• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mama dan Bapak Saya Miskin Sebab Orde Baru

MAHASISWA BERSUARA: Mama dan Bapak Saya Miskin Sebab Orde Baru

Amburadulnya fondasi perekonomian yang dibangun Soeharto dan kroninya sepanjang Orde Baru berujung pada krisis moneter 1998. Berjuta rakyat Indonesia menderita.

Ahmad Ramzy

Pegiat Aksi Kamisan Salatiga dan anggota LPM DinamikA

Ilustrasi. Kontroversi pemberian gelar pahlawan nasional pada Presiden ke-2 RI Soeharto. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

14 November 2025


BandungBergerak.id – Tanggal 10 November jadi jejak sejarah terpukulnya seluruh warga, orang tua, para keluarga korban, korban-korban dan tentunya “pemberontak” yang masih setia berlaku adil. Hingga akhirnya, kita semua sama-sama menyaksikan pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional.

Mama dan bapak saya mungkin hanya bagian dari warga-warga medioker. Namanya tidak dikenal orang banyak, namun mereka berdua termasuk dari jutaan orang yang merugi akibat amburadulnya fondasi perekonomian nasional –krisis moneter (krismon) sampai 77,6 persen. Tentu, saya sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, syok ketika Soeharto naik panggung bersanding dengan para pahlawan nasional yang lain.

Bagaimana bisa, seorang yang dituduh terlibat genosida manusia serta budaya, dapat gelar penting. Andaikan ada gelar “Pelanggar HAM” yang resmi secara nasional dan disiarkan kepada khalayak publik, maka Soeharto layak bertengger di urutan wahid untuk mendapatkannya.

Bahkan, banyak orang harus bertiarap setiap harinya dan bergelut dalam rutinitas harian yang membosankan di bawah kendali rezim totalitarianisme Orde Baru. Sekali saja, go public melakukan resistensi, risiko yang didapat dua: dibunuh atau di bui.

Tangan besi Soeharto berlumuran darah, banyak tragedi kelam terjadi di masa kepemimpinannya. Berikut tragedi kelam Indonesia sewaktu Soeharto jadi presiden: 1) Tragedi 1965-1966; 2) Tragedi Penembakan Misterius (1982-1985); 3) Tragedi Tanjung Priok (1984); 4) Tragedi Talangsari (1989); 5)

Tragedi Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); 6) Pembantaian Santa Cruz (1991); 7) Tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (1998-1999); 8) Tragedi Mei 1998; dan lain-lain.

Itulah yang mama dan bapak saya rasakan, karena kekangan hegemoni yang kuat, aktivitas kesehariannya hanya bekerja dan menghidupi rumah tangga. Tiba-tiba datang masa paceklik ekonomi nasional, semuanya jadi berantakan, melawan tidak mampu, bertahan pun susah.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Memutus Lingkaran Abang-abangan dalam Kampus
MAHASISWA BERSUARA: Soeharto Bukan Pahlawan Kami
MAHASISWA BERSUARA: Berhentilah Bermain Pahlawan-pahlawanan

Mama dan Bapak Tidak Lagi Bekerja, Mengurus Anak Tertatih-tatih

Tahun 1997 ketika Thailand sistem nilai tukarnya diubah dari mengambang terkendali (managed floating) ke mengambang bebas (free floating), depresi ekonomi terjadi. Kerugian ekonomi Thailand juga disebabkan oleh George Soros melalui Quantum Group of Fund melakukan spekulasi dengan meminjam uang Bath berjumlah besar.

Cara itulah yang akhirnya membuat kekuatan mata uang Bath melemah, sedangkan dolar Amerika semakin kuat karenanya. Bukan hanya di Thailand, efek domino mengena ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

M. C. Ricklefs melihat fenomena krismon yang terjadi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia menciptakan kondisi perusahaan-perusahaan besar bubrah. Kelas pekerja berserakan nasibnya. Middle class ikut terbebani ekonominya.

Bapak dari Januari 1991 termasuk karyawan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) di kantor pusatnya yang beralamat di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Bank milik Sjamsul Nursalim ini terseret lingkaran setan kasus BLBI yang merugikan uang negara hingga Rp. 138 triliun. Sjamsul Nursalim secara langsung terlibat kasus likuiditas Bank Indonesia, salah satunya diperuntukkan untuk proyek konsorsium produk mobil merek Timor milik Tommy Soeharto.

