RESENSI BUKU: Menguak Petaka di atas Pusara
Novel “Perempuas” karya Mochammad Alfiansyah memotret rentetan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan domestik.
Penulis Ryan Zulkarnaen25 Juni 2023
BandungBergerak.id – “Apakah karena kasus pelecehan seksual terjadi—menimpa rakyat miskin? Apakah karena perempuan yang menjadi—sebagai korban kekerasan seksual? Apakah kasus pelecehan—kekerasan seksual bukan urgensi urusan negara dan bangsa? Barang tentu, teka-teki pertanyaan ini menggerakkan tokoh Murniyati untuk mencari keadilan atas kasus kekerasan seksual menimpa adik kandungnya, Maryati.
Tahun 2019, novel Perempuas karya Mochammad Alfiansyah muncul ke permukaan tepat di tengah berjamurnya kasus-kasus pelecehan—kekerasan seksual terjadi di berbagai ruang publik maupun privat, seperti lingkungan akademis, hubungan asmara, bahkan di lingkungan keluarga. Ketika para aktivis feminis dan aktivis HAM mengetengahkan ihwal kemanusiaan, dan martabat kaum perempuan dalam domain sosial dan budaya. Maka, Alfiansyah turut memotret bagaimana rentetan peristiwa kekerasan seksual terjadi di lingkungan domestik melalui medium bahasa, novel.
Menyoroti novel berjudul Perempuas, pembaca akan berasumsi bahwa penulis lelaki tengah mengisahkan gemerlap kehidupan perempuan metropolitan. Keliru sekali, pembaca akan dihadapkan dengan perjuangan dua tokoh utama perempuan yang memiliki kesadaran dan pemikiran feminis tumbuh di pinggiran Jakarta. Secara literal perubahan huruf konsonan “n” menjadi “s” bukan pula konsep defamiliarisasi khas Formalisme Rusia, ataupun sifat bahasa yang arbriter “sesukanya”. Penyimpangan kata di atas merupakan wajah lain sosiolinguistik, penggabungan dua morfem antara “perempuan” dan “puas”, yang menciptakan bentuk kata dan makna baru berdasarkan konteks sosial dan budaya yang melatarinya. Dalam hal ini, kedudukan perempuan yang diperlakukan sebagai objek seksual belaka.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Benarkah Internet Membuat Kita Bodoh?
RESENSI BUKU: Spritualisme Kritis ala Ayu Utami
RESENSI BUKU: Love is The Answer (2022), Masih Adakah Cinta dalam Berpikir Menang-menang?
Perempuan dalam Novel Perempuas
Pada dasarnya, novel ini berkisar bagaimana kedudukan perempuan mengalami objektivikasi, seperti pelecehan—kekerasan seksual dalam budaya patriarki, dan impunitas hukum bagi pelaku. Rentetan kasus pelecehan—kekerasan seksual, tak menyana pelakunya merupakan orang-orang terdekat. Pertama, Maryati, korban pemerkosaan oleh tindak Sang ayah kandung. Kedua, Murniyati hamil di luar nikah, dan kekasihnya meninggalkan Murniyati dan janin dalam kandungannya.
Adapun irisan lain bentuk-bentuk objektivikasi seksual perempuan lainnya, seperti perilaku seorang atasan kepada karyawan dalam telepon. Belum, seorang lelaki yang berpoligami, dengan meninggalkan istri dan anaknya tanpa nafkah. Memang, gejala gatal-gatal pada kulit jalan pintasnya bukan salep atau balsem, melainkan dengan menggaruknya pada bagian kulit gatal. Laksana, Tarjo (ayah Murniyati) yang terpapar perilaku Misogini tega mengekspresikan kebencian, hingga melacurkan hasrat seksual kepada anak kandungnya sendiri. Termasuk, pengalaman Murniyati mendapatkan pelecehan seksual dan cara pandang secara body shamming selama di ruang publik.
