• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sekalinya Coldplay Datang

MAHASISWA BERSUARA: Sekalinya Coldplay Datang

Muncul anggapan: uang bisa dicari, nonton konser Coldplay kapan lagi. Atas nama kesenangan, apapun bisa dilakukan.

Fathiyah Khairiyah

Mahasiswa Universitas Widyatama Bandung

Penonton menyaksikan konser dengan gawai di Bandung, Selasa (5/10/2021). Gawai maupun media sosial menjadi kebutuhan bagi masyarakat. (Ahmad Abdul Mugits Burhanudin/BandungBergerak.id)

29 Mei 2023


BandungBergerak.idEuphoria konser kental terasa selepas dicabutnya aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat wabah Covid-19 di Indonesia. Penyanyi dari dalam negeri hingga luar negeri bergantian menggelar konser yang menarik ribuan penonton. Mulai dari venue berkapasitas 5-13 ribu di ICE BSD, hingga stadion Gelora Bung Karno (GBK) tiketnya selalu habis terjual dalam hitungan menit. Tercatat ada dua konser yang telah diselenggarakan di GBK pasca Covid-19. Yakni di Seventeen di akhir 2022 lalu, dan belum lama ini Blackpink yang menggelar pertunjukannya pada Maret 2023;  keduanya kelompok K-Pop asal Korea Selatan. Dan yang paling baru  yang sedang ramai diperbincangkan, Coldplay, band asal London yang akan menggelar pertunjukkan di GBK pada 15 November 2023 mendatang.

Rencana konser Coldplay mengundang besarnya antusiasme masyarakat Indonesia. Postingan Coldplay di media sosial terkait jadwal konser di Indonesia menuai banyak komentar. Bahkan tak sedikit yang ikut meramaikan jagat Twitter dengan kalimat candaan seperti “Info jual ginjal” hingga “Info pinjol yang baik”. Bahkan ada perusahaan yang membuat heboh netizen dengan membuka cicilan pembelian tiket konser Coldplay khusus karyawannya, hingga memberikan giveaway secara cuma-cuma.

Harga tiket konser yang dibanderol dengan harga Rp 800 ribu sebelum pajak hingga Rp 11 juta yang termahal bukanlah harga yang murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dilansir CNBC Indonesia tanggal 11 Mei 2023, sebanyak 110 juta jiwa (40% dari jumlah penduduk) masyarakat Indonesia terkategori miskin jika mengikuti standar Bank Dunia yang baru. Menurut World Inequality Report 2022, selama 20 tahun terakhir (2001-2021) tidak ada perubahan signifikan terhadap kesenjangan ekonomi di Indonesia. Sebanyak 50% penduduk di Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (Katadata, 30/6/2022). Angka kemiskinan ini juga tergambar jelas dari respons masyarakat di media sosial yang rela menjual, membuka tabungan, hingga berutang demi menonton konser musik tersebut.

Alasan yang diutarakan masyarakat beragam. Mulai dari mengikuti konser karena memang merupakan pemusik favoritnya, FOMO (fear of missing out) takut kehilangan momen euphoria konser Coldplay, sampai dengan alasan untuk memberikan self reward atas kerja keras selama ini. Hingga muncullah anggapan: uang bisa dicari, konser Coldplay kapan lagi. Atas nama kesenangan, apapun bisa dilakukan. Jika dipandang menggunakan kacamata ekonomi, tentu ini merupakan hal yang mengundang rasa prihatin.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Yang Baik dan Buruk dari Junk FoodTidak Ada Urgensinya Legalisasi Perjudian di Indonesia
Jangan Mati Dulu, Hidupmu Besok akan Baik-baik saja

Dua Sisi Dunia Hiburan

Di sisi lain, sebaliknya. Mengutip SWA Online (3/5/2023), PT Dyandra Media International Tbk (DYAN) atau Dyandra membukukan pendapatan Rp 370,4 miliar pada kuartal I 2023, naik 242% dari periode yang sama tahun lalu. Adapun laba bersih sebesar Rp 55,9 miliar. Segmen event organizer/trade fair terus menghasilkan omzet terbesar dengan 85%.

Dyandra merupakan holding company yang mengendalikan 27 perusahaan dan aktif dalam industri meeting, incentive, convention and exhibition (MICE). Disinyalir naiknya pendapatan tersebut tercapai berkat kesuksesan penyelenggaraan konser musik K-pop, meningkatnya permintaan akan acara pendukung bisnis sejalan dengan meningkatnya permintaan event, meningkatnya penggunaan ruang konvensi dan pameran untuk berbagai acara domestik dan internasional dan juga industri hotel. Setelah diselami kembali, 85% bagian dari kenaikan pendapatan yang berasal dari event organizer tersebut ternyata hanyalah laba dari satu konser musik yang diselenggarakan oleh grup asal Korea Selatan NCT Dream yang diselenggarakan selama  dua hari di Indonesia.

Data tersebut hanyalah sebagian kecil data dari industri hiburan, khususnya event konser.  Terlihat sangat jelas pihak yang diuntungkan dengan banyaknya konser yang diadakan di Indonesia. Satu sisi masyarakat bersusah-payah untuk mendapatkan uang untuk menonton konser demi kebahagiaannya, namun di sisi lain ada segolongan kecil masyarakat yang terus mendapatkan keuntungan besar yang ditarik dari masyarakat kecil. Ketimpangan ekonomi ini sungguh memprihatinkan. Masyarakat kecil bekerja keras  demi sebagian kecil keuntungan yang dimiliki korporat untuk dibelanjakan, dikembalikan lagi kepada korporat, 10% penduduk yang memiliki 60% kekayaan rumah tangga nasional (Katadata, 30/6/2022). Korporat yang menguasai perekonomian nasional dengan perbandingan harga empat orang miliarder di Indonesia setara dengan gabungan harta 100 juta warga termiskin (DW 23-2-2017).

Ketimpangan ekonomi jelas tidak bisa dihindari dengan sistem ekonomi kapitalistik ini. Ketimpangan ekonomi dan ekonomi kapitalistik sudah bagaikan dua sisi koin, tidak dapat dipisahkan. Fakta ini hanya satu potongan kue dari besarnya kue secara utuh. Kapankah masyarakat Indonesia bisa sejahtera dan merdeka secara hakiki?

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//