MAHASISWA BERSUARA: Islam dan Tradisi
Keseimbangan antara Islam dan tradisi hanya bisa dijaga dengan kejujuran.

Salsabiil Firdaus
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
24 November 2025
BandungBergerak.id – Tradisi dan budaya memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir setiap daerah punya cara sendiri dalam merayakan kebiasaan, menghormati leluhur, atau menjaga hubungan sosial. Keberagaman itu tumbuh dari banyaknya suku bangsa yang masing-masing membawa nilai, cerita, dan cara hidup yang berbeda. Ketika kita bergerak dari satu kota ke kota lain, kita sering menemukan suasana sosial yang berubah, mulai dari adat perayaan, tata krama, sampai kebiasaan kecil yang menyertai kehidupan sehari-hari.
Karena begitu melekatnya tradisi ini, wajar kalau sebagian orang merasa tidak nyaman ketika ada yang mempertanyakannya. Kritik kecil saja terkadang dianggap sebagai upaya menghapus identitas. Kalimat “dari dulu juga begini” muncul seakan itu sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat. Padahal, kalau dipikir-pikir, tradisi yang kuat mestinya tidak rapuh hanya karena ditinjau ulang. Justru dari evaluasi itu kita bisa tahu apakah sebuah tradisi masih punya tempat, atau sebenarnya hanya bertahan karena kita malas mengoreksinya.
Kalau kita lihat lebih dekat, banyak sekali tradisi di masyarakat justru menjadi jembatan yang membuat orang lebih dekat pada nilai-nilai Islam. Contoh paling sederhana misalnya seperti adanya pengajian majelis taklim, kerja bakti dalam masyarakat, sampai kebiasaan warga saling membantu saat ada yang kesulitan. Semua itu merupakan bagian dari syariat Islam yang umum, tetapi dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dan sudah mengakar menjadi suatu tradisi dan budaya yang baik untuk dipelihara.
Tradisi semacam ini tidak pernah menjadi persoalan karena buka berada di wilayah ibadah dari syariat Islam. Selama sebuah tradisi tidak memuat keyakinan yang bertentangan dengan nilai tauhid atau tidak mengubah tata cara ibadah, Islam membiarkannya hidup bahkan mendorong nilai baik di dalamnya. Justru melalui tradisi yang akrab seperti ini, masyarakat merasa agama tidak datang sebagai beban atau aturan baru yang memberatkan, tetapi sebagai penyempurna praktik hidup yang sudah mereka jalani.
Namun persoalan mulai muncul ketika tradisi bergerak keluar dari ranah sosial dan masuk ke wilayah yang lebih sensitif. Misalnya ketika sebuah ritual adat diberi nilai kesalehan terhadap tokoh tertentu, atau ketika sesajen dan upacara-upacara tertentu dipercaya memiliki kekuatan yang menentukan nasib seseorang. Di titik ini, tradisi tidak lagi hanya menjadi cara masyarakat mengekspresikan budaya tersebut, tetapi berubah menjadi keyakinan baru yang berdiri sejajar atau bahkan kadang lebih dominan, dibandingkan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Situasi seperti ini yang justru menimbulkan masalah. Masyarakat merasa wajib menjalankan tradisi tersebut bukan karena memahami maknanya, tetapi karena takut terjadi sesuatu jikalau tidak melakukannya. Kekhawatiran itulah yang membuat garis antara adat dan ibadah menjadi kabur. Padahal, sejak awal Islam mengingatkan bahwa dalam urusan ibadah dalam Islam tidak boleh ditambah-tambahi, dikurang-kurangi, atau bahkan diubah-ubah. Karena pada dasarnya, syariat Islam sudah sempurna sebagaimana dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 3.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mama dan Bapak Saya Miskin Sebab Orde Baru
MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan Melawan Setan Tanah di Sukahaji
MAHASISWA BERSUARA: Sampah Bandung, Cermin Krisis dan Harapan Kota Kreatif
Melampaui Batas Budaya
Fenomena seperti ini sudah terlihat jelas dalam berbagai kebiasaan masyarakat yang justru sebenarnya sudah melampaui batas budaya. Ada tradisi-tradisi tertentu yang awalnya hanya simbol ataupun ekspresi lokal, tetapi kemudian diberi muatan kepercayaan yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Misalnya keyakinan bahwa sesajen di sudut sawah dapat menjaga lahan tersebut dari gangguan ataupun ritual tertentu dianggap mampu menolak bala tanpa hubungan apapun dengan nilai ketauhidan, sehingga perlahan berubah menjadi praktik yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Ada juga yang meyakini benda-benda pusaka yang dianggap keramat sebagai sebuah sumber keberuntungan, ataupun ritual tertentu sebagai syarat agar usaha tidak bangkrut. Kita mungkin sudah terbiasa mendengarnya sejak kecil, sehingga tidak merasa janggal. Di titik inilah kita harus berani membedakan mana yang sekadar tradisi budaya saja, dan mana yang sudah masuk kategori syirik. Sebab yang paling merusak bukan tradisinya, tetapi cara kita memperlakukan tradisi tersebut. Ketika tradisi itu diberi status sebagai penentu nasib, kita sedang memindahkan harapan, rasa takut, dan juga ketergantungan kita kepada sesuatu selain Allah.
