• Opini
  • Selamat Ulang Tahun ke-22 Kota Cimahi!

Selamat Ulang Tahun ke-22 Kota Cimahi!

Sedikitnya ada empat isu yang menghantui Kota Cimahi. Di antaranya masalah pengangguran, kemiskinan, stunting, dan korupsi yang dilakukan wali kota Cimahi.

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Sejumlah kendaraan pribadi memenuhi ruas Jalan Jenderal Amir Mahmud, Kota Cimahi, Rabu (20/7/2022). Kemacetan kendaraan di jalur yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini kerap terjadi di pagi dan sore hari. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

21 Juni 2023


BandungBergerak.id – Sejatinya Cimahi dibentuk oleh gerak sejarah yang memperkenalkannya kelak sebagai sebuah kota militer. Kekhasan dan keidentikan itu tidak dibentuk oleh rangkaian-rangkaian alur yang ahistoris, melainkan dengan kekuatan gerak sejarah. Sebermulanya Cimahi dikenali sebagai daerah, tepat pada tahun 1811 – oleh wasilah pembangunan jalan Raya Pos Daendels – dengan dibuatkannya pos penjagaan di Alun-alun Cimahi. Pengenalan yang pertama tentang Cimahi itu, di dalamnya termaktub darah, keringat dan air mata 12.000 buruh pembangunan Anyer-Panarukan. (Kompas, 200 tahun Jalan Raya Pos). Sementara itu, pada periode 1811-1890 Cimahi dijadikan garnisun oleh Belanda, dan sebab itu Cimahi sampai kiwari tidak bisa dilepaskan dengan militer.

Cimahi menjadi kecamatan tepat pada tahun 1935 berdasarkan lampiran Staatsbald tahun 1935 nomor 123. Cimahi menjadi Pusat Pendidikan Sesko seluruh angkatan bersenjata pasca Proklamasi. Menjadi kewedanaan pada tahun 1962. Cimahi menjadi Kota Administratif (Kotif) pada tahun 1975 melalui PP Nomor 29 tahun 1975. Dan Cimahi resmi menjadi Kota Cimahi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 Juni 2001. Tepat pada 21 Juni 2023 Cimahi merayakan hari jadinya yang ke-22.

Lantas timbullah pernyaan; bagaimana Cimahi kiwari? Refleksi apa yang bisa kita ambil dari gerak sejarah tersebut? dan berbagai pertanyaan relfektif lainnya yang mesti diajukan sebagai ikhtiar memajukan Cimahi yang didamba dan dicitakan.

Baca Juga: Data Kepadatan Penduduk Kota Cimahi Tahun 2002-2021: Naik Setiap Tahunnya
Angka Stunting di Indonesia tertinggi Ketiga di Asia, Bagaimana dengan Jawa Barat?
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik

Cimahi dan Masalahnya

Dalam semiotika kota,  Cimahi relatif tidak pernah bergeser dari citra militer. Namun, dalam antropologi dan sosial kemasyarakatan, Cimahi menghadapi satu kondisi yang sudah lampu merah. Setidaknya dari sekian isu yang ada, ada empat isu yang menghantui Cimahi. Di antaranya  pengangguran, kemiskinan, stunting, dan korupsi yang dilakukan wali kota Cimahi. Pengambilan empat isu tersebut bukan mengesampingkan isu yang lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Hanya saja dalam tulisan  kali ini saya lebih memilih empat isu yang akan dibicarakan. Mungkin dalam tulisan berikutnya saya akan membahasnya.

Pengangguran

Bagi kamu warga Cimahi yang tak punya kerja dan sedang mencari pekerjaan. Bagi kamu yang tak punya kerja dan sedang menyiapkan usaha. Bagi kamu yang tak punya kerja dan tidak mencarinya, karena merasa pesimis mendapatkan pekerjaan, berarti kamu terdefinisikan sebagai  pengangguran terbuka di Cimahi yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi di Jawa Barat yakni 13,07%  (38.193 orang)  per Agustus 2021 (Peraturan Walikota Cimahi nomor 12 tahun tentang rencana pembangunan daerah kota Cimahi tahun 2023-2026) dan menurut data terbaru BPS per Februari 2023 menurun menjadi 10,7 % (38.193 orang). Padahal berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi, jumlah perusahaan atau pabrik sebanyak 318 unit (tentu data itu dalam konteks limbah dan perusahaan yang terdaftar untuk diawasi) setara dengan jumlah RW yang mencapai 312 RW.

