Sedia Aku sebelum Hujan: Idgitaf dan Antitesis Simbol Ekologi pada Bencana Sumatra
Lirik Sedia Aku sebelum Hujan karya Idgitaf sarat simbol ekologi positif. Namun, yang terjadi di Sumatra adalah bencana karena campur tangan manusia yang serakah.

Arif Syamsul Ma'arif
Pengajar Bahasa Indonesia di SMP dan SNBT serta eks jurnalis.
18 Desember 2025
BandungBergerak.id – Solois Idgitaf baru saja menelurkan single anyar yang bertajuk Sedia Aku sebelum Hujan pada Oktober lalu. Tafsiran lirik tentang pengorbanan seseorang kepada orang terkasih lantas menjadi peluru yang bersarang di hati pendengar sehingga mudah diterima di masyarakat. Hal itu terbukti bahwa pendengar tembang tersebut sudah mencapai 31 ribu di platform Spotify.
Pelantun lagu Satu-satu dan Dewasa ini memang mahir dalam meramu lirik yang beririsan dengan fenomena pendewasaan diri. Sungguhpun begitu, pada tembang Sedia Aku Sebelum Hujan, banyak warga maya yang mengaitkannya dengan peristiwa banjir dan longsor yang menerjang Pulau Sumatra, khususnya Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa bencana tersebut disebabkan oleh munculnya fenomena Siklon Tropis Senyar sehingga intensitas hujan menjadi deras di tiga provinsi tersebut. Selain itu, beredar juga potongan video yang menayangkan kayu gelondongan yang terhampar di jalanan hingga tepi pantai. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per 14 Desember 2025, korban jiwa sudah mencapai 1.016 orang. Angka tersebut kemungkinan akan bertambah menyusul 212 orang yang masih hilang.
Melihat peristiwa bencana itu, penulis berasumsi bahwa ada simbol-simbol yang muncul pada lagu Sedia Aku sebelum Hujan. Hal itu tersurat pada teknis-teknis bencana: longsor, banjir, hingga kayu gelondongan, yang berkaitan dengan lahan-lahan hutan yang terdampak deforestasi. Dengan begitu, apakah lirik lagu Sedia Aku sebelum Hujan berkolerasi dengan ekologi antara hutan dan manusia?
Baca Juga: Kapitalisme, Dosa Struktural, dan Jalan Menuju Tobat Ekologis Pasca Bencana di Sumatra
Bencana Sumatra: Dari Pahlawan ke Titik Nol
Aksi Bisu di Gedung Sate Menuntut Darurat Bencana Sumatra
Tafsiran Simbol ekologi
Jadi waktu itu dingin
Kuberi kau hangat
Jadi waktu itu panas
Kuberi kau angin
Klausa Jadi waktu itu dingin, kuberi kau hangat menafsirkan bahwa hutan sebagai penyangga kenyamanan ekologis. Kata dingin mengandung simbol potensi bencana yang terjadi, seperti longsor dan banjir. Akan tetapi, kata hangat lantas menyimbolkan bahwa hadirnya pohon-pohon di hutan menjadi penyangga agar tidak terjadi bencana tersebut.
Klausa Jadi waktu itu panas, kuberi kau angin menafsirkan bahwa hutan memberikan suatu kenyaman di balik problematika kehidupan. Kata panas menyimbolkan bahwa kondisi perubahan iklim bisa berdampak pada suhu bumi yang meningkat. Kendati demikian, klausa kuberi kau angin menjadi juru selamat untuk menetralkan tubuh dari suhu bumi yang menyengat.
Penelitian Ervayenri, Eni Suhesti, dan Azwin Said (2023) menyebutkan bahwa vegetasi–terutama pohon–memberikan impak positif dalam pengurangan temperatur lewat penyerapan dan refleksi terhadap radiasi matahari sehingga memberikan kenyamanan terhadap makhluk hidup.
Walaupun ku juga beku
Tapi ku aman saat kau nyaman. Walaupun ku juga gerah Tapi ku penuh saat kau teduh.
Bait tersebut menafsirkan pengorbanan hutan demi hajat masyarakat. Kata beku dan gerah menyimbolkan bahwa apa pun kesulitan yang dialami oleh pohon-pohon di hutan, mereka akan tegak berdiri. Klausa ku aman saat kau nyaman dan kata teduh menyimbolkan bahwa apa pun yang terjadi, selama hutan masih ada, masyarakat tetap aman saat beraktivitas.
