Pameran Etnografis Kita adalah Punan: Konsekuensi dari Kebijakan yang Meminggirkan Masyarakat Adat
Pameran etnografis Kita adalah Punan berlangsung di Serambi Pirous Studio Galeri, Bandung berlangsung sampai 20 Desember 2025.
Penulis Audrey Kayla Fachruddin21 Desember 2025
BandungBergerak - “Lunang Telang Otah Ine (hutan ibarat air susu ibu).” Frasa ini menyambut pengunjung Pameran Etnografis “Kita adalah Punan” di Serambi Pirous Studio Galeri, Bandung, yang dibuka pada 29 November 2025. Kalimat tersebut menjadi pintu masuk untuk memahami relasi masyarakat Punan dengan hutan—relasi yang perlahan berubah seiring kebijakan negara yang mendorong mereka meninggalkan kehidupan berburu dan meramu.
Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antropolog Rhino Ariefiansyah dan Rivaldo Aldo Herman bersama tim Serambi Pirous. Fokus pameran diarahkan pada kehidupan masyarakat Punan di wilayah Sungai Tubu, Sungai Malinau, dan Sungai Mentarang, Kalimantan Utara. “Kita adalah Punan” berlangsung hingga 20 Desember 2025 dan menampilkan karya peserta Semiloka pada 13 Desember 2025.
Dari Nomaden ke Permukiman Tetap
Masyarakat Punan kerap disebut sebagai Suku Dayak Punan. Rhino menjelaskan bahwa secara akademik, penyebutan ini berkaitan dengan perbedaan gaya hidup. Suku Dayak umumnya diidentifikasi sebagai masyarakat berladang, sementara Punan dikenal sebagai masyarakat berburu dan meramu yang secara tradisional hidup nomaden. Namun, pola hidup tersebut kini hampir sepenuhnya berubah.
Secara praktik, hampir sudah tidak ada lagi masyarakat Punan yang hanya berburu meramu secara nomaden. Perubahan ini berkaitan erat dengan perpindahan mereka dari wilayah hulu sungai. Saat ini, masyarakat Punan tidak hanya tersebar di Kalimantan, tetapi juga di Malaysia dan Brunei.
Rihan Meulia Pirous dari tim Serambi Pirous menambahkan bahwa istilah nomaden bagi masyarakat Punan tidak semata-mata soal berpindah tempat. Ia menyebutnya sebagai “nomad in the state of mind”. Cara pandang ini menempatkan setiap tanah yang mereka tinggali sebagai tanah pinjaman yang wajib dijaga, bukan dimiliki secara eksploitatif.
Baca Juga: Dialog Spiritual Sinergi Segitiga di Serambi Pirous
Mengingat Daeng Soetigna dan Hari Angklung di Galeri Serambi Pirous
Sedenterisasi dan Perubahan Relasi Sosial
Perubahan paling signifikan terjadi sejak 1970-an, ketika Pemerintah Kalimantan menjalankan kebijakan sedenterisasi—memindahkan komunitas nomaden ke permukiman tetap. Sekitar sepuluh desa Punan dari wilayah hulu dipindahkan ke daerah hilir agar lebih dekat dengan kota dan layanan administrasi.
Catatan kuratorial pameran menyebut, kesaksian tetua Punan dari Long Semiling, Kalimantan Utara, yang menyebut pemerintah kesulitan menyalurkan bantuan karena lokasi permukiman yang jauh. Relokasi memang mempermudah akses administrasi, tetapi memunculkan persoalan baru dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Punan.
Sebelum berpindah, hasil buruan dibagikan secara kolektif di dalam komunitas. Setelah menetap di wilayah hilir, relasi sosial berbagi berubah menjadi relasi transaksional. Untuk berladang, masyarakat Punan harus membeli tanah milik suku lain seharga 500.000 rupiah atau menukarnya dengan barang adat bernilai tinggi.
“Nah, di hilir ini, ‘kan, ternyata kalau cuman rumah aja enggak cukup buat mereka. Mereka butuh ladang, sehingga kalau (ber)ladang butuh tanah. Ternyata, tanahnya itu punya suku lain, gitu. Jadi, mau enggak mau, mereka harus beli,” jelas Rhino.
Adaptasi di Tengah Stigma
Perpindahan ini juga diiringi stigma terhadap masyarakat Punan sebagai kelompok yang tidak pandai berladang dan kurang berpendidikan. Rhino menegaskan bahwa stigma tersebut tidak sepenuhnya benar. Masyarakat Punan justru menunjukkan kemampuan beradaptasi. Mereka mulai menanam padi dan singkong, serta menyekolahkan anak-anak mereka ke desa atau kecamatan lain jika fasilitas pendidikan tidak tersedia.
