BandungBergerak.id - Merujuk laporan Setara Institute, Jawa Barat menduduki peringkat kedua sebagai provinsi dengan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terbanyak di Indonesia pada tahun 2022. Sebanyak 25 peristiwa pelanggaran terjadi di provinsi berjuluk Tatar Sunda ini. Di lapangan, jumlah sebenarnya sangat mungkin lebih banyak.

Melalui komunikasi daring, BandungBergerak.id ngobrol dengan Nanda (20 tahun), seorang perempuan penghayat aliran kepercayaan Budi Daya, Senin (1/5/2023) lalu. Mahasiswa Universitas Parahyangan (Unpar) ini bercerita seputar tindak diskriminatif yang pernah dia alami (juga orang-orang di sekitarnya) di sekolah-sekolah negeri di kawasan Bandung Raya.

Halo, boleh memperkenalkan diri dulu?

Perkenalkan teman-teman, nama saya Nanda Shelly Susanti, biasa dipanggil Nanda atau Shelly. Usia saya sekarang 20 tahun. Kesibukan saya sekarang, selain kuliah - saya mahasiswa semester enam -, saya juga magang di salah satu dinas di Kabupaten Bandung Barat. Terus, saya juga mengajar anak-anak penghayat, sebagai guru.

Oke, kita langsung masuk ke topik utama yah, Nanda. Pernah mengalami tindak diskriminasi nggak selama menjalani sekolah dulu?

Kalau misalnya pengalaman diskriminasi yang pernah saya alami sih sebenernya dari kecil juga yah. Dari pas saya sekolah SD tuh, saya pernah didiskriminasi sama guru agama. Cuman waktu itu saya belum terlalu paham. Jadi, guru agama saya tuh bilang, kan nanya kan, karena saya nggak ikut kegiatan keagamaan waktu di sekolah, saya tuh ditanya gitu: saya warga mana. Nah saya bilang kan: "Saya warga Bale".

Jadi orang-orang kan pada tahu kalau warga Bale Pasewakan di daerah saya tuh penganut kepercayaan.

"Oh, agama kamu apa?"

"Kepercayaan."

Nah, terus di situ guru saya bilang: "Oh berarti kamu nggak punya Tuhan." Kayak gitu bilangnya. Cuman kan waktu itu saya belum paham apa-apa gitu. Saya cuman iya iya aja gitu kan.

Terus, kalau misalnya waktu SMP ya, mungkin diskriminasinya lebih dari administrasi mungkin ya. Administrasi yang kayak saya nggak bisa mencatatkan identitas asli saya waktu saya mau masuk ke bangku pendidikan SMP. Jadi saya harus memilih salah satu agama. Nah, tapi ya karena saya selama tiga tahun di SMP ini kegiatan keagamaan di sekolah sesuai agama yang saya pilih, saya tidak mendapat diskriminasi. Cuman karena saya tidak mempelajari terlalu dalam (kegiatan keagamaan), itu berpengaruh kepada akademik saya di sekolah. Jadi nilai rapor saya waktu SMP tuh sangat kecil.

Terus, waktu SMA atau SMK, waktu itu sebetulnya sudah ada kemudahan karena telah terbit peraturan MK terkait masyarakat penghayat kepercayaan ini. Nah, saya sudah bisa mencantumkan identitas asli saya sebagai penghayat kepercayaan waktu di sekolah. Tapi sekolahnya, atau di sini lebih ke beberapa guru di sekolah itu, kadang melakukan diskriminasi selama tiga tahun berturut-turut.

Kalau pengalaman saya waktu kelas 10, waktu itu saya mau belajar pelajaran Multimedia sebetulnya, kak. Cuman, gurunya ini, entah terlalu agamis atau bagaimana, itu dikaitkan dulu tuh si pelajarannya dengan agama. Nah, udah dikaitin ke agama, itu mojokkin. Mojokkin ke saudara saya waktu itu, yang sesekolah sama saya. Cuman saudara saya ini ketika dipojokkin, dia tuh diem aja gitu, dia nggak ngomong apa-apa gitu kan.

Nah, sedangkan saya melihatnya, saya greget gitu yah. Apalagi ketika si guru itu kayak membredel dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit merujuk ke shaming. Karena kan, sejauh ini yang saya masih ingat gitu yah, karena itu yang paling ingat, guru saya bilang: “kalau misalnya kamu tahu, orang tua kamu salah, leluhur kamu salah, terus kamu mau ikutan salah?”. Katanya kayak gitu.

