang menyuguhkan pesonanya yang membuatmu terpukau takjub. Di pinggir-pinggir jalan, menuju desa-desa di Cihampelas, sawah-sawah sedang menguning, beberapa warga berdagang di tepi jalan, dan aliran sungai-sungai kecil yang setia melaju menuju Citarum.
Barangkali bagi mereka yang lahir di sana, Cihampelas melampaui keindahan geografi, lebih jauh dari itu, seperti kata Pidi Baiq melibatkan perasaan ketika sunyi. Cihampelas jadi rumah, wisata masa lalu saat kanak-kanak, dan tempat awal dan akhir dari kehidupan.
Di tanah tersebut, berdasarkan literatur yang ada, tumbuh pohon ampelas atau dalam bahasa latinnya, Ficus ampelas, yang kerap tumbuh di tepi sungai. Penamaan Cihampelas itu sendiri, lahir dan terinspirasi dari pohon ampelas tersebut, menjadi pertanda bahwa nama ini lahir dari hubungan kolot beheula (orang tua dulu) dengan alam –di mana nama tempat diberikan berdasarkan penanda alamiah (toponimi ekologis). Sebab itu, tak akan heran apabila kamu ke Cihampelas akan banyak menemui sawah, sungai, curug, dan kekayaan alam lainnya.
Di tanah ini pula, lahir para pemimpin yang menjadi tokoh penting di Kabupaten Bandung Barat. Orang nomor dua di Bandung Barat sekarang, Asep Ismail, lahir di Cihampelas dari Cihampelas. Dari 9 anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat dari Dapil 4, dua di antaranya pituin Cihampelas. Lalu Kadis DPMPD Kabupaten Bandung Barat juga berasal dari Cihampelas, dan mungkin tokoh-tokoh penting lainnya.
Cihampelas barangkali salah satu penyumbang tokoh penting di Bandung Barat. Tetapi pertanyaannya, bagaimana dampaknya bagi warga? Walau kita tahu asas primordialisme dalam mengelola kebijakan tidak diperkenankan, sebab menjadi pemimpin mesti menjadi pemimpin untuk semua warganya.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Memaknai Ucapan Dedi Mulyadi tentang Disiplin dalam Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Desublimasi Pemuda yang Tertidur
MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia
Anomali Cihampelas
Aris, Ibnu Aris, Rohayati, Dhea, Deden Hartono, Edih, Dewi, Fais, Ai Teti, Encep, Deden Romantika, Edwar, Bahru, Rizki, Rohanda, Ahmad Mustopa, Nina Winingsih, Rahmat Manuar, Jenita Melani, dan Rani.
Nama-nama yang disebutkan, merupakan nama-nama para penyandang disabilitas di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, yang ditemui oleh Ombudsman, Hima Persis Jawa Barat, dan pemdes dalam kegiatan ombudsman menjemput resah.
Mereka para penyandang disabilitas, memeluk keterbatasannya sendirian, di tengah keterbatasan ekonomi yang empot-empotan. Kata pepatah, sudah jatuh ketiban tangga. Mereka dua kali lipat diuji hidupnya. Nada mereka sama: “Ke mana negara?” Sebab bagi mereka, kehadiran negara amat berharga, untuk berbagi solusi.
Seorang ayah, dan pengurus Forum Disabilitas (FKKAD), Doddi mengatakan, disabilitas katanya, orang yang terhambat hidupnya. Hambatan itu berupa apa pun; cacat, gangguan dan sebagainya. Setiap manusia, berpotensi jadi disabilitas, sebab itu tak elok rasanya disabilitas diabaikan oleh negara.
Sementara, Azfar yang juga pengurus forum disabilitas menyebutkan bahwa ia membawa dan mengontrol anaknya 3 hari sekali, biasanya ia bawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Katanya, memang kami sudah di-cover BPJS, tapi ongkos ke rumah sakit tetap kami yang tanggung. Sehari-hari Azhar berprofesi sebagai tukang cukur, setiap kepala manusia yang ia cukur, merupakan rupiah bagi merawat anaknya.
