• Opini
  • Siapa yang Harus Bertanggung Jawab di Bencana Sumatra

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab di Bencana Sumatra

Ketika kerusakan ekologi dan sosial terjadi, hukum harus menjadi sandaran keadilan dan efek jera.

Mugi Muryadi

Pegiat literasi, pemerhati sosial dan pendidikan, serta pendidik.

Ilustrasi. Eksploitasi alam yang berlebihan akan mendekatkan kehidupan manusia pada bencana. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Desember 2025


BandungBergerak.id – Banjir bandang dan longsor yang melanda banyak daerah di Sumatra bukan semata karena hujan deras. Ada jejak kerusakan ruang hidup akibat intervensi manusia. Saat hutan diubah menjadi kebun sawit, tambang, dan area industri, alam kehilangan kemampuan alami untuk menahan air dan menjaga stabilitas tanah. Maka di balik deru mesin dan ekspansi ekonomi, terkoyak luka ekologis yang kemudian meledak sebagai bencana dan tragedi.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa deforestasi di Sumatra berlangsung sangat masif. WALHI mencatat bahwa sepanjang 2016–2025, sekitar 1,4 juta hektare hutan hilang di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Dampaknya terlihat jelas ketika Jaringan Pemantau Independen Kehutanan menilai banjir dan longsor pada akhir November 2025 sebagai konsekuensi langsung dari deforestasi brutal yang merusak fungsi hidrologis kawasan hulu. Kondisi ini selaras dengan temuan bahwa tutupan hutan Sumatra Utara pada 2020 hanya tersisa sekitar 29 persen, sementara Sumatra Barat kehilangan hingga 32.000 hektare hutan pada 2024.

Fakta-fakta ini menunjukkan hilangnya hutan bukan peristiwa acak. Ekspansi industri ekstraktif menjadi faktor dominan hilangnya hutan di berbagai wilayah Indonesia. Perluasan perkebunan sawit, industri pulp, pertambangan, serta beragam proyek pembangunan mendorong perubahan besar pada lanskap hutan. Banyak kawasan berhutan termasuk area yang memiliki fungsi ekologis tinggi beralih menjadi lahan produksi melalui izin konsesi yang sah, sementara di sejumlah lokasi perubahan itu diperparah oleh praktik pembalakan liar. Paduan kedua faktor tersebut membuat tekanan terhadap hutan semakin kuat dan mempercepat laju degradasi lingkungan.

Baca Juga: Sumatra Berduka, Desakan Status Bencana Nasional Menguat
Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan
Kapitalisme, Dosa Struktural, dan Jalan Menuju Tobat Ekologis Pasca Bencana di Sumatra

Rusaknya Hutan

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit secara signifikan memperparah erosi tanah dan aliran permukaan air. Penelitian Diharyo dan Achmad Imam Santoso (2024) di Kalimantan Tengah menemukan bahwa kebun sawit menggantikan hutan alami meningkatkan erosi tanah hingga 25 persen dibandingkan kondisi hutan alami. Penelitian lain di DAS Jalemu, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa area perkebunan sawit lima tahun lebih tua menghasilkan limpasan permukaan dan erosi jauh lebih tinggi daripada area hutan, serta meningkatkan kehilangan unsur hara dan menurunkan kualitas air.  Akibatnya tanah kehilangan daya serap air alami, air hujan tak tertahan dan langsung mengalir ke sungai, sehingga risiko banjir dan longsor meningkat.

Hatma Suryatmojo menyatakan bahwa banjir bandang akhir November 2025 di Sumatra bukan sekadar akibat hujan deras  akar permasalahannya adalah kerusakan serius pada hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Tutupan hutan yang rusak menghapus fungsi ekologis vital seperti intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi air hujan.  Air pun langsung terkonsentrasi di sungai tanpa diserap tanah.

Hasilnya, limpasan permukaan melonjak tajam, erosi meningkat, dan sungai mudah meluap terutama saat hujan ekstrem  sehingga desa, pemukiman, dan infrastruktur di hilir DAS jadi sasaran kehancuran. Parahnya, bencana ini bukan kejadian tunggal melainkan puncak akumulasi degradasi ekologis dan tata ruang yang buruk, sehingga mempertegas bahwa tanggung jawab harus diarahkan pada pelaku kerusakan lingkungan, bukan semata pada alam.

Hutan tropis di Indonesia berperan penting sebagai penyerap air hujan dan penahan tanah di lereng, akar dan tajuk pohon menjaga air terserap ke dalam tanah serta mencegah longsor. Ketika hutan ditebang  secara luas, struktur tanah melemah dan kemampuan infiltrasi air menurun drastis. Akibatnya, saat hujan deras turun, air tidak lagi diserap tanah melainkan langsung mengalir ke sungai atau permukaan tanah. Tanpa keberadaan pepohonan, lereng bukit dan daerah hulu kehilangan penahan alami  tinggal menunggu waktu sebelum air deras memicu banjir bandang atau longsor.