Membaca kecamuk pikiran tokoh Murniyati, kira-kira isi kepalanya begini: “Wahai kaum perempuan sedunia, berkumpullah”. Berkaca pada pengalaman kejinya, serta memiliki kesadaran akan kesetaraan gender, Murniyati menggaungkan bagaimana perempuan harus memiliki otoritas atas tubuhnya, serta kemandirian tanpa memusatkan kepada kaum lelaki. Dengan begitu, perempuan dapat mencapai interalasi gender dengan kaum lelaki, dan meredefinisi narasi kaum reduksionis lelaki yang mengobjektifikasi perempuan berdasarkan kacamata ideologis mereka.
Lazimnya anak sekolah menengah atas, Maryati tumbuh dengan kematangan mental di atas rata-rata seusianya. Dalam perenungan Maryati, kerap kali pikirannya bertentangan dengan budaya kaum patriarki yang bergerak secara kapiler. Sekalipun dalam pikirannya, Maryati mengecam keras pelaku kekerasan seksual. Siapa pun oknum memanfaatkan relasi kuasa dan mengobral sabda suci, agar orang tunduk—patuh. Terbukti, jika kita menyusuri jalan pikiran Maryati, akan menemui sebuah jurang pertanyaan, penuh amarah yang tak bersuara, sebagaimana kemelut dalam bingkai pernyataan termaktub di bawah ini:
“Apakah ini nasib perempuan yang tinggal di negara ini atau bahkan di dunia ini? Apakah ini sebuah kutukan bagi perempuan yang terlahir ke dunia ini? Jika ini memang kutukan, lalu untuk apa perempuan diciptakan? Tuhan, apakah aku pernah meminta-Mu untuk melahirkanku sebagai perempuan? Sungguh beruntung bagi kalian laki-laki," Ujar Maryati (Hal. 17).
Menggugat kodrat sebagai perempuan kepada Tuhan merupakan hal ingkar terhadap ketentuan Tuhan. Akan tetapi, membiarkan predator seksual terus mengobjektivikasi kedudukan perempuan, bukankah satu alamat mengingkari martabat dan kedudukan perempuan di haribaan Sang Pencipta. Oleh karena itu, upaya memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan, dan mendapatkan layanan hukum adalah keniscayaan.
Perjuangan Murniyati mencari keadilan tidak berujung. Instansi berslogan “Melindungi dan Melayani” merespons kasus kekerasan seksual sangat lamban, bahkan menuding pakaian perempuan cikal bakal terjadinya kasus kekerasan seksual. Tak hanya itu, perjuangan Murniyati malah menerima teror dari oknum tak bertanggung jawab. Bahaya apa perjuangan Murniyati bagi pihak mereka? Apakah kasus pelecehan-kekerasan seksual mungkin terjadi di antara para elite dan penegak hukum, sehingga penyelesaian kasus cukup menuding cara kaum perempuan berpakaian, dan memberi restitusi.
Ketika rumah menjadi tempat untuk pulang, dan keluarga adalah karunia dan harta paling berharga bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Murniyati dan Maryati tidak menemukan kehangatan dan keharmonisan hakikat dalam keluarga. Mereka benci kepada tindak amoral lelaki seperti ayahnya, yang semestinya bertugas sebagai Sang pelindung dari segala ancaman dari luar, malah menjadi Sang Perundung bagi anak kandungnya. Di atas pusara ini, kakak beradik itu bersaksi bahwa Ibu adalah satu-satunya pelindung, yang mengemban tugas ganda sebagai keibuan sekaligus kebapakan.
Suara Perempuan dalam Tulisan Laki-laki
Dalam Perempuas, bentuk kerja-kerja persalinan buku seolah terintegrasi oleh penerbit: editor, tata letak, dan sampul. Padahal, menyoroti judul—sub judul, hingga latar sosial penulis, merupakan individu merdeka yang tumbuh dalam iklim kolektif komunitas. Pembaca berharap bahwa penulis dapat memberdayakan potensi dan bakat kawan-kawan dalam jejaring lintas komunitas literasi. Mengingat, tema novel ini berkisah tentang objektivikasi kaum perempuan, serta tumbuhnya pemikiran feminisme dalam tokoh Murniyati dan Maryati.
