Tidak Ada Urgensinya Legalisasi Perjudian di Indonesia
Perjudian sebenarnya telah mengakibatkan kerugian pada berbagai aspek seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial. Legalisasi perjudian akan memperbesar masalahnya.
Glen Fandy Judyan
Wakil Kepala Divisi Kajian dan Riset Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Periode 2023-2024
26 Mei 2023
BandungBergerak.id – Perjudian dapat diartikan sebagai perbuatan mempertaruhkan sejumlah harga dengan harapan mendapat keuntungan dari suatu permainan yang belum jelas hasilnya (Yohanes Wendelinus Dasor dkk., 2020). Di Indonesia, perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 303 dan 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan pidana tentang perjudian itu tentu sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dari sila kesatu yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kiranya jelas bahwa tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan perjudian. Kemudian sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab di mana dapat kita maknakan sebagai kewajiban manusia dalam bersikap sesuai moral.
Tanpa perlu menjelaskan kaitan sila lainnya dengan perjudian, hanya dari dua sila saja sudah cukup mengartikan bahwa perjudian bertentangan dengan Pancasila. Terlepas dari Pancasila, terdapat suatu prinsip dasar dalam hukum yaitu setiap pelanggaran terhadap hak dan kewajiban akan menimbulkan pertanggungjawaban. Hal itu jika dikaitkan dengan hukum pidana berarti bahwa terdapat korban yang hak dan kewajibannya dilanggar akibat suatu tindak pidana terhadapnya.
Tentu menjadi pertanyaan, siapa yang dirugikan ketika seseorang berjudi, karena dalam perjudian artinya terdapat persetujuan di antara orang yang terlibat untuk melakukan itu. Jika ditinjau hanya dari persetujuan atau kesepakatan itu saja mungkin terlihat seolah tidak ada yang dirugikan (C. Djisman Samosir dkk., 2021). Akan tetapi, perjudian sebenarnya telah mengakibatkan kerugian pada berbagai aspek seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Baca Juga: Sepak Terjang DPD RI dan Gerakan Menuju Reformasi Jilid 2
Catatan Seperempat Abad Reformasi
Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi
Tidak Ada Urgensi Legalisasi Judi
Perjudian kerap dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa, bahkan remaja yang masih duduk di bangku sekolah dan mengakibatkan terganggunya pendidikan. Sehingga perjudian berpotensi merusak pelajar yang merupakan penerus bangsa karena pelajar lebih memilih menghabiskan waktunya berjudi dibandingkan belajar (Yohanes Wendelinus dkk., 2020). Kemudian dari perspektif ekonomi memang betul bahwa perjudian bisa menguntungkan jika pemainnya menang. Namun karena perjudian disandarkan pada nasib belaka, dengan kata lain ada kemungkinan bagi seseorang untuk kalah terus menerus. Ketika seseorang mengalami kekalahan itulah muncul masalah yang dapat berujung pada kemiskinan (Lentri Saogo dkk., 2021). Dimulai dari aspek ekonomi di mana dengan kemiskinan yang ditimbulkannya, seseorang kemudian kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya dan mulai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma seperti pencurian, pemerasan, bahkan pembunuhan (Raza Suharya, 2019).
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat menolak kehadiran judi baik daring maupun luring. Dikutip dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), bahkan untuk judi daring saja masyarakat mengirim ratusan aduan kepada Kominfo setiap bulannya. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, kiranya jelas bahwa tidak terdapat urgensi legalisasi judi di Indonesia. Dengan dicantumkannya Pancasila dalam UUD 1945, mengakibatkannya menjadi pedoman pembentukan peraturan-peraturan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945.
Seandainya judi dilegalisasi, terdapat dua pertanyaan yang muncul dan berpengaruh dalam skala besar. Pertama, dengan dilakukannya legalisasi terhadap perjudian, bagaimana kemudian kita menangani pertentangannya dengan Pancasila yang mustahil jika jalannya adalah dengan mengubah Pancasila. Kedua, perjudian yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana masih menimbulkan masalah terhadap aspek kehidupan. Bagaimana kemudian penanganan terhadap masalah-masalah akibat perjudian yang semakin membesar karena dilegalkan. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan bagaimana kita menangani fenomena perjudian yang menimbulkan banyak masalah ini. Pasalnya dengan kemajuan teknologi, menimbulkan tantangan baru dalam penanganan perjudian ini karena maraknya judi daring.
Bahayanya Judi
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bekerja sama dengan aparat lainnya tentu telah berupaya memberantas perjudian baik luring atau daring. Dikutip dari situs Databoks, sepanjang tahun 2022 saja Kominfo telah memblokir lebih dari 118.000 situs judi daring (Cindy Mutia Annur, Databoks, 2022). Akan tetapi, pemblokiran terhadap situs-situs tersebut saja tidak cukup karena pada akhirnya akan bermunculan banyak situs judi lainnya. Kemudian dari pemblokiran itu pun tidak seluruhnya dapat ditindaklanjuti oleh Polri, dan hanya terdapat 905 kasus perjudian saja yang ditindak dari Januari sampai dengan Mei 2022 (Cindy Mutia Annur, Databoks, 2022). Hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan penyidik dalam penyidikan yang dipengaruhi hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal berasal dari lembaga Polri itu sendiri seperti kurangnya fasilitas dan sumber daya manusia dalam menangani kasus ini.
Dimulai dari fasilitas, terutama terhadap judi yang dilakukan secara daring, tentu membutuhkan fasilitas untuk mampu melacak keberadaan pelaku judi tersebut. Masalahnya adalah terdapat keterbatasan fasilitas atau bantuan teknis yang mumpuni guna menangani kejahatan siber. Selanjutnya terhadap sumber daya manusia, tentu dalam mengoperasikan fasilitas sebagai bantuan teknis penanganan judi, diperlukan tenaga kerja yang mampu mengoperasikannya dengan baik. Indonesia sendiri masih memiliki kekurangan dalam pemenuhan sumber daya manusia tersebut (Tri Wahyudi dkk., 2015). Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pemerintah perlu mengalokasikan anggaran lebih guna menangani perjudian. Ada pun hambatan eksternal yaitu hambatan yang muncul dari luar Polri seperti kurangnya rasa peduli masyarakat dalam bekerja sama memberantas perjudian. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi mengenai bahaya perjudian dan kita harus menanggapi perjudian ini sama seperti narkoba yang selalu digencarkan di sekolah-sekolah (Tri Wahyudi dkk., 2015).
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya jelas bahwa perjudian memang seharusnya ilegal. Dari sini dapat kita artikan bahwa dengan mengklasifikasikan perjudian sebagai tindak pidana itu sudah tepat dan melegalkannya justru membuat kita mundur selangkah menuju rusaknya perekonomian, sosial, dan generasi penerus bangsa. Hal yang seharusnya dipertanyakan adalah bagaimana kita menangani perjudian ini dan bukan apakah seharusnya perjudian itu dilegalkan atau tidak. Meski dalam pemberantasannya menghadapi hambatan, tetapi dengan bersatu dan tetap tidak melegalkan perjudian, kita semakin maju menuju generasi penerus bangsa yang lebih baik.