• Berita
  • Aksi Bisu di Gedung Sate Menuntut Darurat Bencana Sumatra

Aksi Bisu di Gedung Sate Menuntut Darurat Bencana Sumatra

Teatrikal manusia berlumpur soroti lambannya respons pemerintah, maraknya deforestasi, dan meningkatnya korban bencana Sumatra.

Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatera di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam11 Desember 2025


BandungBergerakTiga lelaki berlumpur merangkak perlahan di pelataran Gedung Sate, Bandung, Senin, 8 Desember 2025. Satu menutup telinga, satu menutup mata, satu membungkam mulut. Mereka bergerak tanpa suara, merepresentasikan korban banjir bandang di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

Di belakang mereka berdiri sosok Dewi Keadilan dengan mata tertutup lakban hitam. Seorang peserta lain memegang poster berisi data bencana. Aksi senyap ini digagas komunitas Literasi Orang-orang Ngelantur (Literatur) sebagai bentuk solidaritas bagi korban bencana ekologis di Sumatera.

Sebelum sampai di Gedung Sate, peserta berjalan kaki 3,7 kilometer dari Universitas Halim Sanusi Bandung. Aksi berlangsung lebih dari satu jam dalam hujan rintik.

Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatera di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatera di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Latar Bencana dan Kritik terhadap Pemerintah

Aksi ini merespons meluasnya banjir bandang dan longsor yang sejak akhir November menenggelamkan ratusan permukiman di tiga provinsi. Korban jiwa terus bertambah, ribuan warga mengungsi, persediaan logistik menipis, air bersih sulit diakses, dan harga kebutuhan pokok melonjak.

Peserta aksi menilai pemerintah pusat lambat menetapkan status darurat bencana nasional, meski bencana sudah berlangsung lebih dari sepekan. Mereka juga menyoroti munculnya aksi penjarahan di beberapa daerah sebagai tanda minimnya bantuan cepat dari negara.

Rendra Adhitia Pratama, tablo dengan telinga tertutup lakban, menegaskan bahwa bencana besar ini tidak hanya akibat curah hujan, tetapi juga deforestasi yang terus meluas.

“Jeritan mereka yang di Sumatera sana tak terdengar baik (oleh pemerintah),” ujarnya.

Ali Fajar, yang menutup matanya, menyoroti lemahnya perhatian negara terhadap kondisi ekologis hutan Sumatera. Menurutnya, konversi hutan menjadi tambang dan kebun sawit memperparah risiko bencana.

“Jangan dibiarkan hutan-hutan kita diambil alih perusahaan yang tidak bertanggung jawab,” katanya.

Dias Maulana, dengan mulut dibungkam lakban, menyebut simbol itu sebagai hilangnya harapan kepada pemerintah. Ia menilai keterlambatan bantuan pusat turut mendorong warga terpaksa mencari kebutuhan pokok dengan cara apa pun.

Sebagai Dewi Keadilan, Shifalia Nur Khodijah menyoroti tanggung jawab pejabat negara dan korporasi. Ia menilai deforestasi tak mungkin terjadi tanpa izin pemerintah.

“Nah, semoga kedepannya mempertimbangkan lagi bagaimana mengelola hutan tersebut gitu,” ungkapnya.

Baca Juga: Hujan Ekstrem dan Kerusakan Hutan Mempercepat Terjadinya Banjir di Cililin dan Bandung Selatan
Banjir di Pangalengan, Penggundulan Kebun Teh, dan Mengapa Kita Butuh Uang

Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatera di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatera di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Mengapa Aksi Bisu?

Koordinator lapangan, Rizki Maulana Sidiq, mengatakan aksi ini lanjutan dari kegiatan teater yang selama ini mengangkat isu sosial dan lingkungan. Keputusan untuk melakukan aksi bisu, katanya, lahir dari keprihatinan atas sikap pemerintah yang kerap menyepelekan dampak deforestasi.

Ia menyinggung film dokumenter 17 Surat Cinta yang mengungkap praktik pembabatan hutan di Aceh hingga Papua. “Surat-surat itu tidak pernah dibalas,” ujarnya.

Komunitas Literatur menutup aksi dengan doa bersama dan penyalaan lilin. Mereka menyampaikan dua tuntutan: menetapkan bencana ekologis di Sumatra sebagai Darurat Bencana Nasional dan mengusut tuntas deforestasi dan menghukum semua pihak yang terlibat.

Data Terkini Bencana Sumatra

Hingga Senin, 8 Desember 2025, BNPB melaporkan 961 orang meninggal dan 293 hilang. Kerusakan fisik meliputi 148 ribu rumah, 1.200 fasilitas umum, 534 sekolah, 420 rumah ibadah, 405 jembatan, 234 gedung kantor, dan 199 fasilitas kesehatan.

Bandung Raya Juga Terancam

Aksi di Gedung Sate bukan tanpa konteks lokal. Bandung Raya yang dikelilingi gunung, sungai, dan sesar aktif, juga rentan terhadap bencana.

Pada 5 Desember 2025, longsor melanda Kampung Condong, Desa Wargaluyu, Kabupaten Bandung, menimbun tiga orang dari satu keluarga. Sebanyak 95 kepala keluarga terpaksa mengungsi.

Pada November 2024, banjir bercampur lumpur menerjang Banjaran Wetan dan merusak sedikitnya 20 rumah. Bandung juga pernah dilanda banjir besar di kawasan Cicaheum pada 2018.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//