Nah saya di situ kan nggak terima gitu ya kak. Di sekolah, guru ini menyudutkan, oh berarti yang dilakukan oleh kedua orang tua saya, oleh kakek nenek saya, nenek moyang saya, itu salah. Padahal di agama saya sendiri, kami tuh sebenernya diajarkan bahwa keburukan, seperti membunuh, mencuri, kayak gitu tuh juga dilarang. Kenapa beliau ini tiba-tiba menganggap kami tuh salah atau menyimpang, padahal yang diajarkan kami tuh nggak seperti itu?

Nah di situ, saya sudah mencoba untuk membela sepupu saya gitu yah. Saya menjelaskan kepada beliau ini. Nah tetapi di situ, saya malah diadudombakan dengan teman saya. Jadi, ketika beliau mengajukan pertanyaan yang nggak perlu ditanyakan ke saya gitu ya kak, contohnya: “Eh siapa Rasul kamu?” Kayak gitu. Nah kan di kami tidak percaya, tidak ada rasul ya kak. Nah saya bertanya gitu ke gurunya itu: “Menurut Bapak, rasul itu siapa?” Terus guru saya, intinya, malah minta temen saya yang ngejelasin gitu: “Coba kamu jelasin ke dia rasul itu siapa.” Jadi waktu itu temen saya yang jelasin ke saya. Jadi setiap saya minta penjelasan dari Bapaknya, Bapak melemparnya ke temen saya. Nah itu kelas 10.

Terus pengalaman yang kedua, waktu kelas 11, saya kira tuh udah nggak bakal lagi didiskriminasi (seperti) waktu kelas 10 ya kak. Tapi ternyata, nggak. Ternyata masih ada diskriminasi. Dan itu, diskriminasinya dari orang yang punya kekuasaan paling tinggi di sekolah waktu itu, oleh kepala sekolahnya.

Nah, waktu itu saya mau ikut kegiatan pengembangan gitu, jadi mencetak wirausaha gitu lah, program dari sekolah. Itu kan diikuti kelas 10, 11, 12 tuh bebas siapa aja yang mau. Waktu saya ikut kegiatan itu, itu kan ada kegiatan sosialisasinya dulu. Itu ditanya-tanya dulu: “Kamu mau bikin apa? Mau bikin apa? Mau bikin apa?” Tapi, ujung-ujungnya itu dikaitin lagi ke agama. Nah dari situ kalau udah naik ke agama itu menjoroknya pasti ke saya yang berbeda gitu yah. Maksudnya kan keliatan saya juga nggak pakai penutup kepala gitu di dalam kelas itu.

Nah itu langsung saya dikasih pertanyaan-pertanyaan yang mirip-mirip sebetulnya pertanyaannya. Cuman waktu itu, keadaannya tuh waktu kelas bahas ini saya ditanyanya begini: “Kamu waktu sekolah, SMP, kamu udah ditulisin agama kamu?” Maksudnya udah kepercayaan gitu yah. Terus saya bilang: “Nggak, waktu itu saya dipersulit buat mencatatkan itu.” Terus dia bilang lagi kayak gini: “Kamu kalau misalnya udah tahu dipersulit gitu, kamu pengin anak-anak kamu dipersulit?” Kayak gitu katanya.

Terus waktu itu, kalau saya lihat sendiri kalau dari pemerintah kan udah ada kemudahan. Cuman kan yang mempersulit itu orang-orang seperti mereka, tidak mau menerapkan yang sudah berlaku.

Nah terus di situ, dia juga sama. Setiap pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya nggak perlu ditanyakan kepada saya gitu yah kak. Terus di situ mungkin teman saya greget juga gitu yah ngeliat si ibu ini. Karena kan saya tuh mau menjawab pertanyaan dari gurunya, tapi selalu dipotong. Jadi nggak ada kesempatan saya buat berbicara. Terus teman saya yang greget itu mau membantu saya ceritanya, mau membela saya, menjelaskan. Tapi temen saya juga malah dimarahain, kayak: “Saya nggak nanya ke kamu, saya nanyanya ke dia.” Mungkin di situ nggak ada yang berani ngomong, jadi ya udah, saya dipojokkin di situ.