Ironisnya, banyak dari praktik itu tetap dipertahankan bukan karena keyakinannya benar, tetapi karena tekanan sosial yang besar. Orang takut disebut tidak menghormati leluhur, dianggapnya membawa sial, ataupun dituduh ingin menghilangkan budaya. Padahal yang ingin dijaga bukan budayanya, melainkan kemurnian akidah. Kita bisa saja menghormati leluhur tanpa mengikuti semua tradisi mereka. Justru menghormati dengan bijak berarti menyaring mana yang masih layak dipertahankan, mana yang memang perlu ditinggalkan.
Selama masyarakat tidak diberi ruang untuk membedah tradisi secara kritis, maka praktik syirik berkedok budaya akan terus hidup atau bahkan diwariskan. Tradisi yang seharusnya menjadi penanda identitas berubah menjadi suatu penghalang yang dapat mengaburkan ajaran agama. Dan hal ini jika dibiarkan, budaya yang seharusnya menumbuhkan rasa kebersamaan malah berpotensi menciptakan kebingungan spiritual yang berkepanjangan. Di sisi lain, agama Islam sebenarnya sudah menyiapkan prinsip yang sangat jelas untuk menghadapi persoalan ini.
Sejak awal, Islam tidak datang dengan membawa sikap anti-budaya. Islam justru menghargai ruang sosial yang dibentuk masyarakat, selama ruang itu tidak merusak pondasi akidah. Jika kita membaca sejarah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak menghapus seluruh adat istiadat Arab. Beliau hanya menolak tradisi yang berisi keyakinan syirik, merugikan, atau mengabaikan niali-nilai kemanusiaan. Tradisi yang bersifat sosial dan selaras dengan tauhid tidak dipertentangkan. Tetapi jika sebuah tradisi menjadi ibadah, menambah-nambahkan ritual, atau dipercaya memiliki kekuatan gaib, maka ia harus ditinggalkan.
Prinsip ini sebenarnya sudah sangat relevan untuk kondisi masyarakat kita sekarang. Banyak orang ingin menjaga tradisi demi identitas budaya, tetapi di saat yang sama tidak ingin terjebak pada praktik yang menodai tauhid. Masalahnya, batas antara budaya dan keyakinan seringkali kabur di benak masyarakat. Ada tradisi yang sebenarnya murni nilai sosial, tetapi diberi makna mistik. Ada pula tradisi yang awalnya diniatkan sebagai penghormatan budaya, tetapi akhirnya diperlakukan sebagai kewajiban spiritual. Karena itulah kita butuh dorongan keberanian untuk menempatkan tradisi di posisi yang proporsional.
Menghormati budaya bukan berarti mengamini seluruh isinya. Meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan agama bukan berarti tidak menghargai leluhur. Sikap kritis justru menjadi tanda bahwa kita ingin tradisi berkembang dengan sehat, bukan dibiarkan berjalan apa adanya tanpa arah. Jika budaya membuat masyarakat lebih solid, lebih beradab, dan lebih dekat kepada nilai-nilai Islam, maka tidak ada alasan untuk menolak. Tetapi ketika budaya mulai menambah-nambahkan sesuatu pada agama, atau menggeser keyakinan dari tempat yang semestinya, saat itulah agama harus menjadi filter yang jelas.
Keseimbangan antara Islam dan tradisi hanya bisa dijaga dengan kejujuran. Kita tidak perlu menyangkal identitas budaya kita, tetapi juga tidak boleh mengorbankan prinsip agama demi sesuatu yang sebenarnya lahir dari kebiasaan manusia. Tradisi juga akan tetap menjadi ruang ekspresi kita sebagai bangsa yang majemuk, sementara agama akan tetap menjadi kompas yang memastikan langkah kita ini tidak salah arah. Selama keduanya ditempatkan sesuai porsinya, budaya tidak akan menenggelamkan syariat, dan syariat tidak akan menghapus budaya, bahkan keduanya justru bisa berjalan beriringan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

