• Opini
  • Bahasa Inggris, Angklung, dan Duta Budaya

Bahasa Inggris, Angklung, dan Duta Budaya

Di balik merdunya angklung, ada masalah yang jarang dibicarakan: keterbatasan berbahasa Inggris di kalangan mahasiswa musik tradisional.

Denhaz Nurul Hakim

Dosen Program Studi Angklung dan Musik Bambu ISBI Bandung

Mahasiswa Jurusan Angklung ISBI Bandung berlatih ansambel musik bambu dengan pengantar komunikasi dan lagu berbahasa Inggris. (Foto: Denhaz Nurul Hakim)

15 September 2025


BandungBergerak.id – Jurusan Angklung dan Musik Bambu di ISBI Bandung berdiri pada 2012 sebagai tindak lanjut dari pengakuan UNESCO atas angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan, diperkuat mandat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Keberadaannya menjadi tonggak sejarah pendidikan formal angklung yang diakui nasional dan internasional.

Sejak awal, jurusan ini bertujuan melestarikan budaya Sunda sekaligus menyiapkan lulusan agar mampu bersaing di level global. Di era kini, angklung hadir di panggung internasional, dipelajari mahasiswa asing, hingga diajarkan di luar negeri. Karena itu, mahasiswa dan dosen angklung memerlukan lebih dari keterampilan musik: mereka harus bisa berkomunikasi lintas budaya, menjelaskan filosofi angklung, dan memandu pertunjukan bagi audiens dunia.

Bahasa Inggris menjadi jembatan utama. Tanpanya, pesan budaya mudah terputus. Dengan penguasaan bahasa yang baik, mahasiswa angklung dapat tampil bukan hanya sebagai musisi, tetapi juga sebagai duta budaya yang mampu menjelaskan, menginspirasi, dan membangun dialog dengan dunia.

Baca Juga: Deklarasi Bandung Kota Angklung semoga Bukan Simbol Semata
Sareundeu Angklung Buncis Cireundeu
Mengenal Inovasi Pelatihan Angklung yang Ramah Difabel di Public Class

Bahasa Inggris, Kunci Globalisasi Angklung

Belajar angklung ternyata bukan hanya soal nada dan irama bambu. Di balik dentingannya, ada kebutuhan besar yang kerap terlupakan: Bahasa Inggris. Mahasiswa dan dosen Jurusan Angklung dan Musik Bambu ISBI Bandung hampir tiap minggu tampil di luar kampus –dari pentas seni, upacara adat, hingga mengajar di sekolah. Tak jarang mereka berhadapan dengan turis, mahasiswa asing, atau diplomat. Pada momen inilah bahasa Inggris bukan lagi sekadar mata kuliah, melainkan keterampilan hidup yang menentukan berhasil tidaknya komunikasi budaya.

Bayangkan ketika mahasiswa harus memandu wisatawan asing memainkan angklung. Mereka harus menjelaskan sejarah, cara memegang, hingga teknik bermainnya. Atau saat berlatih dengan musisi internasional menjelang konser, miskomunikasi sekecil apa pun bisa berujung kacau di panggung. Di sini peran bahasa Inggris terasa nyata: ia menjadi jembatan yang menyatukan seniman lokal dengan audiens dunia. Lebih dari itu, mahasiswa angklung juga harus memenuhi standar akademik global. Mereka wajib mengikuti tes TOEFL sebagai syarat kelulusan. Artinya, penguasaan bahasa Inggris bukan sekadar tambahan, tapi bagian dari kurikulum resmi yang menentukan masa depan.

Angklung telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Maka wajar bila mahasiswa angklung dipersiapkan bukan hanya sebagai pemain, tetapi juga sebagai duta budaya. Dan seorang duta tentu harus bisa berbicara dalam bahasa yang dipahami dunia. Tanpa itu, harmoni bambu bisa hilang di tengah riuhnya globalisasi.

Di balik merdunya angklung, ada masalah yang jarang dibicarakan: keterbatasan berbahasa Inggris di kalangan mahasiswa musik tradisional. Padahal, di era global, komunikasi lintas bahasa sama pentingnya dengan teknik bermain musik. Masalah utama ada pada kosakata. Banyak mahasiswa paham istilah musik, tapi begitu harus bicara, mereka tersendat karena gugup, kurang percaya diri, dan minim latihan. Teori grammar justru dianggap beban, sementara menulis dan membaca pun kurang diminati. Akibatnya, saat presentasi atau menulis laporan, kesalahan bahasa bertebaran. Artinya, ada yang keliru: pengajaran masih terjebak pada grammar, padahal kebutuhan nyata ada di komunikasi praktis –berbicara, mendengar, dan berinteraksi langsung.

Persoalan makin rumit saat menerjemahkan istilah musik Sunda, seperti goong, sekar, atau laras pelog. Tidak semua punya padanan dalam bahasa Inggris. Kadang lebih bijak membiarkan istilah asli, cukup diberi penjelasan kontekstual.