Terus kalau misalnya kelas 12, sebetulnya bukan saya sih kak. Itu lebih ke salah satu sepupu saya juga yang sesekolah sama saya. Kalau di situ kami, nggak kami sih, ke sepupu saya saja. Pas mau mulai belajar, kan memang ada kegiatan rutin ya kak, yang membaca Al-Qur’an gitu. Nah, ada salah satu Ibu gitu yah, waktu di kelas itu, tiba-tiba dia nyuruh sepupu saya buat baca. Kan sepupu saya nggak bisa baca padahal. Tapi dipaksa baca. Terus abis itu karena nggak tahu artinya jadi disuruh dibacain sama temen saya. “Coba kamu kasih tahu ke dia itu dibacanya apa sama itu artinya apa,” kayak gitu katanya.

Kalau aku simak, itu kan semua dari guru yah. Kalau dari teman-teman sebaya, pernah juga nggak mendapat diskriminasi?

Kalau saya sih, jujur kak, belum pernah yah mendapat diskriminasi dari teman. Malah teman-teman saya ini sangat terbuka gitu sama saya, sangat menerima gitu yah kondisi saya yang berbeda dengan mereka.  Yang menjadi masalah itu guru.

Oh iya pernah saya kak, ini yang belum keceritain. Waktu mau Ujian Akhir Semester (UAS), kami kalau dapet soal itu kan dari guru agama kami ya kak. Dikasih ke pihak sekolah gitu, sebelum mau UAS-nya. Terus kebetulan waktu itu lagi UAS agama, nah temen-teman saya itu pada dapet soal agamanya. Sedangkan saya nggak dapat waktu itu. Kan saya bingung ya kak. Soalnya nggak mungkin guru kami nggak memberikan kami soal UAS. Nah ternyata pihak sekolah nih yang nggak memberikan kepada saya. Jadi, waktu itu, saya inisiatif aja. Nggak dikasih ya udah, saya ambil sendiri dan saya kumpulin sendiri.

Itu kelas berapa, Nanda?

Itu kelas 11.

Kalau di perguruan tinggi pernah mendapat diskriminasi juga?

Kalau di perguruan tinggi sih nggak ada sih kak tindakan diskriminasi kayak gitu. Kalau yang saya rasakan.

Sampai sekarang masih ada tindak disriminasi di sekolah itu?

Itu sampai sekarang masih lho Kak di sekolah itu. Pas saya lulus itu kan sepupu-sepupu saya juga ada yang masuk ke situ yah. Dengan harapan, mungkin, misalnya ada kejadian kemarin kayak gitu, nggak bakal ada lagi. Ternyata masih ada sih kak. Guru itu (berbuat) hampir sama kayak yang dilakuin dulu. Nggak ada kapok-kapoknya lah istilahnya.

Tapi dari sekolah, setelah mendapat pengakuan dari negara itu, menyediakan pembelajaran khusus penghayat nggak sih?

Nggak ada, kak. Yang ada kan ya dari organisasi.

Jadi ngambilnya di luar jam sekolah, berarti?

Iya, betul. Jadi kalau misalnya teman-teman saya di sekolah belajar agama, saya ya kadang diizinkan (diam) di dalam kelas. Kadang ya udah kalau misalnya nggak di dalam kelas juga nggak apa-apa, gitu kan. Karena kan nggak ngeganggu. Kalau saya tetap belajarnya di luar jam sekolah, di hari Minggu.

Kalau di buku-buku pelajaran sempet nggak sih nemu bacaan yang menyinggung perasaan kamu?

Kalau menyinggung, mungkin nggak pernah sih kak. Maksudnya ada tulisan spesifik tentang penghayat kepercayaan, animisme-dinamisme gitu, nggak. Tapi kayak, yang bermasalah itu tentang kegiatan-kegiatan spiritualnya. Misalnya kalau ada kegiatan yang ada sesajennya, itu penganut animisme-dinamisme. Kayak gitu sih kak yang saya temuin yah.

Kamu pernah nggak melaporan kerjadian buruk yang kamu alami?

Kalau saya mungkin ngelaporkannya ke orang tua sih. Itu juga pas saya bilang saya mendapat perlakuan diskriminasi, pas kelas 11. Orang tua saya tuh menanggapinya kayak gini: ya kalau misalnya waktu itu saya punya bukti mendapat perlakuan diskriminasi, kalau mau diajukan ke jalur hukum ya bisa. Tapi karena nggak ada bukti, kayak saya seolah berbohong, kemungkinan saya akan drop out. Tapi kalau saya ada bukti saat itu, mungkin (penyelesaian) masalah ini bisa ditegakkan. Jadi diskriminasi di sekolah tuh nggak ada lagi. Cuman waktu itu saya kurang kuatnya karena tidak kepikiran untuk ngerekam kejadian itu, kak.