Salah satu manfaat keberadaan pepohonan bagi manusia adalah kemampuannya dalam mengurangi risiko terjadinya bencana banjir sehingga aktivitas masyarakat tidak terganggu. AIrnawati Irnawati, Mierta Dwangga, dan Muhammad Fadli Hasa (2023) menyebutkan bahwa hutan menjelma sebagai pengatur tata air hidrologis yang berfungsi dengan baik sehingga mampu meminimalisir terjadinya banjir.
Ku yang lama di sini
Menjagamu tak patah hati
Sedia aku sebelum hujan
Apa yang kau butuh kuberikan
Bait di atas menafsirkan bahwa hutan menjadi penopang hidup bagi manusia. Larik Ku yang lama di sini menyimbolkan bahwa hutan menjadi kunci dalam berjalannya suatu kehidupan. Adanya proses fotosintesis dari tumbuhan di sekitar hutan menjadi pemasok oksigen. Itulah sebabnya bahwa hutan dianggap sebagai jantungnya bumi.
Larik sedia aku sebelum hujan dan apa yang kau butuh kuberikan menyimbolkan bahwa hutan bisa memberikan manfaat praktis bagi manusia. Contohnya, pemanfaatan industri pada hutan guna memenuhi kebutuhan manusia, seperti kayu, kertas, hingga produk olahan lainnya. Sementara itu, larik menjagamu tak patah hati menyimbolkan bahwa hutan tak akan marah saat dieksploitasi asalkan si pelaku kembali merawatnya. Salah satunya dengan reboisasi.
Khoirrun Yuridillah, Isnaini, Nurmala Siska Dewi, dan Nurul Hasanah (2025) menyatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara hutan dan makhluk hidup yang memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas ekosistem.
Ke mana pun tak akan kau temukan
Yang siapkan bekalmu di peperangan
Larik tersebut menafsirkan bahwa adanya hutan bisa menyelamatkan manusia dari bencana. Kata peperangan menyimbolkan kesiapan manusia pada perubahan iklim yang bisa saja mengakibatkan bencana, seperti longsor dan banjir.
Anifa Hakim, Mira Yuliana Ekasari, Tiara, Muhammad Saefuddin Fahmi, Liramadani, Nur Khalifah, dan Ardillah Abu (2024) menyebutkan bahwa hutan mempunyai beberapa fungsi di tingkat lokal: berkontribusi pada pengaturan siklus air, melindungi tanah dari erosi, menyediakan sumber daya alam bagi masyarakat setempat, hingga menjadi penyangga pada bencana alam.
Antitesis Ekologi atas Realita
Sepenggal lirik Sedia Aku sebelum Hujan sarat akan ekologi positif. Namun, yang terjadi di Sumatra malah berantonim. Hutan dari ketiga provinsi yang terkena bencana tersebut tak semata-merta karena ulah alam, tetapi ada campur tangan manusia yang serakah akan nominal. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Dirut WALHI) Aceh, Ahmad Solihin mengatakan bahwa biang keroknya adalah aktivitas deforestasi yang melahap 1,4 juta hektare hutan.
Ahmad Solihin merincikan beberapa aktivitas yang menyebabkan rontoknya hutan-hutan tersebut, yakni perusahaan pemegang izin tambang, Hak Guna Usaha (HGU) sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), geotermal, izin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM).
Aktivitas-aktivitas yang merugi tersebut dilakukan tepat di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari hulu sungai yang terganggu tersebut, fungsi hutan sebagai pengendali daur air malah memicu erosi masif hingga longsor. Selain itu, ditambah debit air sungai yang tinggi akibat hujan deras semakin memperparah bencana tersebut.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM Hatma Suryatmojo mengatakan bahwa ketika hulu hutan rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang. Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Dampaknya, mayoritas hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir.
Koda
Sudah pahamkan sejauh ini?
Dari penggalan lirik tersebut, Idgitaf memberikan majas retoris yang menjadi refleksi antarelemen. Kita dapat mengetahui bahwa manusia dan alam mempunyai hubungan ekologis. Bila kita merawatnya dengan baik, kita bisa mendapatkan benefit yang positif. Sebaliknya, bila kita tidak merawatnya, bencana bisa datang tanpa permisi sebab timbul akumulasi kemarahan atas eksploitasi yang ugal-ugalan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

