• Berita
  • Rumah Sakit Dustira dan Penjara Poncol Direkomendasikan sebagai Cagar Budaya Kota Cimahi

Rumah Sakit Dustira dan Penjara Poncol Direkomendasikan sebagai Cagar Budaya Kota Cimahi

Kota Cimahi berawal dari pembangunan gardu pergantian kuda kereta pos di Jalan Raya Pos . Hingga kini, Kota Cimahi belum punya Perda Cagar Budaya.

Rumah sakit militer di Cimahi tahun 1907. Kota Cimahi belum memiliki Perda Cagar Budaya untuk melindungi bangunan-bangunan heritage. (Foto repro dari buku Sudarsono Katam, Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an )

Penulis Iman Herdiana30 Mei 2021


BandungBergerak.idTim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Cimahi merekomendasikan dua objek bangunan di Kota Cimahi, yaitu Rumah Sakit Dustira dan Lemasmil II Cimahi atau Penjara Poncol sebagai Cagar Budaya. Rekomendasi ini hasil Sidang Kajian Rekomendasi Penetapan Cagar Budaya oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Cimahi di Ruang Rapat Disbudparpora Kota Cimahi.

"Rekomendasi ini akan diserahkan Disbudparpora kepada Wali Kota Cimahi. Selanjutnya Wali Kota akan mengeluarkan SK yang menetapkan RS Dustira dan Penjara Poncol sebagai Cagar Budaya berperingkat kota," ungkap Machmud Mubarok, yang menuliskan kabar rekomendasi RS Dustira dan Penjara Poncol sebagai Cagar Budaya di grup Facebook Tjimahi Heritage, Rabu (19/5/2021) lalu.

Tjimahi Heritage merupakan komunitas warga yang peduli akan kelestarian bangunan cagar budaya dan sejarah Kota Cimahi. Kegiatan komunitas ini antara lain, menjelajah sudut-sudut kota sambil berkisah, mendokumentasikan bangunan-bangunan heritage agar menjadi bukti kekayaan dan potensi wisata heritage Cimahi, dan lain-lain.

Machmud Mubarok yang juga Ketua Tjimahi Heritage menyebut, 3 orang pegiat Tjimahi Heritage menjadi TACB Kota Cimahi yang telah menyelesaikan Sidang Kajian Rekomendasi Penetapan Cagar Budaya itu. "Ini adalah sejarah. Karena untuk pertama kalinya bangunan-bangunan peninggalan kolonial di Kota Cimahi ini direkomendasikan sebagai Cagar Budaya," ujar Machmud Mubarok.

Selanjutnya, kata Machmud, nasib bangunan yang sudah dinyatakan sebagai Cagar Budaya ada dalam tanggung jawab Pemkot Cimahi, termasuk menanggung anggaran pemeliharaan bangunannya. Anggaran itu bisa dikucurkan jika DPRD Kota Cimahi selesai menuntaskan pembahasan tentang Rancangan Peraturan Daerah ((Raperda) Cagar Budaya dan menetapkannya menjadi Perda Cagar Budaya.

"Perda itulah yang mengatur tentang besaran anggaran yang dikucurkan sesuai dengan kategori bangunan cagar budaya. Bola sekarang ada di legislatif," katanya.

Kota Cimahi memang tertinggal jauh dari kota tetangganya, Kota Bandung, dalam urusan Cagar Budaya. Bandung telah memiliki Perda Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya yang melindungi 100 heritage cagar budaya golongan A.

Menurut Machmud, sampai sekarang Cimahi tak memiliki payung hukum atau Perda Cagar Budaya yang mengatur pelestarian dan perlindungan terhadap situs, bangunan, dan kawasan Cagar Budaya. Ketiadaan payung hukum ini menyebabkan banyak bangunan-bangunan heritage di Cimahi yang mengalami perubahan secara fisik. "Bahkan banyak pula yang sudah rata dengan tanah, hanya tertinggal dalam ingatan," kata Machmud.

Langkah yang dilakukan pegiat Tjimahi Heritage melalui TACB Kota Cimahi yang melakukan kajian dan memberikan rekomendasi terhadap bangunan heritage sebagai cagar budaya, sebagai langkah awal dan juga krusial untuk melindungi bangunan-bangunan bersejarah.

Saat ini, TACB Kota Cimahi berpacu dengan waktu untuk merekomendasikan semua bangunan-bangunan kolonial dan bersejarah di Kota Cimahi menjadi bangunan Cagar Budaya. "Karena di sisi lain, pembangunan juga terus dipacu, sehingga bangunan-bangunan tua itu kehilangan wajah aslinya, bahkan hilang wujudnya," katanya.

Baca Juga: Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas
Cerita Sudarsono Katam dari Foto-foto Bandung Abad ke-19

Gardu Kuda dan Kota Garnisun

Kota Cimahi kini menjelma sebagai kota kecil yang sangat padat. Jumlah penduduk Kota Cimahi menurut sensus penduduk tahun 2019 sebanyak 614.304 jiwa, yang tersebar di 3 kecamatan dan 15 kelurahan. Total luas kota ini 40,2 kilometer persegi, di mana setiap satu kolometer perseginya dihuni sekitar 15.281 jiwa.

Sudarsono Katam dalam buku Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an menuturkan Kota Cimahi berawal dari pembangunan gardu pergantian kuda kereta pos di Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun Belanda. Lingkungan gardu pos ini berkembang menjadi sebuah desa kecil, yang kemudian dijadikan tempat pembangunan pos militer, sebagai garda terdepan untuk menjaga Kota Bandung dari kemungkinan serbuan tentara Inggris dari arah Batavia.

"Sejak saat itu, Cimahi berkembang menjadi kota bernuansa militer," cerita Sudarsono Katam. Nuansa militer Kota Cimahi berawal dari strategi Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1898 yang secara rahasia merencanakan Bandung sebagai pusat militer.

Rencana it diwujudkan dengan pemindahan beberapa pusat militer atau fasilitasnya ke Bandung dan membangun kota Cimahi sebagai pusat militer. Garnisun Militer Cimahi diresmikan pada 1896.

Pembangunan Kota Cimahi, lanjut Sudarsono Katam, dilaksanakan oleh Letnan II Zeni V.L. Slors pada 1895. Kesatuan militer Hindia Belanda pertama yang ditempatkan di Cimahi adalah bagian dari Batalyon IV. Pada tahun 1890-an, dibangun kompleks perumahan perwira yang dikenal sekarang dengann nama Gedong Dalapan.

Selanjutnya, dibandung sekoah berkuda militer, gedung-gedung militer, penjara, dan rumah sakit, dan lain-lain. "Cimahi masih terkesan kota bernuansa militer hingga awal 1980-an," kata Sudarsono Katam.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//