ULAS FILM: Menilik Fenomena Akar Rumput di Pantura dalam Film Pangku
Film Pangku membongkar realitas di akar rumput di Pantura. Tradisi kopi pangku menggambarkan ketimpangan ekonomi dan gender.
Penulis Nabilah Ayu Lestari29 Desember 2025
BandungBergerak - Perkembangan industri film DI Indonesia yang semakin kompleks. Film Pangku hadir sebagai karya yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga membongkar realitas isu sosial yang terjadi di Indonesia. Film ini memotret kondisi yang selama ini tersembunyi di pinggir Jalan Pantura.
Film karya Reza Rahadian ini seakan lantang berteriak agar industri film Indonesia lebih berani menyentuh realitas sosial yang selama ini diabaikan. Reza melihat langsung fenomena “kopi pangku” yang menjadi tradisi unik selama bertahun-tahun menemani denyut kehidupan malam di pesisir Jawa Barat, khususnya Indramayu dan kawasan Eretan.
Dengan latar pesisir Pantura yang keras dan sarat ketimpangan, film Pangku mengajak penonton menyelami pahitnya kemiskinan sekaligus perampasan martabat perempuan. Melalui tokoh Sartika, seorang ibu muda yang tangguh namun terjebak dalam praktik tradisi kopi pangku, film ini menampilkan gambaran kekerasan berbasis gender dan ekonomi yang berlangsung secara terselubung di warung-warung kopi tradisional.
Melawan Stigma dan Sistem Patriarki
Kisah Sartika melambangkan seruan protes atas sistem patriarki dan ketidakadilan ekonomi yang mengepung perempuan, khususnya ibu tunggal, yang harus berjuang membentengi martabat dan kehidupan anaknya dari stigma dan eksploitasi. Film ini menolak glamorisasi penderitaan. Ia memilih memberikan ruang narasi yang personal dan autentik menjadi kekuatan utama, mengingat latar belakang pribadi Reza yang juga dibesarkan oleh ibu tunggal.
Kepekaan ini memperkuat pesan kemanusiaan yang mendalam sekaligus membuka ruang dialog tentang perlindungan perempuan dan kebutuhan ruang aman dari kekerasan dan diskriminasi. Film ini sekaligus menjadi cermin tajam bagi industri film nasional yang masih terlalu sering mengutamakan hiburan ringan dan nilai komersial, sehingga menyisihkan film-film yang mengangkat isu-isu fundamental bangsa.
Baca Juga: ULAS FILM: Pangku, Perempuan yang Terpinggirkan, dan Tubuh yang Bekerja
ULAS FILM: Kekerasan yang Tak Diperlihatkan, Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Babon
Tantangan bagi Industri Perfilman Indonesia
Tantangan utama film kritis sosial seperti ini terletak pada terbatasnya ruang produksi dan distribusi yang layak. Kondisi tersebut mencerminkan persoalan sistemik dalam perfilman Indonesia, yang belum sepenuhnya memprioritaskan fungsi reflektif dan edukatif film sebagai medium perubahan sosial.
Selain keberhasilannya menampilkan potret emosi dan perjuangan perempuan dari berbagai sisi, film Pangku juga menggugah kesadaran kolektif akan kekerasan ekonomi dan gender yang masih berlangsung dan sering kali tak tertangkap oleh narasi publik mainstream. Film ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan Indonesia bukan hanya soal bertahan hidup, melainkan juga merebut kembali martabat dan hak-hak sosial mereka yang terus-menerus diredupkan oleh stigma dan norma patriarki.
Dengan durasi 1 jam 40 menit, film ini mengajak kita merenung bahwa industri film bukan sekadar arena hiburan, melainkan medan kritik sosial yang harus dilalui untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Film Pangku menguji kesediaan kita sebagai penonton dan masyarakat untuk mengakui sekaligus menindaklanjuti realitas pahit yang kerap tersembunyi di balik gemerlap layar kaca.
Kondisi ini menunjukkan ketimpangan sosial yang mendalam, meski Pantura menjadi pusat ekonomi, distribusi kesejahteraan jauh dari merata, dan perempuan menjadi korban ganda yang dihadapkan pada kemiskinan sekaligus diskriminasi gender. Hal ini menjadi cermin keras bagi bangsa ini bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan sosial hanya memperkuat struktur kemiskinan dan marginalisasi yang menindas perempuan.
Film Pangku mengajak kita melihat langsung realitas nyata di daerah Pantura, sebuah tempat di mana kemiskinan bukan hanya soal materi, melainkan juga kemiskinan martabat yang harus dilawan oleh perempuan setiap hari.
Film ini menantang industri film dan publik untuk tidak hanya menghibur, tapi juga memberi suara pada mereka yang selama ini terpinggirkan dan menginspirasi aksi nyata demi keadilan sosial.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

