RS Dustira dan Lemasmil II Cimahi Sah sebagai Bangunan Cagar Budaya
Sebelumnya, belum ada satu pun bangunan-bangunan antik yang bertebaran di Cimahi yang ditetapkan secara resmi sebagai Bangunan Cagar Budaya.
Penulis Iman Herdiana28 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi resmi menetapkan Lemasmil II Cimahi atau Penjara Poncol dan Rumah Sakit (RS) Dustira sebagai Bangunan Cagar Budaya (heritage) Kota Cimahi. Penetapan ini merupakan langkah bersejarah khususnya bagi komunitas pecinta heritage Kota Cimahi. Sebelumnya, belum ada satu pun bangunan-bangunan antik yang bertebaran di Cimahi yang ditetapkan secara resmi sebagai Bangunan Cagar Budaya.
“Alhamdulillah, Lemasmil II Cimahi atau Penjara Poncol dan Rumah Sakit Dustira sudah sah sebagai Bangunan Cagar Budaya Kota Cimahi dengan diserahkannya Surat Keputusan Wali Kota Cimahi dan pembuatan prasasti Bangunan Cagar Budaya,” ungkap Ketua Tjimahi Heritage, Machmud Mubarok, kepada BandungBergerak.id, Sabtu (28/8/2021).
Setelah dua bangunan ini disahkan sebagai heritage, bukan berarti persoalan selesai. Pemkot Cimahi harus mengucurkan dana perawatan Bangunan Cagar Budaya Penjara Poncol dan RS Dustira semakin lestari.
Sayangnya, pasca-penetapan tersebut Pemkot Cimahi belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Bangunan Cagar Budaya. Padahal jauh-jauh hari sebelum Penjara Poncol dan RS Dustira direkomendasikan sebagai heritage oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Cimahi, DPRD Kota Cimahi telah berinisiatif merancang Raperda Bangunan Cagar Budaya.
Perda tersebutlah yang nantinya akan melindungi Bangunan Cagar Budaya Kota Cimahi, berikut soal biaya perawatan atau pemiliharaan bangunannya. Dengan kata lain, perda menjadi payung hukum untuk melindungi Bangunan Cagar Budaya.
“Saya lihat memang ada kelemahannya karena Cimahi belum memiliki perda. Harus kita dorong agar DPRD Kota Cimahi segera menyelesaikan tugasnya untuk membuat dan menetapkan Raperda menjadi Perda,” katanya.
Menurut DPRD Kota Cimahi, tutur Machmud Mubarok, rancangan perda tersebut sudah ada. DPRD Kota Cimahi sempat akan mengundang komunitas Tjimahi Heritage untuk dilibatkan dalam pembahasan raperda. Tetapi hingga kini rencana tersebut masih belum jelas.
“Kita belum tahu progresnya di DPRD. Memang harus didorong DPRD segera bisa mengesahkan Raperda Cagar Budaya. Kita sudah tanya juga ke Pemkot Cimahi, tapi Pemkot juga belum tahu progresnya,” katanya.
Raperda sendiri merupakan inisiatif DPRD Kota Cimahi, bukan usulan dari Pemkot Cimahi. Sehingga Machmud Mubarok menilai, sebenarnya sudah ada itikad baik dari DPRD Kota Cimahi. Ia menduga, pandemi Covid-19 membuat pembahasan Raperda Cagar Budaya menjadi molor.
“Salah satu urgensi Perda Cagar Budaya adalah untuk pembiayaan itu. Ga mungkin kan Pemkot langsung membiayai tanpa aturan hukumnya,” ujarnya.
Untuk sementara, sumber pembiayaan perawatan bagi Penjara Poncol dan RS Dustira berasal dari Disbudparpora Kota Cimahi. Pemkot juga akan mengetuk perusahaan-perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR yang akan dipakai merawat bangunan heritage. Namun langkah ini bersifat jangka pendek. Ke depannya tetap diperlukan Perda yang mengatur anggaran perawatan yang bersumber dari APBD.
Soal dana perawatan ini pun menjadi pertanyaan dari pihak Penjara Poncol maupun RS Dustira. Selama ini mereka mengeluarkan dana perawatan sendiri. Langkah penetapan Bangunan Cagar Budaya akan sia-sia jika tanpa ada kejelasan anggaran biaya perawatan.
Sementara biaya perawatan Bangunan Cagar Budaya tidaklah sedikit. Sebagai contoh, Perda Cagar Budaya Kota Bandung membagi heritagenya ke dalam beberapa kelas, yakni grade A, B, dan C. Jika mengacu pada Perda Cagar Budaya Kota Bandung, RS Dustira bisa dipastikan masuk grade A. Biaya berawatan untuk grade A ini lebih besar dibandingkan grade B dan C.
Hasil Maraton di Sela Covid-19
Ditetapkannya Penjara Poncol dan RS Dustira sebagai heritage hasil kerja maraton Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Cimahi sejak awal tahun 2020. Tim yang di dalamnya terdapat anggota Tjimahi Heritage itu lebih dahulu melakukan riset kesejarahan pada kedua bangunan. Kerja mereka kadang tersendat karena keterbatasan akibat pandemi Covid-19.