Belum jauh, pada bagian 15 dalam dialog antara Murniyati dan Sutikah, pembaca bakal menduga bahwa adanya kekeliruan penulis maupun tugas editor, dalam penyebutan nama pendek tokoh. Pertama, penggalan dialog rasa peduli Sutikah kepada Murniyati, “Hati-hati, Mar”. Secara tekstual, sebutan nama itu merujuk kepada Maryati atau disebut “Mar”, padahal secara konteks Sutikah tengah dialog dengan Murniyati atau menyebutnya “Mur”, bukan “Mar”. Kemudian, pembaca menemukan tipografi pada halaman 86 paragrap pertama, pada kalimat keempat, yakni penulisan orang ketiga tunggal pada awal kalimat mustinya menggunakan huruf kapital, seperti “Ia”, bukan “ia”.
Segi layout, terdapat delapan lembaran kosong, masing-masing lembaran itu termasuk pada total halaman novel ini. Halaman kosong terdapat pada setiap akhir (bagian 1 hal. 10), (bagian 8 hal. 50), (bagian 10 hal. 58), bagian 11 hal. 62), (bagian 12 (hal. 68), (bagian 13 hal. 72), (bagian 15 hal. 80), dan (bagian 16 hal. 84). Apa maksud menyediakan halaman kosong pada bagian-bagian tertentu. Apakah tata letak menyediakan ruang bagi pembaca—mustahil, atau murni soal teknis layout. Justru, pembaca menganggap lembaran kosong itu sebagai bentuk dan hal mubazir.
Adapun konstruksi elemen intrinsik, penulis menyajikan rangkaian cerita sangat koheren, adanya kesesuaian antara latar waktu—tempat, nama-nama tokoh, dengan tema, judul dan peristiwa-peristiwa di dalamnya. Penulis membangun alur cerita dengan menyisir kedua tokoh Maryati dan Maryani dengan rentetan peristiwa mendiskreditkan kaum perempuan. Upaya penulis melakukan riset dan wawancara mengenali wilayah biologis dunia keperempuanan. Terbukti, penulis berhasil menyajikan beberapa gejala dan kondisi biologis dialami tubuh perempuan, seperti hamil dan keguguran (bagian 15), struktur tubuh perempuan (bagian 14) dan tanda-tanda luka kekerasan seksual (bagian 16).
Sekurang-kurangnya, terdapat tiga-empat ragam majas mendekorasi struktur totalitas teks: (simile hal. 59, 86), (repetisi-retoris hal. 19, 56), (asonansi hal. 173), (personifikasi hal. 40, 41, 73&74). Secara gaya penulisan, Perempuas tidak sepenuhnya bernuansa realisme murni, melainkan memuat unsur-daya magis turut melingkupi sikap, mental, dan keyakinan Maryati. Terutama, ketika Maryati mengalami momen kerinduan kepada Sang Ibu, bagaimana interaksi Maryati dengan suara, bayangan dan sesosok makhluk itu memunculkan sikap ambiguitas dan irasional.
Novel ini berakhir mode antiklimaks, nada-nada kekalahan muncul dalam tokoh Murniyati. Belum lama memulai perjuangan, mood pembaca tiba-tiba dibuat terlunta-lunta, bolehkah pembaca melempar nasib novel tipis ini? Apabila menyitir penggalan puisi Chairil berjudul, “kerja belum selesai, belum apa-apa”. Mengingat, pernyataan Nyai Ontosoroh menutup akhir cerita roman Bumi Manusia, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Menggugat pernyataan Murniyati “Kita belum kalah, Mar”, merupakan penanda bahwa perjuangan Murniyati akan berjenjang pada novel dwilogi, trilogi, bahkan tetralogi. Kita tunggu, sejauh mana Alfiansyah memperjuangkan keadilan, dan menenangkan kecamuk pikiran dan hati para pembaca.
Informasi Buku/Klofon
Judul Buku: Perempuas (perjuangan kaum perempuan dalam mencari keadilan)
Penulis: Mochammad Alfiansyah
Penerbit: Guepedia
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 106 Halaman