Ini menunjukkan bahwa bencana di Sumatra bukan semata karena alam. Di dalamnya tersimpan jejak keputusan manusia tentang izin, konsesi, dan model pembangunan.

Maka, korporasi perkebunan, pertambangan, dan usaha ekstraktif lain harus bertanggung jawab. Mereka yang mengajukan dan menerima izin konsesi, membuka hutan, lalu menjalankan usaha tanpa memedulikan dampak ekologis. Banyak konsesi terletak di area hutan kritis dan hulu sungai di mana perubahan langsung mengguncang sistem hidrologis.

Pemerintah  pusat maupun daerah  ikut bertanggung jawab. Ketika izin dikeluarkan tanpa kajian lingkungan memadai, atau ketika pengawasan lemah, maka negara turut ambil bagian dalam penciptaan kerentanan ekologis. Data 1,4 juta hektare hutan hilang dalam satu dekade menunjukkan bahwa regulasi dan penegakan hukum belum efektif.

Elite lokal dan aktor politik yang memfasilitasi akses lahan untuk konsesi perlu diungkap. Sering terjadi kooptasi dan relasi kuasa di balik izin konsesi besar. Ketika mereka jadi jembatan antara modal besar dan ruang hidup masyarakat, mereka pun harus ikut turut bertanggung jawab. Perlu ada penegakan hukum yang tegas. Izin konsesi yang terbukti merusak lingkungan harus dicabut. Hutan dan lahan kritis yang dikonversi secara ilegal harus dikembalikan fungsinya. Pemerintah harus membekukan izin sampai perusahaan mematuhi standar lingkungan dan sosial.

Libatkan Kelompok Masyarakat Terdampak

Korporasi dan pelaku konsesi harus memberikan kompensasi nyata kepada masyarakat terdampak seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Kompensasi tidak hanya uang, tetapi restitusi, yakni akses kembali ke lahan produktif, restorasi ekosistem, dan hak pengelolaan wilayah.

Sanksi pidana bagi pejabat atau perusahaan yang melanggar aturan lingkungan harus diberlakukan. Ketika kerusakan ekologi dan sosial terjadi, hukum harus menjadi sandaran keadilan dan efek jera.

Mengandalkan infrastruktur seperti tanggul, embung, atau normalisasi sungai tidak cukup. Jika hulu sungai tetap rusak, setiap hujan ekstrem tetap menjadi ancaman. Sebab itu, perlu reformasi tata kelola ruang, yaitu izin transparan, penolakan konsesi di area hulu dan ekosistem kritis, serta pengakuan hak masyarakat atas tanah dan hutan mereka.

Pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat bisa menjadi solusi. Komunitas lokal dan masyarakat adat sering lebih peka terhadap alam sekitar. Bila mereka dilibatkan dalam restorasi lanskap, menjaga fungsi hidrologis, dan mengawasi area konservasi, ketangguhan ekologis bisa terbangun lebih berkelanjutan.

Kajian tentang konversi hutan ke perkebunan sawit mendukung hal ini. Ketika tanaman penutup tanah dan pepohonan hilang, tanah jadi rentan erosi dan aliran air permukaan meningkat. Itu memperkuat argumen bahwa restorasi dan konservasi alami jauh lebih efektif daripada infrastruktur beton semata.

Pemulihan pascabencana dan mitigasi ke depan harus melibatkan kelompok paling terdampak, yaitu masyarakat adat, petani kecil, nelayan, warga bantaran sungai. Hanya dengan partisipasi mereka kebijakan akan adil dan sesuai kebutuhan. Demokrasi lingkungan berarti memberi ruang bagi suara lokal, bukan sekadar tatanan formal. Ruang hidup, hutan, dan air bukan untuk dikomersialkan secara sepihak. Mereka adalah hak hidup dasar masyarakat yang harus dijaga dan dikelola bersama.

Bencana ini seharusnya menjadi penanda bahwa kita perlu mengubah cara memaknai tanah dan air bukan sebagai komoditas bagi segelintir pihak, tetapi sebagai ruang hidup bersama yang harus dijaga dengan keadilan dan keberlanjutan. Jika kita terus mengabaikan pelajaran yang ditinggalkan banjir dan longsor, alam akan kembali mengingatkan dengan cara yang lebih keras. Akhir terbaik dari tragedi ini bukan sekadar membangun rumah-rumah yang runtuh, tetapi membangun ulang tata kelola ruang yang berpihak pada kehidupan, bukan sekadar keuntungan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//