LARI DULU, UPLOAD NANTI: Ada Uang di Balik Fenomena Pelari Kalcer
Fenomena lari di Kota Bandung diikuti dengan tumbuhnya ekosistem, termasuk perputaran ekonomi di antara pelari, UMKM, dan fotografer.
Penulis Fitri Amanda 25 Desember 2025
BandungBergerak - Fenomena meningkatnya komunitas lari di Bandung tidak hanya membangun gaya hidup sehat, tetapi juga memunculkan ekosistem ekonomi baru yang melibatkan UMKM hingga indsutri kreatif. Dalam ekosistem ini, komunitas lari seperti Babaturun memperlihatkan bagaimana aktivitas lari dapat menjadi jembatan antara pelari dan industri lokal.
Ricky Septian, 27 tahun, selaku tim media dari Babaturun, mengatakan bahwa industri saat ini melihat fenomena lari kian hari kian besar. Pelari kini telah menjadi “massa baru” yang dibutuhkan oleh industri. Industri melihat para pelari yang selalu berkumpul dan bergerak, sehingga mereka melihat hal ini menjadi peluang exposure.
Dari peluang tersebut, terjalinlah kerja sama antara komunitas lari dan pelaku usaha atau industri. Bentuk kerja samanya sederhana, pelaku usaha seperti coffe shop (kafe), misalnya, akan memberikan diskon makanan, minuman gratis, hingga fasilitas tempat sebagai imbal balik atas paparan publik melalui konten seperti video-video pendek yang dibuat para pelari yang kemudian diunggah ke media sosial mereka.
Relasi ini menciptakan solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, komunitas mendapat fasilitas, dan pelaku usaha akan memperoleh visibilitas bahkan keuntungan secara ekonomi.
“Yang utama kan ya kalau benefit ini kan harus ada win-win solution ya buat keduanya,” ungkap Ricky ditemui BandungBergerak 7 Desember 2025.
Dalam kerja sama dengan para pelaku usaha, seorang co-founder Babaturun, Haidar, 27 tahun, bahkan mengaku bahwa jadwal lari Babaturun setiap hari Sabtu telah penuh dipesan oleh berbagai kafe hingga tahun depan dengan bentuk kerja sama yang beragam. Sering kali para pelaku usaha yang menghubungi lebih dulu komunitas untuk kerja sama.
Dukungan ini tidak hanya terjadi pada level kegiatan rutin mingguan mereka, tetapi juga dalam kegiatan lari yang skalanya besar. Ketika Babaturun mengikuti ajang ITB Ultra Marathon yang mengharuskan mereka lari sejauh 180 kilometer dengan rute dari Jakarta ke Bandung, misalnya, mereka aktif mencari sponsor karena ajang ini membutuhkan biaya besar yang diperuntukkan pendaftaran, logisitik, transportasi, hingga perlengkapan lari.
Selain bentuk kerja sama dengan para pelaku usaha, Babaturun juga memberi dorongan bagi perkembangan indsutri lokal melalui pembuatan jersey yang dikerjakan oleh vendor lokal di Bandung.
“Ini juga mau menumbuhkan potensi lokal untuk brand-brand jersey (kita) masih lokal gitu,” ucap Haidar.
Berbeda dengan Babaturun, komunitas Tawarun sejak awal memiliki misi yang jelas, yaitu membantu UMKM kecil. Mereka bukan menunggu untuk ditawari kerja sama, tetapi justru mereka mengambil inisiatif mencari kafe kecil yang membutuh dukungan untuk bertumbuh.
Fauzi, 26 tahun, seorang kapten dari Tawarun, merasa bahwa UMKM dapat bertumbuh jika dekat dengan komunitas yang memberikan keterlibatan atau partisipasi terhadap UMKM. Maka dari itu, setiap kali Tawarun bekerja sama dengan kafe, Fauzi memastikan seluruh anggotanya melakukan pembelian di kafe tersebut sebagai bentuk timbal balik atas fasilitas yang sudah diberikan seperti tempat berkumpul, infuse water, hingga terkadang hadiah kecil untuk para pelari.
“Karena kan beli juga bukan beli ke orang, ini kan belinya ke warga lokal juga, ngebantu juga. Dan beli juga gak rugi karena mereka sudah ngasih banyak ke kita,” ucap Fauzi ditemui Bandungbergerak 30 November 2025.
Inisiatif tersebut lahir dari kurangnya kepercayaan pelaku usaha yang mendapatkan pengalaman tidak baik setelah bekerja sama dengan beberapa komunitas. Fauzi bahkan mengaku beberapa pelaku usaha menolak ajakan kerja samanya dengan alasan yang sama, sehingga ia harus berusaha lebih ekstra untuk meyakinkan para pelaku usaha.
Namun, seiring berkembangnya nama Tawarun melalui pemasaran dari mulut ke mulut, kini situasinya berbalik. Mereka tidak lagi berususah payah mengajukan penawaran kerja sama ke kafe-kafe atau UMKM, kini justru kebalikannya. Kafe, brand, bahkan hingga hotel menghubungi mereka untuk bekerja sama.
Baca Juga: Maharun, Olahraga Lari di Mata Alter Ego
Friday Football Street, Olahraga dan Ruang Publik sebagai Wadah Positif
Lahirnya Sektor Ekonomi Kreatif Baru di Jalan Dago
Seiring berkembangnya budaya lari, khususnya di Bandung, muncul pula pelaku ekonomi baru di ekosistem ini. Di Kawasan Dago, kelompok fotografer olahraga hadir karena tingginya minat dari para pelari yang ingin mendokumentasikan momen lari mereka, baik sebagai personal branding, kebutuhan konten, maupun sekedar arsip pribadi perjalanan gaya hidup sehat mereka.
Morgen Indra Margono, 54 tahun, salah seorang fotografer olahraga lari tersebut mengatakan bahwa peran mereka tidak hanya asal memotret, melainkan menciptakan pengalaman yang lebih berkesan untuk para pelari. Foto-foto yang berkualitas dari sudut tepat membuat aktivitas lari ini memiliki nilai tambah visual yang penting di era yang serba digital ini.
Seiring berkembangnya komunitas fotografer lari, mereka mulai menyusun struktur ekonomi yang lebih jelas. Harga-harga distandarkan agar persaingan tetap sehat. Foto regular dijual dengan harga yang disepakati yaitu 35.000 rupiah per foto, sementara untuk video slow motion harganya mulai dari 50.000 hingga 60.000 rupiah per video.
Pada event besar, produk fotografi memiliki kisaran harga tersendiri karena menyesuaikan dengan beban kerja, dengan harga sekitar 40.000 rupiah per foto. Para fotografer biasanya stand by mulai subuh.
Melalui platform online yang sudah tersedia, foto diunggah secara terorganisir, lalu pelari dapat mencari fotonya berdasarkan waktu dan lokasi, dan pembayaran yang dilakukan secara aman dan resmi. Hadirnya platofrom ini membuat struktur ekonomi menjadi lebih tertata.
Morgen berharap bahwa fotografer-fotografer olahraga lari di Dago dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi bagian dari ekonomi kreatif seperti fotografer di Braga. Simbioisis mutualisme para fotografer dengan para pelari dapat terus belangsung, karena sesungguhnya semua transaksi jual beli foto di platform tersebut juga dipotong oleh pajak
“Bagaimanapun foto ini nanti menyerap pajak, pajak kan balik lagi ke negara gitu,” ucapnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

