Buruh Asing Harus Ikut Bersama-sama Berserikat
Tenaga kerja asing (TKA) juga mengalami persoalan yang sama dengan buruh Indonesia terkait hak-hak perburuhannya. Sudah saatnya keduanya bergabung dalam berserikat.
Penulis Awla Rajul13 Mei 2023
BandungBergerak.id – Industri pertambangan nikel merupakan permata masa depan bagi Indonesia. Nikel merupakan bahan baku utama untuk pembuatan baterai kendaraan listrik. Namun sayangnya, kondisi buruh tambang nikel baik pekerja asing maupun lokal disinyalir mendapat perlakuan yang tidak layak. Para buruh asing harus mencapai target, menghadapi jam kerja yang panjang, persoalan upah, persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), maupun persoalan lain yang juga dihadapi oleh buruh Indonesia.
Tak hanya itu, ada juga persoalan antara buruh asing dan buruh lokal yang merembet ke persoalan diskriminasi, hingga SARA. Akibatnya terjadi "ketegangan" antara kedua belah pihak. Adapun solusi untuk persoalan ini adalah menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak buruh, serta hadirnya serikat buruh yang bisa mengakomodir pemenuhan hak-hak pekerja asing.
Hal itu disampaikan oleh Harold Aron, seorang advokat dan tergabung dalam SAFETY pada diskusi publik yang bertajuk "Ekspansi Industri Tambang dan Respon Gerakan Sosial" yang diselenggarakan oleh Indoprogress dan SAFETY di Walhi Jabar, Jl. Pecah Kopi No.14, Kota Bandung, Rabu (10/5/2023) malam. Hadir pula pembicara dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Sugeng Riyadi, serta Dosen Sosiologi Universitas Lampung Fuad Abdulgani yang memaparkan materi melalui Zoom. Diskusi dipandu oleh Fahmi Panimbang dari Indoprogress.
Harold menjelaskan, buruh asing juga menuntut hal yang sama dengan buruh Indonesia, seperti jam kerja, upah layak, dan hak-hak perburuhan lainnya. Sementara konflik antara buruh asing dan buruh, sebagaimana informasi yang diperoleh oleh Harold saat mengadvokasi kasus buruh asing di wilayah Sulawesi adalah karena rezim pabrik yang mendorong demikian.
Buruh asing maupun buruh lokal bekerja pada lini produksi yang sama, misal di ruang kontrol, maupun produksi. Yang membantu komunikasi antara keduanya adalah penerjemah yang mayoritas berasal dari Singkawang dan Batam. Buruknya, penerjemah tidak hanya bekerja sebagai penerjemah tapi juga ikut bekerja seperti buruh lainnya. Sehingga sering kali komunikasi berjalan tidak lancar dan menimbulkan anggapan-anggapan tentang diskriminasi.
"Kecemburuan lainnya datang dari masalah makanan. Tenaga kerja Indonesia berpikir makanan orang-orang Cina enak loh, padahal orang Cina pas kita tanyakan, aduh makananku juga gak enak, jam kerja juga panjang," ujar Harold.
Meski untuk soal upah, memang buruh asing mendapatkan bayaran lebih besar. Namun, upah yang besar ini juga mendapat pemotongan, salah satunya untuk biaya keberangkatan dan kepulangan mereka saat kontrak kerja habis. Persoalan tempat tinggal pun menjadi penyumbang konflik dan sekat minimnya komunikasi. Sebab buruh asing tinggal di barak-barak dekat dengan pabrik, sedangkan buruh lokal harus ngekos.
"Dan saya punya kekhawatiran, ke depan ketika ini tidak bisa dijembatani ataupun diberikan pemahaman atau diberikan sebuah informasi bahwa mereka punya problem yang sama ini akan mempertegas dan memperuncing pertikaian di antara buruh," lanjut Harold.
