• Opini
  • Karya Albert Frederik Aalbers Biasa Saja, yang Hebat-hebat Hanya Tafsirannya

Karya Albert Frederik Aalbers Biasa Saja, yang Hebat-hebat Hanya Tafsirannya

Apa yang kita ingin kenang dari bangunan karya arsitek Albert Frederik Aalbers (1897-1961) atau bangunan kolonial pada umumnya?

Garbi Cipta Perdana

Interpreter Kebudayaan Materiil (Bersertifikat) di Niskala Institute

Ngaleut Jejak A. F. Aalbers di Kota Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut dan Nieuwe Institute pada tanggal 7 Mei 2023. (Foto: Garbi Cipta Perdana)

21 Juni 2023


BandungBergerak.id – Apa yang menarik perhatianmu? Pernahkah kamu jajan di sekitar sini? Jajan apa? Apa yang kamu ingat tentang daerah Dago? Seperti apa rumah masa kecilmu? Menurutmu, bangunan kolonial sebaiknya difungsikan sebagai apa? Biasanya kamu ngapain ke Dago? Itulah tujuh pertanyaan yang saya terima saat mengikuti kegiatan Ngaleut Jejak A. F. Aalbers di Kota Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut dan Nieuwe Institute.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupaya membawa saya untuk menelusuri memori sebagai warga Kota Bandung. Sebagai generasi 90an, saya cukup banyak memiliki kenangan dengan Dago. Ingatan paling lampau yang dapat saya akses di perangkat otak saya hanya memberikan cuplikan tentang peristiwa Dago Festival yang kala itu saya datangi bersama kedua orang tua pada malam hari. Rasa-rasanya itu adalah salah satu festival yang membekas di ingatan. Kami sekeluarga menyusuri Dago, dari perempatan Jalan Merdeka hingga Taman Cikapayang. Saya tidak ingat jelas tahun berapakah itu berlangsung, yang saya tahu Dago Festival hanya digelar pada tahun 2003 dan 2004 saja.

Pada hari Minggu, 7 Mei 2023 saya menelusuri Jalan Dago yang kini bernama Jalan Ir. H. Juanda. Kali ini saya mencari karya-karya seorang Belanda bernama Albert Frederik Aalbers atau yang lebih dikenal sebagai A. F. Aalbers. Menurut Khaerani Adenan, dkk. (2012) dalam Karakter Visual Arsitektur Karya A. F. Aalbers di Bandung (1930-1946)-Studi Kasus: Kompleks Villa’s dan Woonhuizen, Aalbers merupakan seorang arsitek yang bekerja di Bandung pada periode tahun 1930 sampai 1946.

Baca Juga: Berbincang Karya Basio, Memanfaatkan Bangunan Tua Kota Bandung sebagai Ruang Publik
Jatuh Bangun Pusparita Tedjasari Merawat Bangunan Cagar Budaya dengan Hasil Berjualan Kue
Stasiun Cicalengka Penting untuk Dilestarikan, Pemugaran Tidak Harus Berarti Perobohan Seluruh Bangunan

Karya Arsitektur Albert Frederik Aalbers

P. K. Roosmalen (2002) dalam Image, Style and Status: A Sketch of the Role and Impact of Private Enterprise as a Comissioner on Architecture and Urban Development in The Dutch East Indies from 1870 to 1942 menjelaskan bahwa banyak insinyur bangunan dan arsitek Belanda yang datang ke Bandung di awal abad ke-21. Pada awalnya para insinyur bangunan dan arsitek tersebut bekerja hanya untuk pemerintah kolonial semata. Namun sejak tahun 1921, arsitek Belanda yang datang tidak lagi hanya yang bekerja untuk pemerintah kolonial saja. Pada periode ini kebanyakan arsitek bekerja untuk pengusaha-pengusaha swasta. Aalbers adalah salah satu arsitek itu. Biografi berjudul A. F. Aalbers (1897-1961): Ondogmatisch Modernist in een Koloniale Samenleving yang ditulis oleh Dorothee C. Segaar-Höweler dan Tjeerd Boersma menjelaskan bahwa saat Aalbers pindah ke kota Bandung pada tahun 1930, ia lalu memulai biro arsitek dengan temannya Rijk Arijan De Waal.

Sebelum diajak Ngaleut Jejak A. F. Aalbers di Kota Bandung, saya sebetulnya kurang mengetahui siapa itu Aalbers. Buku berjudul A. F. Aalbers (1897-1961): Ondogmatisch Modernist in een Koloniale Samenleving karya Dorothee C. Segaar-Höweler dan Tjeerd Boersma yang terbit tahun 2000 mencatat setidaknya terdapat 75 bangunan yang dirancang oleh Aalbers. Jumlah tersebut pun masih merupakan perkiraan karena tidak diketahui secara pasti jumlah bangunan rancangan Aalbers yang sudah hancur.

