• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Merekam yang Dihapus Negara

KELAKUAN NETIZEN: Merekam yang Dihapus Negara

Pembelaan terhadap Stasiun Cicalengka membutuhkan gerakan publik dari akar rumput. Memori kolektif melampaui narasi negara.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Para penumpang turun dari kereta api komuter Bandung Raya di Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung, awal Juni 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Juli 2023


BandungBergerak.id - “Pak, dari proyekan?” tanya petugas keamanan kepada Kang Hawe yang sedang menggambar Stasiun Cicalengka. “Bukan, saya dari proyek seni aja,” jawab Kang Hawe singkat, sebelum kemudian para petugas itu mengusirnya.

Potongan peristiwa itu disampaikan oleh Kang Hafidz dalam siniar bersama BandungBergerak.id. Stasiun Cicalengka yang diresmikan pada 10 September 1884 kini akan dirobohkan dan diganti dengan bangunan stasiun yang baru.

Kenangan yang melekat di tembok, jendela, dan setiap sudut bangunan stasiun dari 139 tahun lalu itu tentu akan ikut hilang. Masalahnya, jangankan untuk mengelola semacam ingatan publik tentang stasiun di ketinggian +689 meter tersebut, menggambarnya saja dilarang.

Melihat buruknya kepedulian pada memori kolektif ini, sudah semestinya terinisiasi gerakan-gerakan pengumpulan memori digital dari akar rumput. Gerakan publik seperti ini sangat penting untuk merekam setiap jengkal memori warga yang dihapus negara.

Belajar dari Gerakan Keretapi Tanah Melayu

Mengamati dari jauh suara publik soal Stasiun Cicalengka, saya teringat penelitian berjudul Industrial railroad to digital memory routes: remembering the last railway in Singapore yang ditulis oleh Liew, Pang, dan Chan pada 2014. Artikel itu membahas kondisi yang hampir sama dengan Cicalengka, sebuah stasiun dengan jejak historis yang penting akan ditutup.

Jalur kereta api Keretapi Tanah Melayu (KTM) Berhad adalah moda transportasi penting untuk barang dan penumpang yang bergerak antara Singapura dan Malaysia. Stasiun kereta api Tanjong Pagar–terminal jalur kereta api KTM di Singapura– berhenti beroperasi mulai 1 Juli 2011, dan jalur kereta api KTM di Singapura dipindahkan.

Mengingat jejak historis yang panjang, termasuk riwayat kolonialisme yang sama di kedua negara tersebut, Nature Society of Singapore mengusulkan proyek 'Koridor Hijau' untuk melestarikan bekas jalur kereta api KTM dengan bantuan arsitek, sejarawan, dan penyair.

Salah satu peserta, Eugene Tay, membuat halaman komunitas Facebook yang disebut "Kami Mendukung Koridor Hijau". Tindakan sederhana tersebut ternyata menjadi langkah signifikan dalam politik memori digital Singapura. Dalam dua minggu, halaman Facebook Tay menjadi platform komunitas utama, mempromosikan kesadaran publik dan mengumpulkan dukungan untuk melestarikan lahan rel kereta api.

Perangkat pintar, kuota atau data yang murah bahkan tak terbatas, serta platform media sosial telah meningkatkan partisipasi warga Singapura membagikan rekaman foto dan video terkait peristiwa ini. Para penggemar fotografi, komunitas kereta api, penggemar sejarah, dan komunitas pejalan kaki berpartisipasi dalam komunitas tersebut menggunakan perangkat modern mereka.

Salah satu warganet mengunggah video berjudul Forget Me Not. Video ini merupakan kolase foto dari aktivitas piknik massal sepanjang jalur kereta, di mana para partisipan diajak untuk menuliskan dalam secarik kertas kenangan mereka tentang jalur tersebut, dan harapan mereka tentang jalur hijau ke depannya. Kumpulan foto itu dibungkus dengan musik-musik sentimentil, salah satunya To Build a Home oleh Cinematic Orchestra.

Meskipun penyelenggara dan aktivis memainkan peran penting dalam mengatur tur kereta api, banyaknya foto yang diambil oleh peserta sangat penting dalam menciptakan basis pengetahuan yang komprehensif. Foto-foto warganet menawarkan wawasan berharga yang mungkin tidak tersedia di museum milik negara atau buku pelajaran sejarah di Singapura. Sumber daya digital Facebook yang gratis untuk pengguna, menciptakan bank memori bottom-up yang signifikan di Singapura. Hal ini berimplikasi untuk menjaga memori perkeretaapian KTM, bahkan saat pihak berwenang menghapus jalurnya.