Menurut saya sekalipun kita mesti mengapresiasi langkah pemerintah Kota Cimahi dalam menurunkan angka pengangguran terbuka, kita juga tetap mesti memikirkan nasib mereka yang belum terentaskan. Coba bayangkan, kamu hidup di kota industri tetapi kamu sendiri susah untuk mencari kerja. Industri dan perusahaan di kotamu, setara dengan jumlah RW, tetapi kamu tetap menjadi pengangguran terbuka.

Kamu tentu bertanya, mengapa begini? Dan kamu tidak bisa menjawabnya, sebab tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal itu. Yang kamu pikirkan adalah bagaimana caranya bisa bekerja, karena dalam sistem kapitalisme cara mendapatkan kebutuhan material (disadari atau tidak, mau atau tidak mau, terpaksa atau tidak) ya dengan terlibat  dalam produksi, sirkulasi, dan konsumsi komoditas. Sebab tanpa menukarkan tenaga kerja sendiri, kamu tidak bisa mendapatkan cuan, dan tanpa cuan kamu gagal mengakses kebutuhan material. Karena di sistem dunia yang kapitalisme ini nilai tukar yang sah adalah jual beli.

Kapitalisme tidak mengizinkan kamu mendapatkan komoditas dengan rasa iba dan wajah mengemismu. Sekalipun  mungkin ada yang menolong dengan mengulurkan makanan, tetapi itu tidak bisa mengamankan seluruh kebutuhan material dari hidupmu. Untuk bisa bertahan hidup, manusia perlu tercukupi kebutuhan dasarnya. Sepanjang sejarah memang begitulah hidup manusia. Zaman purba mereka bertahan hidup dengan menaklukkan alam, dan metode berburu-bertani. Sekarang sekali lagi, di zaman kapitalisme kamu bisa bertahan hidup hanya dengan cara menukar tenaga kerjamu dengan uang. Lantas bagaimana kalau kita menganggur?

Secara rasional kamu tidak akan mendapatkan uang, dan terdepak dari kehidupan. Tetapi, saya bisa membayangkan ada orang yang akan menyerukan bahwa Tuhan akan menolong para penganggur, dan rezeki sudah ada yang mengatur untukmu.  Okelah kalau cara berpikir yang teologis itu dilontarkan oleh masyarakat atau ustad. Menurut saya, akan celaka apabila cara berpikir langit ini diterapkan oleh pemerintah Kota Cimahi  atau PJ Walikotanya. Dengan membiarkan takdir para penganggur itu menemukan jalan hidup dan jalan bahagianya sendiri. Cara berpikir begitu, sangat kontradiktif dengan amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 UUD 45 yang mengamanatkan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" dan dipertegas dengan amandemen UUD 45 pasal 28 ayat (2)” Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Kamu sebagai warga Cimahi berhak menagih amanat UUD 45 itu, sebab kamu bukan warga negara Kongo. Kamu adalah warga negara Indonesia yang tinggal di Cimahi!