BDNI tempat kerja bapak, kemudian melipat habis karyawan-karyawannya, baik di kantor pusat maupun kantor cabang setelah dipaksa tutup pada Agustus 1998 oleh pemerintah. Bapak termasuk yang kena dampak PHK massal. Saat bekerja, penghasilan bapak hingga 500 ribu per bulannya. Setelah didepak, bapak menerima pesangon sekitar 25 juta dan asuransi anak sebesar 2 juta. Kebetulan abang saya lahir di bulan September tahun 1998, dan umurnya belum genap sebulan.

Pun biaya rumah kontrak yang ditempati saat itu oleh mama, bapak dan abang berkisar 800 ribu per tahunnya. Kemudian, mama yang saat itu masih bekerja di kantor hukum milik Nuno Makarim –ayah Nadiem Makarim, tak lama turut memilih resign sebab terdapatnya masalah mengenai pemberian dana insentif melahirkan abang. Lalu, mama membawanya ke meja hukum mengenai haknya sebagai pekerja, dan kemenangan berpihak kepadanya. Setelahnya, mama menjadi ibu rumah tangga.

Pada tahun-tahun pertama orde reformasi, bekas krismon menciptakan fluktuasi ekonomi yang saat itu masih terasa, membuat harga pangan turut melonjak. Sehingga, keperluan-keperluan domestik dan untuk membeli kebutuhan anak sulungnya saat itu cukup membuat tertatih-tatih. Bapak pernah mencontohkan salah satu hal yang dibeli sebelum krismon hanya seharga 3 ribu, saat krismon melonjak naik di angka 20 ribu.

Mama sendiri pernah bercerita, di masa-masa krismon hidup begitu pahit rasanya. Dari mengandung anak sulungnya, mama selalu khawatir ketika melihat demonstrasi besar-besaran di ibukota saat itu. Ditambah, depresi ekonomi nasional memperkeruh keadaan psikisnya selama mengandung hingga melahirkan anak sulungnya itu.

Bahkan, mama kelimpungan membeli barang-barang pangan untuk urusan dapur dan susu anaknya. Ditambah, membeli pakaian untuk anaknya cukup menguras “kas rumah” yang dimiliki oleh mama dan bapak.

Sebagai kepala rumah tangga, bapak setelah terkena PHK sulit mendapatkan pekerja yang “layak” lagi. Dirinya, di tempat ia terlahir, di Tanah Abang, ia memilih jadi sopir ojek pengkolan untuk menambal keuangan rumah tangga, meskipun pemasukannya jadi tidak menentu. Mama pun belum mendapatkan pekerjaan lagi.

Ekonomi Bergantung Berujung Bubrah

Problem ekonomi yang dialami oleh kedua orang tua saya, nyatanya menjadi beban semua orang sejak Soeharto bermesraan dengan Amerika Serikat. Bergulirnya kerja sama itu, pertama-tama menjadikan gunung emas di Papua sebagai tumbal untuk PT Freeport dengan adanya penekenan aturan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967. Demikian, ekonomi nasional terbawa arus ekonomi global.

Bagi Andre Gunder Frank, ekonom asal Argentina, ketika negara periferi menggantungkan perekonomiannya kepada negara bercorak kapitalisme global, maka negara tersebut menjadi tidak bertumbuh sama sekali –undevelopment. Salah satunya adalah, negara periferi mengemis uang untuk berhutang pada negara-negara pusat ekonomi.

Lihat saja ikatan utang luar negeri Indonesia, akhir Desember 1997 utang luar negeri Indonesia berada di angka 137,42 miliar US Dolar. Adapun ditambah dengan utang swasta hingga 73,96 miliar. Angka mata uang di Asia Tenggara yang tengah morat-marit berpengaruh pada ketidakmampuan Indonesia melunaskan hutangnya.

Di tengah kondisi bubrah-nya ekonomi Indonesia di tangan Soeharto, pada tahun yang sama, datanglah IMF sebagai dokter penyembuh, memberikan “obat” pemulih berupa uang multilateral sebesar 43 miliar yang dikirim secara bertahap selama 3 tahun. Salah satu kesepakatan dari Letter of Intent, dilakukannya likuidasi 16 bank. Bukannya untung, upaya ini justru membuat Indonesia buntung pada 1998.

Tentu itu juga disebabkan oleh budaya nepotisme Soeharto terhadap keluarga cendana. Selain itu, Boediono mencatat, likuidasi 16 bank mengkonfirmasi kepada khalayak bahwa perekonomian nasional sedang tidak sehat.

Akibat kerugian ini, warga Indonesia banyak yang mengalami nasib sial –hidup jadi melarat. Si miskin semakin miskin. Itulah yang dirasakan oleh mama dan bapak, begitu pun berjuta-juta orang di Indonesia. Hal ini seharusnya merupakan bagian dari ketidaklayakan Soeharto menjadi pahlawan nasional.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//