Menurut Cor Passchier (2008) dalam The Quest for The Ultimate Architecture Indonesia in The Late Colonial Period., Aalbers dianggap sebagai salah satu arsitek paling berbakat pada masanya. Passchier yang banyak meneliti tentang arsitektur kolonial Indonesia juga mengatakan bahwa karya-karya Aalbers menggunakan gaya Arsitektur Modern yang disesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia (Passchier, 2008).

Namun, saya bersepakat dengan Khaerani Adenan, dkk. (2012) yang mengkritisi pernyataan Passchier tersebut karena tanpa didasari penelitian akademis yang jelas. Keterbatasan data karena sudah banyak bangunannya yang hancur dan tidak didukung dengan ketersediaan arsip orisinal karya Aalbers di Bandung membuat pernyataan Passchier tersebut sangat interpretatif.

Pernyataan Passchier pun menurut saya sangat berlebihan. Bukankah memang sudah menjadi tugas seorang arsitek untuk merancang bangunan yang nyaman? Sehingga pernyataan bahwa Aalbers merupakan arsitek bergaya Arsitektur Modern yang menyesuaikan dengan iklim tropis bagi saya merupakan hal biasa. Selain itu, Arsitektur Modern pun berkembang pada akhir abad 20 hingga abad 21, dan Aalbers beroperasi sebagai arsitek pada rentang waktu tersebut. Adalah suatu hal yang lazim jika Aalbers memilih Arsitektur Modern sebagai gayanya. Pemilihan daya tersebut didasari semangat zaman, atau yang dalam ilmu sejarah disebut sebagai zeitgeist.

Tafsir Karya Aalbers

Aalbers pun beroperasi di Hindia-Belanda yang terletak dekat khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Sudah menjadi hal yang biasa pula dalam praktik arsitek untuk berupaya memberikan rancangan yang dapat memecahkan persoalan Si Penghuninya nanti. Jadi, bagi saya anggapan terhadap Aalbers terlalu dilebih-lebihkan. Menyitir Pramoedya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca, karya Aalbers sungguh biasa, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.

Perjalanan Ngaleut Jejak A. F. Aalbers berakhir di depan salah satu bangunan yang kondisinya begitu mengkhawatirkan dan sangat kontras dengan dua kembarannya yang ada di sebelah utara. Ketiga bangunan karya Aalbers itu dikenal dengan nama Drie Locomotiven yang berarti tiga lokomotif. Di depan bangunan yang telah disita oleh Bank Muamalat itu kami melingkar dan memberikan kesan pada perjalanan sejauh 2,1 kilometer.

Yasmin Aryani dari Nieuwe Instituut selaku peneliti yang menginisiasi kegiatan ini pun memberikan kesannya. Dari sekian banyak kata-kata yang beliau ucapkan ada satu yang saya coba ingat-ingat dengan baik untuk menjadi dasar tulisan ini. Yasmin berkata bahwa ia telah mewawancara penghuni dari bangunan-bangunan yang dirancang oleh Aalbers. Sebagian besar para penghuni tersebut mengeluhkan aspek fungsional dari bangunan yang dimilikinya dan sulitnya perawatan bangunan tersebut. Sejak itu saya tahu perlu untuk menuliskannya.

Adakah bangunan karya Aalbers yang saya hargai dengan sangat? Ada tentunya. Saya sangat menghargai bangunan Gedung Bank Dennis, Hotel Savoy Homan, dan Villa Tiga Warna. Ketiga bangunan tersebut memiliki nilai penting karena menjadi latar peristiwa masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dan upaya Indonesia untuk berpartisipasi dalam percaturan dunia dengan diadakannya Konferensi Asia-Afrika yang menggaungkan semangat anti kolonialisme dan imperialisme.

Merawat benda adalah merawat ingatan. Apa yang kita ingin kenang dari bangunan karya Aalbers atau bangunan kolonial pada umumnya? Penulisan sejarah bangunan-bangunan tersebut masih dipenuhi dengan romantisme masa lalu. Padahal di masa lalu bangunan-bangunan tersebut hanya dinikmati oleh kaum elit kolonial. Mahandis Yoanata Thamrin pada tahun 2019 menulis artikel berjudul Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda yang menceritakan betapa menderitanya para kuli yang bekerja banting diri demi menggerakkan roda ekonomi negeri penjajah.

Saya kira, jika pun kita perlu mengagung-agungkan karya-karya Aalbers dengan arsitektur modern yang menyesuaikan dengan iklim tropisnya, tentunya kita perlu menyadari bahwa “seonggok” bangunan yang dapat berdiri dengan tegak hingga kini itu tercipta karena peluh, nanah, dan darah dari para kuli-kuli pribumi yang mungkin namanya pun tidak pernah kita ingat, atau bahkan sekedar tertulis di nisan liang lahatnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//