Puncak aktivitas massa terjadi saat hari terakhir jalur itu digunakan. Sultan Johor dari Malaysia tiba di Singapura menggunakan kereta terakhir. Tak terhingga jumlahnya, massa memenuhi Stasiun Tanjong Pagar dengan kamera di tangannya masing-masing. Merekam apa yang telah diputuskan akan hilang oleh negara mereka.

Komunitas di Facebook itu pun disesaki memori-memori masyarakat. Penelitian Liew dan timnya saja setidaknya mendapatkan 1.571 unggahan di halaman Facebook dari November 2010 hingga Juli 2011. Sebagian besar (33 persen) postingan adalah tentang kenangan pribadi, perasaan, dan pengalaman terkait dengan jalur kereta tersebut. Setelah itu, 13 persen membahas berita dan pembaruan tentang perkembangan dan kebijakan dari jalur kereta, serta 11 persen unggahan menanyakan terkait pembangunan dan peristiwa.

Karena semakin banyak orang yang tertarik dengan kereta api KTM, institusi pemerintah di Singapura pun cemburu. Mereka mencoba membuat kampanye tersendiri di internet melalui Singapore Memory Project. Namun, platform tersebut tidak memiliki diskusi dan komentar yang semarak seperti grup Facebook yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal itu menggambarkan sifat hubungan negara-masyarakat dalam praktik pembuatan memori digital. Memori kolektif tak mampu dilawan narasi negara.

Bagian belakang Stasiun Cicalengka yang diabadikan K. Kroitzsch antara1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)
Bagian belakang Stasiun Cicalengka yang diabadikan K. Kroitzsch antara1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual
KELAKUAN NETIZEN: Lagu dan Laku Netizen Beriman

Ide untuk Cicalengka

Ada beberapa hal penting mengapa hal serupa tampaknya harus mulai dilakukan untuk kasus penghancuran bangunan lama Stasiun Cicalengka. Alasan pertama tentu karena telah jelas bahwa penguasa tak terlalu peduli terhadap memori kolektif yang dimiliki warganya.

Kedua, melalui gerakan memori kolektif digital, ingatan massa dapat terbangun secara lebih partisipatoris. Dampaknya, akan lahir lebih banyak sumber sejarah yang otentik. Hal itu telah tergambar dalam komentar dari warga yang memberikan beberapa catatan dalam artikel tentang Cicalengka yang dimuat BandungBergerak.id.

Ketiga, cara-cara ini akan lebih menggerakkan warga secara lebih luas, tak hanya masyarakat di sekitar Cicalengka. Siapapun yang memiliki ingatan tentang stasiun Cicalengka dapat bergabung dan membagikan catatannya sendiri.

Dalam tataran praktis, komunitas literasi atau pegiat sejarah di Cicalengka dapat membuat komunitas di Facebook dan mengundang sebanyak-banyaknya orang untuk membagikan kenangannya. Facebook masih menjadi platform yang paling efektif, karena kemudahan untuk berbagi dan berinteraksi. Di laman tersebut, buatlah daftar ide arsip atau memori apa yang dapat dipancing agar publik membagikannya.

Kegiatan luar jaringan pun menjadi sangat penting, seperti Tjitjalengka Historical Trip yang telah dilakukan. Atau ide-ide perlawanan melalui seni yang dikemukakan dalam siniar bersama BandungBergerak.id. Kegiatan itu bisa menjadi pemantik agar gaung pengumpulan memori kolektif bisa lebih aktif dan partisipatif. Terakhir, memanfaatkan jejaring komunitas patut diperkuat untuk memberi tenaga yang lebih besar.

Sekali lagi, kegiatan ini menjadi penting karena alasan sederhana yang sebenarnya sama-sama kita ketahui, meski ingin sekali menyangkalnya. Bahwa menjadi rakyat ironisnya harus selalu siap kalah, setidaknya kita harus mencari cara untuk mengenang apa yang pernah kita punya. Syukur-syukur pergerakan kita mampu menggoyang keputusan para penguasa.

Kalau mereka belum juga tergerak, mari menyanyikan To Build a Home sambil menangisi tempat kita hidup ini: Cause, I built a home / For you / For me / Until it disappeared/ From me/ From you /And now / it’s time to leave and turn to dust.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//