Bagi masyarakat Punan, hutan tetap menjadi pusat kehidupan. Ungkapan “Lunang Telang Otah Ine” menggambarkan hutan sebagai ruang yang menghidupi, merawat, sekaligus menyimpan identitas dan sejarah. Mereka juga mengenal istilah “Langit Tokan”, atau “bumi yang sudah menua”, untuk menggambarkan kerusakan hutan akibat proyek pembangunan.
Proses “Tokan” dipahami sebagai penuaan yang dipaksakan—bukan alami—karena minimnya pelibatan aspirasi masyarakat Punan dalam pengelolaan wilayah mereka. Akibatnya, perubahan lingkungan semakin terasa: musim buah tidak menentu dan populasi babi hutan menurun.
Bagi masyarakat Punan, hutan juga merupakan tempat kembalinya jiwa orang yang meninggal. Hilangnya hutan berarti hilangnya ruang spiritual tersebut. Untuk mempertahankan wilayah hidupnya, masyarakat Punan membentuk lembaga adat dan mengajukan pengakuan hutan adat. Meski telah diakui sebagai masyarakat hukum adat oleh pemerintah, proses pengakuan hutan adat masih berlarut-larut.
Pameran ini juga menarik benang merah dengan persoalan ekologis di Bandung. Krisis lahan hijau di Kawasan Bandung Utara, yang berubah menjadi kawasan wisata komersial, menunjukkan pola serupa: pembangunan yang melampaui daya dukung lingkungan. Data yang dirujuk dalam pameran menunjukkan bahwa pada 2023, hanya sekitar 20 persen hutan di Jawa Barat yang masih berada dalam kondisi baik.
Baik di Kalimantan Utara maupun di Bandung, deforestasi dan alih fungsi lahan mengancam fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, sekaligus mengancam keberlanjutan ruang hidup manusia.
Rhino mengakui proses penelitian selama tiga tahun bersama masyarakat Punan diwarnai berbagai keterbatasan, mulai dari akses listrik, internet, hingga transportasi. Meski demikian, ia merasa diterima dan belajar mengenai cara hidup lain yang tetap menjaga kualitas lingkungan di tengah perubahan.
“Sebenarnya apa yang saya dapatkan, ya, mungkin daya juang yang di tengah berbagai macam perubahan yang ditawarkan kepada mereka, baik itu yang sesuai atatupun tidak terlalu sesuai dengan mereka. Mereka itu adalah pejuang-pejuang yang tangguh, gitu, ya. Bertahan di tengah berbagai macam perubahan yang datang ke mereka,” tutur Rhino.
Bernapas Bersama Punan
Pameran ini dihadiri oleh orang-orang Punan yang mengetahui informasinya melalui media sosial. Kehadiran mereka sempat membuat tim kurator cemas, tetapi justru disambut dengan apresiasi. Mereka tidak menyangka wilayah dan kehidupan mereka dapat diceritakan dengan cara demikian.
Terenyuh menjadi suasana yang menyelimuti “Kita adalah Punan”. Pameran ini menempatkan manusia dalam lanskap kehidupan yang abu-abu, penuh ambiguitas dan bayang-bayang penindasan struktural.
Kurator Serambi Pirous, Iwan Meutia Pirous, menyebut pameran ini sebagai pameran etnografis yang bersifat kritis-reflektif. Serambi Pirous sebelumnya telah menggunakan pendekatan etnografi, tetapi baru kali ini secara eksplisit menggunakan istilah “etnografis”.
Pameran tidak dimaksudkan untuk mengglorifikasi atau meluapkan kemarahan atas kondisi masyarakat Punan, melainkan menjadi jembatan pemahaman mengenai dinamika kehidupan mereka yang, meski terpisah jarak, tidak sepenuhnya asing dari kehidupan masyarakat lain.
Iwan menyebut proses kuratorial pameran sebagai upaya menafsirkan rasa marah menjadi refleksi yang lebih lembut. Ia memilih pendekatan puitis—sedih tanpa meratap—agar pameran ini tidak berubah menjadi sekadar ruang protes.
“Jadi menyembuhkan luka itu sehingga saya merasa bahwa daripada saya marah-marah dan depressive, I want to help people around me,” ujar Iwan.
“Kita tinggal hidup di menavigasi reruntuhan itu, jalan-jalan di reruntuhan itu. ‘Gimana lagi kalau enggak bersama-sama dan tetap saling kasih sayang dan mencinta dengan sisa-sisa yang ada sekuat tenaga?” lanjut Iwan.
Seperti masyarakat Punan, setiap manusia menghadapi krisis dengan caranya masing-masing. Mengutip penutup teks kuratorial pameran ini: “Selama gairah ‘manusia yang berani berkelana’ masih berdenyut di dada kita, masa depan tidak akan pernah benar-benar kehilangan rumahnya.”
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

