MAHASISWA BERSUARA: Soeharto Bukan Pahlawan Kami
Pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional merupakan sebuah bentuk impunitas dan pemutihan sejarah Soeharto.

Zullyansyah
Mahasiswa UIN Bandung
11 November 2025
BandungBergerak.id – Dalam pelajaran sejarah, kita sering melihat figur Soeharto yang sering digambarkan sebagai arsitek pembangunan nasional, juga pembawa kemakmuran ekonomi pasca-krisis Soekarno. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Yogyakarta. Soeharto bergabung dengan Koninklijke Nederlandsch-Indsiche Leger (KNIL) pada 1940, kemudian beralih ke Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) selama kependudukan Jepang, dan akhirnya menjadi perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Rekam jejak Soeharto dalam militer mencakup penumpasan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1950-an, komando Divisi Diponegoro (1956-1959), dan kepemimpinan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada tahun 1960-an. Melalui Supersemar pada 11 Maret 1966, ia merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno, dan menjadi presiden sementara pada tahun 1967. Ia menjabat sebagai presiden penuh pada 27 Maret 1968 hingga 21 Mei 1998 –menjabat selama 31 tahun yang dikenal sebagai periode Orde Baru.
Dalam Orde Baru ini, ada sebuah program khusus yang dinamakan: Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dengan fokus sebagai fasilitator ekonomi, sehingga mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun, mengurangi kemiskinan secara signifikan, serta mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 terinstitusionalkan oleh FAO. Namun, di balik pencapaian ini, sejarah mematri figur Soeharto sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistemik, juga praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) endemik. Dengan adanya pengusulan pengangkatan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025, itu menjadi bukti bagaimana pejabat yang kini memangku kebijakan telah mengkhianati amanat reformasi 1998.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Ketidakpatuhan Negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Peradilan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Anomali di Cihampelas Bandung Barat
MAHASISWA BERSUARA: Memutus Lingkaran Abang-abangan dalam Kampus
Penindasan Sistematis di Era ORBA
Salah satu fondasi kekuasaan Soeharto yang paling kelam adalah gelombang pembantaian massal pasca-G30S 1965, bukan hanya sekedar respons terhadap kudeta yang gagal, melainkan sebuah propaganda genosida yang dirancang untuk memusnahkan oposisi. Menurut sejarawan seperti Robert Cribb dalam The Indonesian Killings of 1965-1966, korban mencapai 500.000 hingga 1.000.000 jiwa, termasuk pembunuhan extrajudicial killing oleh militer dan milisi sipil yang didukung negara, dengan target operasi utama individu yang terafiliasi dengan PKI, juga simpatisannya. Setelah itu ada Operasi Trisula (1968); pengejaran simpatisan PKI ke Blitar Selatan, Jawa Timur dengan mengecap simpatisan PKI sebagai irreligius atau atheis. Sementara itu, di masa Orba, figur Soeharto menjadi simbol diskriminasi karena mendiskriminasikan etnis Tionghoa dengan pelarangan budaya dan agama, asimilasi paksa terhadap nama mereka, pembatasan politik dan birokrasi yang sering dicap sebagai ancaman ideologi, dan persyaratan Sertifikat Bebas Kesalahan Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) pada 1978. Memicu pogrom seperti kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, penjarahan toko-toko, juga pemerkosaan massal dengan mayoritas perempuan Tionghoa. Dukungan internasional, khususnya dari Amerika Serikat, memperburuk situasi; dokumen National Security Archive (2008) mengungkap bahwa pemerintah AS memberikan daftar nama PKI, senjata, dan dana kepada militer Indonesia sebagai bagian dari strategi Perang Dingin, menganggap pembantaian ini sebagai “sebuah keberhasilan” geopolitik. Amnesty Internasional (1977) sejak awal menyoroti bagaimana para tahanan tanpa pengadilan yang menimpa ribuan tahanan politik di Pulau Buru hingga 1979, di mana kondisi seperti kerja rodi dan penyiksaan psikologis menjadi sebuah norma.
Dilanjutkan dengan Invasi Timor Timur pada 7 Desember 1975, disetujui secara sembunyi-sembunyi oleh AS dan Australia, menjadi contoh paling mencolok dari kejahatan perang di bawah rezim Soeharto. Berdalih integrasi, operasi ini menyebabkan kematian 90.800 hingga 213.600 jiwa –setara dengan 13-19 persen populasi Timor Timur– akibat eksekusi langsung, kelaparan massal, dan penyakit yang disebabkan pembakaran desa dan pemindahan paksa seperti yang dilansir oleh Amnesty Internasional pada Mei 1998. Menurut laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CASVR) tahun 2005: mendokumentasikan pembantaian Santa Cruz di Dili pada 12 November 1991, di mana tentara menembaki demonstran damai, menewaskan lebih dari 250 orang, dan memicu kecaman internasional melalui resolusi PBB.
