• Berita
  • Mengingat Daeng Soetigna dan Hari Angklung di Galeri Serambi Pirous

Mengingat Daeng Soetigna dan Hari Angklung di Galeri Serambi Pirous

Merayakan Hari Angklung di Galeri Serambi Pirous, menghormati sosok Daeng Soetigna, pelopor angklung diatonis.

Acara Mengenal dan Memainkan Angklung Pa Daeng di Serambi Pirous Studio Galeri, Bandung, 1 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Penulis Bawana Helga Firmansyah6 November 2025


BandungBergerak - Galeri Serambi Pirous, Bandung bergema dengan bunyi bambu yang bergetar lembut menciptakan tangga nada. Dalam perhelatan bertajuk “Mengenal dan Memainkan Angklung Pa Daeng,” pengelola galeri mengundang berbagai komunitas, termasuk kelompok ibu-ibu Pawestri ITB, serta masyarakat umum untuk bermain angklung bersama. Kegiatan ini menjadi upaya mengakrabkan kembali angklung sebagai alat musik yang tak hanya hadir dalam ranah kesenian, tetapi juga pendidikan, hiburan, dan diplomasi budaya.

Rihan Meutia Pirous, pengelola galeri, menjelaskan bahwa acara ini bertepatan dengan momentum Hari Angklung yang jatuh pada bulan November. Kegiatan ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada nilai-nilai keluarga besar Pirous yang tak lepas dari sosok Daeng Soetigna, pelopor angklung diatonis sekaligus ayah dari almarhumah Erna Garnasih Pirous. 

“Jadi sebenernya kita di keluarga kayak dapet tugas gitu ya, dapet ‘PR’ untuk melestarikan, memelihara nilai-nilai yang ada di keluarga,” ujar Rihan, awal November 2025. 

“Bulan November ini kan ada Hari Angklung, buat kita kan wah, waktu yang baik mengangkat kembali angklung. Serambi Pirous pun ada hubungan dengan Pa Daeng Soetigna, ada mertua dan menantu,” tambah Rihan. 

Kegiatan tersebut menjadi kali pertama bagi Serambi Pirous membuka acara yang berada di luar konsep seni rupa. Namun, semangat yang terkandung dalam angklung dan sosok Daeng Soetigna dianggap sejalan dengan nilai-nilai yang dihidupi galeri ini.

Serambi Pirous Studio Galeri, Bandung, 1 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Serambi Pirous Studio Galeri, Bandung, 1 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Jejak Daeng Soetigna dan Angklung sebagai Alat Belajar 

Daeng Soetigna lahir di Pameungpeuk, Garut, pada 13 Mei 1908. Ia dikenal sebagai pendidik yang mengubah angklung dari alat musik pentatonis menjadi diatonis, sehingga dapat dimainkan dalam berbagai genre musik. Dengan terobosan itu, angklung tidak lagi terbatas pada musik tradisional, tetapi berkembang menjadi instrumen universal yang mudah dimainkan lintas budaya. 

Latar belakang pendidikannya bermula di HIS Garut (1915–1921) dan Kweekschool Bandung (1922–1928). Setelah menamatkan pendidikan, ia mengajar di berbagai sekolah: Shakelschool Cianjur (1928), HIS Kuningan (1931), dan SMP Kuningan (1942), sebelum akhirnya menetap di Bandung pada 1948. 

Sebagai pengajar, Daeng Soetigna mengembangkan metode belajar yang menjadikan angklung bukan sekadar hiburan, melainkan sarana pendidikan. Untuk anak usia pra-sekolah, notasi angklung tidak berbentuk angka, melainkan pola fauna yang disesuaikan dengan ruang hidupnya. Nada rendah digambarkan dengan hewan yang hidup di air seperti ikan, sedangkan nada tinggi diwakili oleh burung elang. 

“Dulu partiturnya itu pakai gambar, si gambarnya itu nadanya do dari binatang paling bawah, paling tinggi tuh elang. Partiturnya gambarnya hewan-hewan, baru waktu SD pakai angka,” kenang Rihan. 

Dengan rancangan itu, angklung menjadi instrumen yang inklusif bagi segala usia. Permainan musik menjadi menyenangkan dan sarat nilai edukatif. Atas jasanya, Daeng Soetigna menerima sejumlah penghargaan, antara lain Satyalancana pada 15 Oktober 1968, piagam penghargaan peringatan KAA ke-25, serta tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma. 

“Intinya dulu kan Pa Daeng itu bikin angklung untuk menyenangkan anak-anak di sekolah supaya belajar itu menyenangkan, ada hiburan ada pendidikan. Jadi itu yang kita coba bawa, karena sepertinya nilai-nilainya masuk ke dalam Serambi Pirous juga,” jelas Rihan. 

Daeng Soetigna wafat di Bandung pada 8 April 1984. Inovasinya dalam mengembangkan angklung diatonis sejak 1938 menjadi warisan yang terus dikenang.

“Kita bereksperimen itu dengan satu tujuan, yang tujuannya untuk orang banyak, bermanfaat untuk orang banyak,” ungkap Rihan, menyinggung kesamaan nilai antara Ad Pirous dan Daeng Soetigna.

Baca Juga: Mengenal Inovasi Pelatihan Angklung yang Ramah Difabel di Public Class
Bahasa Inggris, Angklung, dan Duta Budaya

Mengapresiasi dengan Cara yang Menyenangkan 

Kegiatan di Galeri Serambi Pirous berlangsung akrab dan hangat. Salah satu pengunjung dari komunitas Pawestri, Ibu Tatat, mengungkapkan antusiasmenya. Ia mengenang masa kecilnya saat bermain angklung bersama Daeng Soetigna. 

“Saya dulu ikut dari SD Pa Daeng waktu ikut PON. Senang sekali karena nggak nyangka, sekomplit ini datanya Pa Daeng ini ya, karena ini berkat putra-putranya yang memang betul-betul mengagungkan bapaknya dengan kesenian angklung ini,” tuturnya. 

Ia berharap kegiatan seperti ini dapat terus dilaksanakan agar angklung semakin dikenal dan dimainkan oleh masyarakat luas. Harapan serupa diungkapkan Rihan yang menilai kegiatan kali ini mendapat sambutan positif. Ia berencana menjadikannya agenda rutin di galeri. 

Melalui kegiatan “Mengenal dan Memainkan Angklung Pa Daeng,” Serambi Pirous tidak hanya merayakan Hari Angklung, tetapi juga menghidupkan kembali semangat pendidikan dan kebersamaan yang diwariskan oleh Daeng Soetigna: terus belajar dan bergembira.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//