Berbincang Karya Basio, Memanfaatkan Bangunan Tua Kota Bandung sebagai Ruang Publik
Contoh bangunan tua yang dijadikan lahan publik adalah rumah kentang. Memiliki latar legenda urban, kini rumah kentang dikenal sebagai ruang publik.
Penulis Sarah Ashilah22 November 2021
BandungBergerak.id - Kota Bandung dikenal sebagai kota pemilik bangunan-bangunan tua bergaya Eropa. Bangunan-bangunan tersebut menyimpan pesona tersendiri yang menyedot perhatian publik. Tak heran jika kini banyak bangunan-bangunan tua yang dialihfungsikan menjadi ruang-ruang publik seperti coffe shop, restoran, pertokoan retail, dan lain-lain.
Berbicara tentang bangunan-bangunan klasik di Bandung, Cerita Bandung yang merupakan travel agent khusus penyedia destinasi wisata Kota Bandung, menyelenggarakan sebuah talkshow bertajuk Jejak Karya Basio, bersama studio arsitektur dan desain interior Basio dan kedai kopi Blue Doors, Jalan Karang Tineung, Minggu (20/11/21).
Sebagaimana tema acara, bincang-bincang tersebut membicarakan seputar bangunan-bangunan tua yang dialihfungsikan menjadi ruang publik industri kreatif, di mana berbagai komunitas di Kota Bandung dapat berkumpul.
Farhan Basyir selaku pemilik Cerita Bandung mengatakan, Kota Bandung memiliki banyak bangunan tua yang belum terekspos. Baru di wilayah-wilayah tengah kota saja, seperti Jalan Asia Afrika dan Braga yang bangunan sudah banyak dikenal.
“Saya pikir bakal seru kalau, kita coba eksplor bangunan-bangunan tua di wilayah lain di Kota Bandung, karena menurut saya bangunan tua itu adalah artefak sejarah dari suatu kota,” ujar Farhan.
Ia lalu memaparkan latar belakang mengapa Kota Bandung memiliki begitu banyak bangunan tua. Berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa akan suasana Bandung yang mirip dengan kondisi cuaca di Eropa, Kota Bandung ditujukan sebagai kota leisure atau tempat peristirahatan di zaman Hindia Belanda. Maka karena itulah mengapa Kota Bandung banyak memiliki bangunan seperti villa di sekitar perkebunan kopi dan teh di wilayah Bandung.
Ketika pemerintah Hindia Belanda berencana memindahkan ibu kota Hindia Belanda, dari Batavia ke Kota Bandung, pengusaha-pengusaha di Batavia pun berbondong-bondong memindahkan usahanya ke Bandung. Itulah kenapa di Kota Bandung kantor-kantor telekomunikasi sampai pabrik senjata pun berdiri di sini. Pemerintah Hindia Belanda juga membangun Gedung Sate sebagai pusat Pemerintahan.
“Sejak itu, Kota Bandung pun menjadi kota destinasi bagi orang-orang Belanda dan Eropa. Karena di wilayah utara suhu Kota Bandung cenderung lebih sejuk, mereka pun banyak mengejar tempat-tempat di wilayah Bandung utara. Makanya di daerah Bandung utara banyak bangunan tua yang besar-besar,” ungkap Farhan.
Sementara itu, orang-orang Eropa yang tidak terlalu kaya, mereka lebih memilih untuk bermukim di sekitar Jalan Kosambi, Malabar, dengan karakteristik rumah-rumahnya yang tidak sebesar di daerah Jalan Dago atau Setiabudi.
Baca Juga: RS Dustira dan Lemasmil II Cimahi Sah sebagai Bangunan Cagar Budaya
Gedung Jiwasraya Bandung Dilelang, Pelestarian Cagar Budaya Jangan Hilang
Rumah Kentang
Di era 1930-an gaya arsitektur art deco adalah gaya yang populer pada masanya, karena itulah di Kota Bandung dikenal oleh sebagian orang sebagai salah satu kota dengan bangunan art deco terbanyak di dunia.
Salah satu contoh bangunan tua yang dijadikan lahan publik adalah rumah kentang. Berawal dari legenda urbannya yang dikenal angker, kini rumah kentang dikenal publik sebagai restoran yang menarik banyak perhatian pengunjung. Kesan angker pun sirna ketika bangunan tua itu disulap menjadi ruang publik.
Untuk memanfaatkan bangunan lama ini Studio Basio menggunakan metode adaptive reuse, di mana rancangan desain menyesuaikan dengan kebutuhan pribadi atau pun komersial dari sebuah brand, yang memiliki nilai lebih nan kompetitif.
“Keuntungan dari metode ini, adalah mengoptimalkan bangunan, sustainability, serta perpurtaran ekonomi, juga mengurang penghancuran bangunan tua,” ujar Bayu Ariyanto, mewakili Studio Basio.
Bayu lalu memaparkan, begitu banyak bangunan tua menarik dan kokoh yang harus dimanfaatkan di Kota Bandung. Proporsi dan fasad bangunan tua memang sering kali terasa ketinggalan zaman, namun sebenarnya bangunan tua di Bandung sangat kokoh, sehingga bila dialihfungsikan hal yang perlu dilakukan hanyalah sedikit penyesuaian.
“Jadi kita sudah memiliki bangunan-bangunan dengan kualitas dunia sebenarnya, tinggal kita memberi nyawa di dalamnya dan bisa menghemat secara pembangunan. Kita sebagai industri kreatif harus jeli untuk melhat peluang dan memanfaatkan bangunan tua agar tetap lestari dan mampu membantu perputaran ekonomi,” ujar Bayu.
Alvin Setiadarma, pemilik Blue Doors, pun bercerita, pemilihan nama merk kedai kopi mereka tidak terlepas dari bangunan lama. Blue Doors yang pertama kali berdiri di Jalan Gandapura memiliki pintu bernama biru, itulah yang akhirnya menjadi ciri khas dari kedai kopi ini.
Ketika pindah ke Jalan Alkateri, mereka membawa serta pintu biru ini dan memasangnya di tempat baru yang juga berstatus bangunan lama peninggalan zaman kolonial.
Meskipun tidak berpintu biru, Blue Doors 2 yang berlokasi di Jalan Karang Tineung, tetap tidak memupuskan ciri khas merknya, yaitu kedai kopi dengan cita rasa yang cocok di banyak lidah pelanggan dengan suasana inklusifnya di sebuah bangunan lama bergaya art deco.
Perlu diketahui, Kota Bandung memiliki banyak bangunan cagar budaya. Berdasarkan data dari pecinta sejarah Kota Bandung, Komunitas Aleut, setidaknya terdapat 1.700 bangunan cagar budaya di Kota Bandung. Sekitar 200 jumlahnya masuk dalam kategori bangunan cagar budaya kelas A dan 6 di antaranya masuk dalam kategori bangunan cagar budaya nasional.