Kalau perkataan yang pernah kamu dengar di lingkungan sekolah, yang benar-benar menyinggung perasaan kamu, apa sih?

Itu sih kak. Kalau menurut saya yang paling menyinggung tuh ya tadi, yang orang tua saya itu dianggap salah, lalu kemudian dianggap mengajarkan hal yang tidak benar. Itu sih yang paling menyinggung saya. Makanya itu yang paling saya ingat.

Baca Juga: Menjemput Kelahiran Mama Mei Kartawinata
Laga Para Penghayat Muda

Kan sekarang kamu juga sebagai pengajar yah, kamu menemukan hal serupa (diskriminasi) nggak di peserta didik kamu?

Tetep masih ada sih, Kak.

Apa cerita yang pernah kamu denger dari mereka?

Ada. Kebetulan adik-adik saya yang masih di SD juga bahkan mendapat diskriminasi, tapi dari teman-temannya gitu kan. Mungkin teman-temannya itu kurang pemahaman dari orang tuanya ya tentang kami. Biasanya kejadiannya itu kayak mengolok-ngolok agama kami. Katanya: “Anak penghayat itu nanti masuk neraka.”

Dan itu berdampak ke si anaknya?

Kalau saya melihatnya berdampak ya kak. Karena mereka kan jadi bingung, ya kak. Mereka mempertanyakan ke kita: “Kalau di kita tuh ada surga dan neraka nggak?’ Kalau di kita kan belum ngejelasin ke anak kecil tuh (karena) agak gimana gitu yah, kak. Agak susah, karena belum pada umurnya.

Apakah si anak itu berubah jadi pendiam kah, atau jadi tidak main lagi dengan temennya itu gitu, jadi menjauh dari pergaulan misalnya gitu?

Nggak sih kak. Karena setiap mereka cerita kayak gitu pasti dari kita kan memotivasi mereka gitu yah. Maksudnya, jangan berkecil hati kalau misalnya ada yang melakukan hal-hal seperti itu kepada mereka. Mereka harus yakin sama apa yang sudah mereka pelajarin, mereka ketahui, tentang ajaran kita. Jadi ya mereka biasa aja. Maksudnya, ya udah, lebih kayak nggak mempermasalahkan lebih jauh lagi. Tapi kan kalau ada yang kayak gitu tuh cerita lah.

Baik itu sebagai pegiat organisasi Budi Daya atau pengajar, pernah nggak sih kamu mendampingi anak didik ke sekolah untuk menyelesaikan tindak diskriminasi yang mereka alami?

Sejauh ini sih belum ya kak. Karena diskriminasi yang menimpa anak didik saya (sampai) nggak mau sekolah itu belum.

Aku kan sempat ikut beberapa kali kegiatan penghayat. Kalau aku lihat, teman-teman penghayat itu lebih pancasilais dibanding yang lain. Bukan hanya hafal yah, tapi juga benar-benar menjalankannya. Nah ada nggak pandangan dari kamu menyoal anggapan publik yang bilang kamu bertentangan dengan pancasila?

Tanggapan sih keterlaluan sih kak. Yang digembor-gemborkan oleh temen-temen di luar sana, hal lain gitu ya kak. Walaupun kami mendapatkan perlakuan diskriminasi dari lingkungan sekitar, dari sekolah, dari pemerintah, tapi kami tetap menjalankan apa yang memang juga itu keinginan dari leluhur kami, menjalankan nilai-nilai dari pancasila. Keterlaluan sih kalau tanggapan dari saya.

Terakhir, kamu punya tawaran solusi nggak untuk menyelesaikan diskriminasi di sekolah?

Kalau pemerintah sih kak ya, kalau di kurikulumnya mungkin lebih menyelipkan pembahasan tentang kepercayaan. Karena kan kalau misalnya ngeliat pelajaran sejarah sendiri, hampir semua itu kalau ada pertanyaan agama di Indonesia yang diakui tuh berapa, pasti pada ngisinya tuh enam. Padahal kan secara aturan yah, kita tuh sudah diakui sama dengan agama yang lain, dan itu disebutkan gitu agama kepercayaan. Mungkin seharusnya lebih. Jadi lebih ke kurikulum aja sih, pengertian-pengertian gitu, bahwasanya kita juga ada.