Setelah riset selesai, TACB melangsungkan sidang pleno untuk menetapkan dan memberi rekomendasi mengenai Bangunan Cagar Budaya kepada Pemkot Bandung, Juni 2021. Agustus ini, Plt Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, mengeluarkan Surat Keputusannya tentang penetapan Penjara Poncol dan RS Dustira sebagai Bangunan Cagar Budaya Kota Cimahi.
SK tersebut kemudian diserahkan ke bekas Penjara Poncol atau kini Lemasmil II Cimahi dan RS Dustira. Di kedua Bangunan Cagar Budaya ini lantas dibikin prasasti sebagai penanda Bangunan Cagar Budaya.
Baca Juga: Rumah Sakit Dustira dan Penjara Poncol Direkomendasikan sebagai Cagar Budaya Kota Cimahi
Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas
Cerita Sudarsono Katam dari Foto-foto Bandung Abad ke-19
Lebih dari 150 Bangunan Heritage
Kota Cimahi, sebagaimana kota tetangganya, Bandung, memiliki banyak bangunan heritage. Sudarsono Katam dalam buku Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an menyebut pembangunan Kota Cimahi dimulai bersamaan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos (Grote Postweg) oleh belanda pada abad ke-19 yang kilometernya ada di Bandung (Jalan Asia Afrika).
Mulanya, Belanda membangun gardu pos di daerah Cimahi yang semula masih berupa hutan belantara. Lambat laun di sekitar gardu pos itu berubah menjadi kampung kecil. Belanda melihat Cimahi sebagai tempat strategis untuk mengantisipasi serbuan Inggris dari Batavia. Maka Belanda pun membangun pos militer di sana. Rupanya itulah cikal-bakal kota yang hingga kini kental dengan nuansa militernya itu.
Saat ini Cimahi menjelma sebagai kota kecil yang padat. Luas kota ini hanya 40,2 kilometer persegi yang secara administratif terbagi atas 3 kecamatan dan 15 kelurahan dan berbatasan dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Jumlah penduduk Kota Cimahi menurut sensus penduduk tahun 2019 sebanyak 614.304 jiwa.
Tjimahi Heritage mencatat, bangunan yang diduga kuat memiliki nilai cagar budaya di Kota Cimahi sebenarnya bukan hanya kompleks-kompleks militer peninggalan Belanda saja, melainkan tidak sedikit pula bangunan-bangunan sipil yang usianya sudah tua. Beberapa di antaranya bahkan terancam hancur di makan usia.
“Selama ini kita menduga cagar budaya Kota Cimahi lebih dari 150 unit. Bukan terkonsentrasi di kompleks-kompleks militer saja, tapi ada banyak rumah sipil, makam, situs, tapi kebanyakan kita belum tahun cerita di baliknya. Perlu riset mendalam soal itu,” terang Machmud Mubarok.
Dari 150 an bangunan heritage itu, TACB Kota Cimahi telah mendaftarkan 40 bangunan ke sistem registrasi cagar budaya nasional. Ke-40 bangunan telah masuk verifikasi dan tinggal menempuh langkah berikutnya, yaitu penelitian.
“Sejauh ini baru dua yang selesai diteliti, yaitu RS Dustira dan Lemasmil II Cimahi. Yang lainnya belum diteliti karena lagi-lagi Pemkot terbentur anggaran. Karena kondisi Covid-19 ada refocusing anggaran,” katanya.
Bahkan tadinya TACB Kota Cimahi akan merekomendasikan enam heritage. Namun karena masalah anggaran, pengajuan hanya dilakukan pada RS Dustira dan Lemasmil II Cimahi. Rencananya tahun depan, TACB Kota Cimahi akan mengajukan 4 bangunan heritage untuk ditetapkan menjadi Bangunan Cagar Budaya Kota Cimahi.
Satu per satu objek-objek bernilai sejarah yang diduga cagar budaya akan terus direkomendasikan TACB Kota Cimahi untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
Saksi Bisu Pendudukan Belanda dan Jepang
Rumah Sakit Dustira dibangun pada tahun 1887 di masa penjajahan Hindia Belanda sebagai rumah sakit militer (Militare Hospital). Laman resmi RS Dustira menyebutkan, rumah sakit ini berdiri di atas tanah seluas 14 hektar.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan tentara Jepang. Pada tahun 1945-1947 dikuasai kembali oleh NICA, Belanda.
Tahun 1949, Militare Hospital diserahkan oleh militer Belanda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diberikan kepada Letkol dr. Kornel Singawinata sebagai Kepala Rumah Sakit yang pertama, dan pada saat itu nama rumah sakit dirubah namanya menjadi Rumah Sakit Territorium III.
Pada 19 Mei 1956 saat perayaan Hari Ulang Tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10, Panglima Territorium III/Siliwangi, Kolonel Kawilarang, menetapkan nama rumah sakit ini dengan nama Rumah Sakit Dustira, sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya yang telah memberikan pertolongan para korban perang terutama di wilayah fron Padalarang.