Jika kondisi ini dibiarkan, mahasiswa musik tradisional akan terus kesulitan tampil percaya diri di panggung internasional. Padahal, angklung sudah mendunia. Yang dibutuhkan bukan sekadar hafalan grammar, melainkan ekosistem belajar bahasa Inggris yang praktis, relevan, dan dekat dengan kehidupan mereka sebagai seniman.

Mahasiswa Jurusan Angklung ISBI Bandung berfoto bersama seusai ujian praktik musik bambu dengan penggunaan bahasa Inggris. (Foto: Dokumentasi Denhaz Nurul Hakim)
Mahasiswa Jurusan Angklung ISBI Bandung berfoto bersama seusai ujian praktik musik bambu dengan penggunaan bahasa Inggris. (Foto: Dokumentasi Denhaz Nurul Hakim)

Strategi Belajar Bahasa Inggris untuk Mahasiswa Musik

Mengajarkan bahasa Inggris kepada mahasiswa musik tradisional punya tantangan tersendiri. Sebagai dosen, saya sering melihat mahasiswa Angklung dan Musik Bambu berbeda dengan mahasiswa program studi lain. Mereka ekspresif, spontan, penuh kreativitas, tapi sayangnya sering kurang disiplin. Bolos kuliah, telat mengumpulkan tugas, bahkan abai terhadap kewajiban jadi persoalan sehari-hari. Akibatnya jelas: kemampuan bahasa Inggris mereka tidak berkembang maksimal. Padahal, disiplin dan tanggung jawab adalah kunci. Bahasa asing tidak bisa dikuasai secara instan –perlu latihan bertahap dan konsisten. Sayangnya, banyak mahasiswa musik cepat kehilangan motivasi ketika berhadapan dengan tenses, kosakata, atau latihan menulis. Mereka punya bakat musikal luar biasa, tapi kerap ciut saat berhadapan dengan bahasa.

Di sinilah pentingnya menghadirkan suasana belajar yang menyenangkan. Kalau pengajaran hanya terjebak pola lama yang kaku, minat mahasiswa makin luntur. Sebaliknya, ketika bahasa dipelajari lewat musik, permainan, atau kuis interaktif, rasa takut bisa berubah jadi penasaran. Dari enggan berbicara karena takut salah, mahasiswa bisa pelan-pelan berani mencoba. Faktor lain yang sering luput adalah latar belakang pendidikan mereka. Banyak berasal dari SMK yang sejak awal lebih menekankan praktik seni ketimbang bahasa. Tak heran jika kosakata dasar dan struktur kalimat mereka lemah, lalu terbawa hingga kuliah.

Jika ingin mahasiswa musik tradisional bersaing di panggung global, kita tak bisa hanya bicara soal TOEFL atau tugas akademik. Mereka butuh metode yang sesuai dengan dunia mereka: kreatif, interaktif, dan dekat dengan seni. Bahasa Inggris harus dipandang bukan sekadar beban, melainkan keterampilan hidup yang berjalan seiring irama angklung. Kalau dosen bisa menjembatani disiplin belajar dengan ekspresi seni, maka mahasiswa musik tidak hanya mampu memainkan angklung dengan indah, tetapi juga menyuarakan budayanya ke dunia dalam bahasa yang dipahami banyak orang.

Bagi mahasiswa musik tradisional, belajar bahasa Inggris sering terasa seperti beban tambahan. Padahal, justru keterampilan ini yang bisa membuka pintu mereka ke panggung internasional. Karena itu, strategi pembelajaran bahasa di jurusan musik harus relevan dengan dunia mereka: dunia nada dan irama.

Kurikulum, misalnya, tidak cukup hanya menekankan kemampuan berbicara. Menulis juga penting –dari artikel penelitian, tugas akhir, proposal, hingga materi promosi pertunjukan. Kursus menulis akademik seharusnya menjadi bagian inti, bukan sekadar tambahan. Di sisi lain, praktik berbasis pola sederhana yang sering dipakai mahasiswa saat memandu angklung interaktif atau menjelaskan instrumen terbukti membuat mereka lebih percaya diri berbicara, meski dengan kosakata terbatas. Strategi ini lebih realistis daripada sekadar mengejar kesempurnaan tata bahasa.

Belajar bahasa pun bisa lebih menarik bila disesuaikan dengan karakter mahasiswa musik. Video, kamus musik, diskusi kelompok, roleplay, hingga mini-performances memberi ruang belajar yang nyata sekaligus menyenangkan. Mahasiswa juga bisa diperkaya lewat klub bahasa Inggris, kolaborasi dengan kampus luar negeri, hingga pemanfaatan platform digital yang ramah musik. Kuncinya ada pada kreativitas dosen dalam menyusun modul yang kontekstual –bukan sekadar tenses atau analisis grammar. Jika strategi ini diterapkan, belajar bahasa Inggris tidak lagi jadi beban. Sebaliknya, ia akan menjadi irama tambahan yang menghubungkan mahasiswa dengan dunia luar, menjadikan mereka bukan hanya seniman, tapi juga duta budaya yang percaya diri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//