Kemiskinan dan Stunting

Kemiskinan bukan karena karakter yang buruk, melainkan karena keterbatasan uang, demikian ucap sejarawan asal Belanda, Rutger Bregman. Ketika orang sudah terbatas uangnya, mau tidak mau ia akan mencukup-cukupkan kebutuhan material hidupnya, dan itu berimbas kepada pemenuhan gizi baik untuk tubuhnya, sanitasi yang layak untuk keluarganya dan menjaga kesehatannya. Sering kita dengar ucapan yang satire tapi lirih, bahwa kami untuk bisa makan sehari-hari saja untung. Konsekuensi dari keterbatasan uang itulah yang menyebabkan stunting itu menggejala. Karena seperti yang sudah saya katakan, bahwa hampir tidak ada di dunia ini yang tidak serba komoditas. Kesehatan, pendidikan, makanan, pakaian semuanya komoditi yang hanya bisa ditukar oleh uang. Terkecuali di desa, orang bisa menanam pepaya, ternak ayam petelur, ayam pedaging atau ikan untuk memenuhi gizinya, tetapi tetap bibit-bibit itu pun mesti ditukar dengan uang. Sekali lagi, ketika uang yang dimiliki terbatas maka daya jual beli pun terbatas.

Kalau kita lihat, angka kemiskinan Cimahi berdasarkan BPS tahun 2021 menunjukkan sebanyak 32.480 (32,48 %) jiwa di Cimahi tergolong kepada penduduk miskin. Dan menurut Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Kota Cimahi, Windi Pramudyawardani kenaikan itu dikarenakan efek domino dari Covid-19 yang meruntuhkan kegiatan ekonomi umat manusia. Kembali kepada premis awal dari perkataan sejarawan Belanda itu, saya mengira angka stunting Cimahi itu tinggi karena kemiskinan di Cimahi pun tinggi. Kalau dibongkar datanya, angka stunting Cimahi  tahun 2021 prevalensinya 19,9 persen dan pada tahun 2022 menurun menjadi 16,4 persen, akan tetapi itu belum mencapai target nasional yang mematok 14 persen.

Situasi yang memprihatinkan tersebut mesti ditanggulangi dengan secara serius oleh pemerintah, dengan menjalankan amanat yang terkandung pada pasal 34 Ayat 1-4 UUD NRI Tahun 1945 dan UU no. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Selain itu yang perlu diperhatikan juga oleh pemerintah Cimahi adalah, kelompok rentan miskin, karena data yang dilansir dari Conversation, bahwa hasil penelitian tahun 2013 – berdasarkan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) - menunjukkan bahwa selain kemiskinan dan ketimpangan, Indonesia juga berisiko rentan mengalami kemiskinan. Studi ini menunjukkan bahwa sekitar 27 persen rumah tangga pernah mengalami kemiskinan setidaknya sekali antara tahun 1997 dan 2007. Kalau suatu ketika, kelompok rentan miskin ini distribusi pendapatannya terhambat, maka indeks kemiskinan penduduk akan bertambah.

Kita tak bisa membayangkan, 2045 yang di gadang-gadang sebagai Indonesia emas tanpa mengentaskan kemiskinan, dan stunting sejak dari tingkat daerah. Kita tahu bahwa manusia-manusia baru kiwari, yang disebut balita itulah yang akan memimpin bangsa ini ke depan, dan mereka butuh asupan gizi yang baik, agar IQ-nya juga naik.

Wali Kota Cimahi dan Korupsi

Tiga masalah di atas, sejatinya memerlukan sosok pemimpin akan membawa Cimahi pada perubahan dan keluar dari situasi tersebut. Catatan buruk yang ditulis oleh para walikota Cimahi terdahulu yang korupsi mesti dihapuskan dan dihilangkan dalam pemerintahan ke depan. Kita ketahui wali kota korup tersebut adalah  Ajay Muhammad Priatna, wali Kota Cimahi periode 2017-2022 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kena kaus suap terkait izin proyek pembangunan Rumah Sakit Kasih Bunda; kemudian Atty Suharti Tochija, wali Kota Cimahi periode 2012-2017 yang tersandung kasus pembangunan Pasar atas Cimahi bersama suaminya Itoc Tochija (dulu di partai Golkar) yang sempat menjabat menjadi wali kota Cimahi juga selama 11 tahun (2002-2012). Umur Cimahi yang berusia 22 tahun ini, dari tiga kepemimpinannya terbilang telah memberikan citra yang tidak baik. Karena selama 22 tahun Cimahi terbentuk, semua Walikotanya masuk ke tahanan  memakai baju oranye.