Di dalam negeri sendiri, Soeharto menjadi simbol kekejaman disebabkan oleh operasi militer di Aceh (1977-1992) dan konflik Papua sejak (1960) dengan pola dan taktis yang sama yaitu “bumi hangus” menewaskan ribuan warga sipil; Human Rights Watch (1999) memperkirakan 10.000 korban di Aceh, termasuk penyiksaan seperti pemukulan dengan besi, pembakaran tangan, dan penahanan tidak manusiawi. Setelah itu, program “Penembak Misterius” pada tahun 1982-1985 dengan target preman dan kriminal, menewaskan hampir 9.000 orang. Kemudian, pembantaian Tanjung Priok 1984 yang menewaskan hingga 100 demonstran, Pembantaian Talangsari di Lampung pada tahun 1989 yang menewaskan sekitar 130 orang, juga penculikan aktivis pada tahun 1997-1998 meninggalkan 13 orang hilang dan beberapa kasus lainya. Semua tindakan ini didukung oleh doktrin Dwifungsi ABRI, membenarkan campur tangan militer dalam urusan sipil, serta institusi seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dipimpin oleh Soeharto. Amnesty Internasional dalam laporan “Power and Impunity: Human Rights under the New Order” (1994) menekankan bahwa pelanggaran ini meluas ke seluruh kepulauan Indonesia dan mengamputasi kebebasan berekspresi, pers, dengan praktik SLAPP.
Edwar Aspinall dalam Opposing Suharto (2005) menyebutkan penindasan dan kekerasan terstruktur menanam bibit konflik yang meledak pasca-1998, termasuk kekerasan sektarian dan tuntutan separatis. Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan adalah sebuah pengkhianatan amanat reformasi 1998. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Salah satu syarat menjadi pahlawan nasional memiliki integritas moral dan keteladanan, dengan kejadian-kejadian yang telah diterangkan di atas apakah Soeharto layak untuk menjadi pahlawan nasional? Pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional merupakan sebuah bentuk impunitas dan pemutihan sejarah Soeharto. Mengakibatkan hilangnya bentuk penghormatan publik terhadap simbol pahlawan nasional.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Era ORBA
Jika pelanggaran HAM menjadi noda moralitas dan integritas, maka praktik KKN era Orba menjadi kanker kronis dalam bentuk ekonomi. Soeharto, sering memuja Pancasila sebagai ideologi anti-korupsi, justru mempraktikkan KKN secara institusional, dengan keluarganya yang menguasai aset miliaran dolar. Dilansir dari Transparency Internasional (2004), Soeharto menggelapkan 15-35 miliar dolar AS dari 1967-1998, menjadikannya pemimpin paling korup sepanjang sejarah, sementara itu Forbes (1997) menerka-nerka kekayaan pribadi Soeharto yang mencapai 16 miliar dolar AS. Di samping itu, keluarganya mengendalikan 3,6 juta hektare lahan, 564 perusahaan, dan monopoli strategis. Di lansir Time Asia (1999), membengkaknya utang negara dua kali lipat akibat pengelolaan buruk, memicu tuntutan hukum yang mengungkap bagaimana Soeharto menjual surat utang negara dan merugikan negara senilai 35 triliun rupiah.
KKN ini bukan kebetulan, melainkan rancangan rezim untuk melegitimasi kekuasaan. Kebijakan deregulasi 1980 seperti PAKTO 88 membuka berbagai pintu kroni, sementara itu Golkar –partai yang dipimpin Soeharto sejak 1983– menjadi alat pemilu curang dengan pemilihan presiden oleh MPR yang didominasi oleh militer. Pasca pensiun, keluarganya diadili: Tommy yang dipenjara 15 tahun pada 2002 atas korupsi dan pembunuhan hakim Syafiuddin Kartasasmita. Sementara itu, Soeharto sendiri ditetapkan sebagai tahanan rumah pada tahun 2000 atas tuduhan penggelapan U571 juta dolar AS dari pajak. Robert Elson dalam biografi Suharto: A Political Biography (2001) menegaskan bahwa korupsi ini bukan hanya pribadi, tapi sistemik di mana korupsi dikelola seperti franchise McDonald’s, meningkatkan loyalitas elite tapi meruntuhkan ekonomi saat Krisis Asia 1997.
Soeharto dari prajurit revolusi menjadi diktator selama 32 tahun, mewakili dua muka sekaligus yaitu sebagai pembangun infrastruktur juga pembunuh berdarah dingin. Pencapaian dalam bidang ekonomi hanya ilusi sementara, itu tidak bisa menghapus luka genosida yang terjadi selama 31 tahun. Brooking Institution (1998) warisan yang ada hanyalah stabilitas dengan harga darah dan korupsi. Upaya MPR di tahun 2024 dan Kemensos untuk mencabut tuduhan korupsi dan mengusulkan gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk impunitas historis, amnesia historis, haruslah usulan ini ditolak demi rekonsiliasi sejati. Soeharto bukan pahlawan kami; ia merupakan simbol kejahatan yang abadi. Pahlawan sejati lahir dari keadilan, bukan genosida berdarah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