Nada Azfar sama, Ia memeluk keterbatasannya sendirian, tanpa negara. Biasanya ia akan kumpul dengan komunitas disabilitas. Karena di komunitas itu, dia bisa berbagi nasib yang sama. Dalam istilah Sunda, pakumaha-kumaha.
Ibnu aris, penyandang disabilitas fisik, umurnya 29 tahun. Bersekolah hanya sampai Kelas 3 SD. Ia hidup di tempat tidur. Makan, minum, hingga BAB di sana. Ia tak bisa bicara, hendak makan hanya dengan isyarat. Ibunya curhat ke ombudsman bahwa anaknya tidak terdaftar BPJS, tidak ada fasilitas bantuan. Berobat hanya ke dokter. Puskesmas sekitar menurutnya ribet, pun aksesnya susah. Kadang pakai ambulans desa, kadang ngojek. Program bantuan sosial hanya dari desa. Bahkan untuk sekedar di data, dari pihak terkait atau dinas pun belum pernah berkunjung –apalagi mengulurkan tangan. Benar-benar Ibnu Aris memeluk keterbatasannya sendirian. Dan, nada-nada itu pula yang diceritakan sama oleh para penyandang disabilitas di Desa Mekarjaya.
Sebenarnya, penyandang disabilitas di Mekarjaya bukan 20 orang. Berdasarkan data yang dihimpun Hima Persis Jabar, ada 89 penyandang disabilitas dengan berbagai jenis; fisik, mental intelektual, ODGJ, cacat ganda, Cerebral Palsy, sensorik, dan Hidrosefalus. Dengan data itu pula, kita melihat bahwa Desa Mekarjaya di Cihampelas telah menyumbang indeks masalah kesehatan mental di jawa barat yang tinggi. Pun semua penyandang itu, sekali lagi “membunyikan” nada yang sama: ke manakah negara?
Stunting, Sanitasi, dan Faktor Kemiskinan
Per tahun 2022, Desa Mekarjaya menjadi desa dengan jumlah anak pendek dan sangat pendek tertinggi di Kecamatan Cihampelas dengan data sebesar 487 jiwa dan prevalensi menyentuh angka 58,21 persen. Angka tersebut menunjukkan prevalensi stunting yang tinggi.
Masalah stunting ini bertautan pula dengan masalah sanitasi; ini terjadi ketika Ombudsman Hima Persis Jawa Barat berkunjung ke rumah disabilitas. Di mana mereka mencium aroma tak sedap yang ditimbulkan. Karena selain rumahnya pengap, sanitasi yang diperkirakan jelek. Dengan sanitasi yang buruk, mengakibatkan penyakit diare dan kecacingan pada anak, serta mengganggu penyerapan nutrisi.
Rata-rata sanitasi yang buruk dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Mengapa begitu? Karena gizi yang baik, sanitasi yang baik hanya bisa diakses melalui uang. Sejarawan asal Belanda, Rutger Bregman mengatakan, kemiskinan bukan karena karakter yang buruk tapi, keterbatasan uang. Uang kita ketahui bersama, menjadi nilai tukar yang sah dalam sistem ekonomi kita. Gak ada uang, gak ada akses. Gak ada uang, gak ada daya. Apa yang gak ditukar oleh uang sekarang? Gak ada dongss.
Itulah potret Cihampelas kiwari yang memancarkan warna lain dari pesonanya yang diasosiasikan indah. Padahal dibalik keindahan alamnya, di dalamnya warga hidup tanpa daya, penyandang disabilitas hidup tanpa negara, tak sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Instruksi Presiden dan kebijakan nasional terkait inklusi sosial, serta Peraturan daerah Kabupaten Bandung Barat nomor 2 tahun 2022.
Cihampelas, riwayatmu kini penuh anomali. Lahir para pemimpin yang sejatinya bisa mengubah keadaan, tetapi lahir dan tumbuh problem warga yang tak usai diselesaikan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