Alangkah ironinya mereka--di sebuah kota yang kaya akan historis  dengan perjuangan kemerdekaan — bertindak koruptif, yang disebut-sebut oleh KPK dan kita sepakati sebagai tindakan extraordinary crime dan sejajar dengan apa yang diucapkan dalam Statuta Roma yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Kejahatan sistemik melalui korupsi, di tingkat kepala Daerah ini juga mesti jadi perhatian serius bagi partai politik dalam menggodok sosok-sosok pemimpin yang akan bekerja untuk rakyat.

Apa yang terjadi kepada Cimahi, bisa jadi karena kegagalan kaderisasi partai yang hanya mementingkan elektabilitas, kekuatan modal, dan menihilkan aspek penguatan etis, nilai, ideologis bagi para petugas partainya. Partai harus melongok kembali para founding persons kita dalam menciptakan dan melakukan kaderisasi partai. Sukarno, Hatta, Sajhrir, Dr.Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, atau Ki Hajar Dewantara benar-benar mengader orang menjadi kader ideologis.  Sukarno di Bandung,  mondar-mandir, bolak-balik dari Bandung timur ke barat, untuk melakukan propaganda PNI. Hatta-Sjahrir sejak dari Belanda ikut dalam perhimpunan Indonesia dan mencetuskan ide mendidik rakyat hingga tiba di Indonesia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia dan menyuarakan tentang sosialisme dan pendidikan politik untuk rakyat. Kemudian tiga serangkai Dr.Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische Partij dengan slogan Hindia untuk Hindia. Semuanya, sekalipun terjadi konflik sana-sini di kemudian hari, mereka adalah para pendiri bangsa yang berideologis, yang mempunyai pandangan dan integritas yang tinggi. Mereka hidup dalam percakapan intelektual yang hidup untuk bangsanya.

Tanpa sifat korektif-reflektif  dari partai politik, partai politik di Cimahi akan dilanda wabah meragunya rakyat terhadap kepala daerah yang akan bertarung di Cimahi 1 kelak. Karena seperti yang terjadi pada indeks persepsi korupsi Indonesia yang dilaporkan oleh Transparency International, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di angka 34 poin dari skala 0 hingga 100 pada tahun 2022. Angka tersebut menurun 4 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Turunnya IPK juga memperburuk peringkat IPK Indonesia di dunia. Perlu dicatat bahwa IPK Indonesia tahun 2022 adalah yang ke-110. Tahun lalu, IPK Indonesia menduduki peringkat 96 dunia. Menurunnya IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu. Maksud saya dari data mengenai Indeks Persepsi Korupsi yang sifatnya nasional itu, terdapat citra yang bisa jadi serupa dengan tingkat daerah wabilkhusus di Cimahi.

*

Hari jadi Cimahi mestilah menjadi refleksi kritis sejak terbentuk dan digerakkannya Cimahi oleh sejarah. Dari penderitaan 12 ribu buruh Anyer-Panarukan yang mengeluarkan keringat, air mata dan darah mesti bisa ditarik pesan sejarahnya, bahwa Cimahi mesti menjadi kota yang memihak terhadap rakyat, merasakan denyut derita rakyat dan memberikan hak warga negara yang diamanatkan oleh UUD 1945. Keberpihakan itu membutuhkan sosok pemimpin yang tidak akan mengulangi kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh wali kota terdahulu.

Hari jadi Kota Cimahi bukanlah pesta pora di tengah penderitaan rakyat Cimahi yang dalam bahasa Wiji Thukul derita sudah naik seleher. Jangan sampai elit-elit tertawa sementara warga berlumuran air mata karena persoalan hidup yang begitu peliknya. Sekali lagi, hari jadi Cimahi yang ke 22 jangan hanya peringatan yang euforia semata, harus bisa melampaui itu dengan menarik hikmah perjalanan gerak sejarah Cimahi. Hanya dengan cara itulah, wawasan untuk memajukan Cimahi akan berkembang.

Selamat ulang tahun yang ke 22, Kota Cimahi!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//