Baca Juga: May Day 2023 di Bandung: Persoalan Buruh masih Laten, Kelas Pekerja Harus Bersatu
Isu-isu Krusial yang Merugikan Kelas Pekerja di Hari Buruh Internasional (May Day) 2023
UMK 2023 Mulai Berlaku, Buruh sebagai Penekan Inflasi
Menjembatani Komunikasi dan Berserikat
Harold menguraikan, Indonesia memiliki cadangan nikel mencapai 21 juta metrik ton. Kondisi ini membuat Indonesia memiliki peluang merajai industri baterai untuk era kendaraan listrik. Smelter nikel banyak didirikan di Sulawesi dengan investasi modal asing. Meski begitu industri ini tetap harus mengikuti regulasi yang ada di Indonesia.
Namun sayang, peraturan presiden tentang tenaga kerja asing (TKA) hanya sebatas memberikan kontribusi terhadap wilayah. Di dalamnya hanya sedikit mengatur tentang perlindungan tenaga kerja asing. Harold melihatnya sebagai ironi karena Indonesia yang mendesak kesetaraan hak tenaga kerja pekerja migran yang setara dengan buruh di negara tempatnya bekerja, malah melakukan hal yang sama buruknya pada pekerja asing di negerinya sendiri.
Harold menyarankan untuk menekan konflik yang terjadi antara buruh asing dan buruh lokal dengan membangun komunikasi di antara keduanya. Bila memungkinkan, dengan memperluas keanggotaan buruh di dalam serikat pekerja Indonesia.
"Yang dibutuhkan adalah serikat yang tidak xenophobic, yang tidak rasis. Kita butuh serikat yang open minded dan bisa mengetahui apa yang terjadi dari kedua belah pihak. Sehingga ketika melakukan gerakan, upaya-upaya untuk mendorong pemenuhan hak kawan-kawan buruh serikat jadi jernih," ungkap Harold.
Kekuatan Solidaritas Serikat Buruh
Pembicara dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Sugeng Riyadi punya pandangan senada. Konflik antara buruh Cina dan buruh Indonesia di perusahaan smelter nikel di Sulawesi berkembang menjadi isu SARA dan diskriminasi.
Konflik diwarnai isu pengambilalihan lapangan kerja, dan minimnya komunikasi memperburuk situasi yang terjadi. Padahal isu utama yang penting untuk dilihat oleh keduanya adalah perbaikan kondisi kerja yang menjadi persoalan bersama di sana.
Selain itu, buruh tambang tidak punya waktu untuk berserikat karena jam kerja yang panjang serta kewajiban mengejar target. Misalnya di PT GNI di Morowali, lanjut Sugeng, dari belasan ribu jumlah buruhnya hanya sekitar 800 orang yang tergabung dalam serikat pekerja. Hal ini pun membuat daya tawar serikat buruh lemah karena jumlahnya tidak mewakili populasi pekerja.
Padahal, menurut Sugeng, isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang selalu menjadi persoalan di pertambangan harusnya menjadi sarana untuk mengorganisir buruh. Ia membeberkan data dalam setahun terakhir terdapat sekitar 554 buruh yang dibawa ke klinik kesehatan karena mengalami demam dan infeksi saluran pernafasan (Ispa).
Data tersebut menjadi gambaran bahwa isu K3 akan selalu menjadi persoalan di sektor industri, terutama pertambangan. Di satu sisi, kewajiban perusahaan memfasilitas K3 akan berdampak pada biaya produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada daya jual. Situasi terkait isu K3 tersebut seharusnya bisa dikapitalisasi untuk menjadi daya tawar buruh yang berserikat, sekaligus memperkuat solidaritas untuk pemenuhan hak-hak buruh.
Sugeng mengingatkan, mengorganisasi serikat buruh tidak hanya harus dilihat semata melalui sektoral saja. Buruh perlu mengembangkan potensi organisasi serikat yang berbasis kawasan atau regional.
"Penting pengorganisasian, masalahnya berbatas di pabrik saja. Perlu juga bergerak di kawasan. Karena kekuatan buruh itu ada di kekuatan solidaritas," tegas Sugeng.