KELAKUAN NETIZEN: Lagu dan Laku Netizen Beriman
Keimanan bisa mengarahkan perilaku seseorang di media sosial. Begitu pun sebaliknya, kita bisa melihat bagaimana media sosial memengaruhi keberimanan seseorang.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
5 April 2023
BandungBergerak.id – Ramadan bagi saya selalu terasa manis, seperti kolak pisang dengan gula aren dari Cidaun. Mungkin karena di bulan Ramadan, kita melakoni waktu dengan jiwa berbeda. Perut yang kosong, puasa belasan jam, dan ritual ibadah lainnya membuat pemaknaan kita terhadap dingin subuh, sengat matahari, gerak orang-orang, semuanya terasa baru, segar, dan lebih jernih.
Tak heran, bulan Ramadan selalu dinanti-nantikan banyak muslim. Di zaman kolot, saya menyambutnya dengan papajar. Di era digital, khidmat menyongsong Ramadan turut ramai di layar telepon pintar.
“Bentar lagi puasa Ramadan 2023, semoga kita semua dipanjangkan umurnya dan disehatkan jiwa dan raganya untuk bertemu Ramadan tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang,” ujar 92story di kolom komentar lagu Bimbo berjudul Puasa.
Semakin jauh menelusuri komentar-komentar di beberapa lagu religi islam, terutama Ungu, saya menemukan beberapa pola menarik. Netizen kita memiliki ekspresi beragam yang muncul dari spiritualitas yang asyik.
Pertama, memutar lagu-lagu religi melalui Youtube adalah juga memutar kenangan hangat akan Ramadan nun jauh di masa lalu. Melodi lagu dan lirik ternyata membuat kenangan menjadi melekat lebih kuat. “Lagu di mana (di) asal (kampung) gue, habis salat tarawih nongkrong bareng di pinggir jalan dekat musala. Nyanyinya lagu ini mulu,” kenang seorang netizen tentang lagu Surga-Mu milik Ungu.
Bahkan, musik ternyata turut menemani seseorang bertumbuh. Membesarkan harapannya, melakoni pedas dan manis kehidupan. “Tiba-tiba ingin mendengar lagu religi dari Ungu. Teringat masa membina keluarga kecil dengan dua anak yang lucu. Sekarang mereka sudah besar; semoga menjadi anak-anak yang saleh, menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tuanya,” doa yang adem dari seorang netizen di kolom komentar lagu Andai Kutahu milik Ungu.
Kedua, lagu religi tak hanya memunculkan kenangan manis, tetapi juga serpihan kenangan yang hilang, termasuk perginya orang-orang tersayang. “Inget almarhum Nenek, dulu biasanya sebelum buka puasa nonton film ini (PPT) dengan lagu dan suara khas dari Pasha Ungu. Andai waktu bisa diputar kembali. Bahagia itu sesederhana bisa kumpul keluarga di saat berbuka puasa,” ujar akun Ensenne di kolom komentar lagu Para Pencari-Mu. Saya turut merinding membacanya.“Dulu dengar lagu ini ketika bapak dan ibuku masih ada, dan Ramadan tahun ini adalah Ramadan pertama tanpa bapak dan ibu,” tulis Anwar Hidayat mengomentari lagu Dengan Nafas-Mu.
Terakhir, lagu religi ternyata memiliki kekuatan yang lebih universal. Ia tak tersekat dengan dalil-dalil dan dogma untuk menyampaikan pesan kedamaian Islam. “Gua Kristen, tapi suka banget dengar lagu-lagunya Ungu religi,” ujar Billy Damongilala masih di lagu Para Pencari-Mu. “Saya katolik, ini adalah lagu penghibur buat saya di saat saya sendiri dan sering menghayati kesalahan yang saya perbuat,” tutur Ferdinand Gobay di lagu Andai Kutahu.
Baca Juga: Raja dan Tombaknya
Negeri Klarifikasi
Kebijakan Menunggu Viral
Ragam Pertunjukan untuk Tuhan di Media Sosial
Sebenarnya, ekspresi orang beriman di media sosial telah menarik fokus dan perhatian para peneliti media baru (new media). Penelitian menarik misalnya dilakukan oleh Donna Freitas. Dalam salah satu bab buku yang ditulisnya, Performing for God: Religion On (and Off) Social Media, ia mewawancara mahasiswa dari berbagai latar belakang keagamaan. Hasilnya, ada beberapa cara mengekspresikan keimanan di media sosial.
Pertama, anggapan bahwa media sosial merupakan salah satu kepanjangan semesta yang di dalamnya pengawasan dan takdir Tuhan bekerja. Hal sangat mencolok misalnya tergambar dari petikan wawancara Jenifer, seorang Kristen konservatif. “Tuhan tidak duduk dan mengetik pesan untuk Anda atau apa pun…(tapi) Dia dapat menggunakan mereka (pengguna) untuk mengetik pesan penyemangat, atau menyebarkan harapan atau cinta …” tuturnya. Bahayanya, menurut informan lain bernama Jae, “media sosial bisa menjadi Tuhan yang lain bagi manusia...”
Namun, orang-orang seperti Jae dan Jenifer, menurut Freitas, sebenarnya bukanlah mayoritas. Hanya 25% responden yang menyatakan bahwa mereka secara terbuka menyampaikan pendapatnya mengenai agama dan politik. Orang-orang lebih cenderung menghindari konflik dengan tidak membahas hal-hal yang sangat subjektif tersebut.
Berbeda dengan Jae dan Jenifer, Alima menggunakan Facebook dengan sebuah negosiasi yang antara dirinya dan keluarganya. Orang tua Alima meninggalkan India sejak usia Alima lima tahun karena ayahnya ingin menghindari keluarga besarnya yang konservatif. Namun, American Dream tinggal kenangan. Setelah lama di Amerika, ayah Alima pun beragama dengan sangat konservatif. “Dia mengontrol saya karena tidak ada lagi yang bisa dikontrol,” keluh Alima. Sementara Ibunya, lebih sering menjadi seorang juru damai antara kebebasan yang diinginkan remaja wanita Amerika itu dengan ayahnya.
Kondisi tersebut memengaruhi bagaimana ia mengekspresikan diri di media sosial. Ia menggunakan foto profil yang tidak menampakkan wajahnya. “Foto profil saya bukan saya. Itu memang saya, tetapi tidak menunjukkan wajahku. Hanya tangan yang penuh dengan hena,” tuturnya. Menurutnya, di lingkaran pertemanan khusus perempuan di media sosial (fitur teman dekat), bisa saja menunjukkan wajahnya. Tetapi tidak bisa ditunjukkan kepada pengikut laki-laki.
Selain itu, ketika ia ingin berteman dengan laki-laki di media sosial, ia akan berdiskusi dengan Ibunya untuk mendapatkan lampu hijau. Ada satu alasan yang menarik bagi saya, mengapa Alima menjalani hal tersebut. “Saya melakukan itu karena saya menghargai Ibu saya. Saya sangat menghargai hubungan saya dengan Ibu…” jelasnya.
Leburnya Yang Serius dan Yang Iseng
Sebenarnya media sosial bisa juga “membebaskan”. Bisa saja jadi media untuk menjelajahi arah dan ekspresi keberagamaan dan spiritualitas yang lebih kita inginkan, lebih cocok secara personal. Contoh sederhananya, di media sosial sering kita temukan akun-akun anonim yang bisa melepaskan dirinya dari identitas nyata, termasuk identitas agama.
Keimanan bisa secara beragam diekspresikan oleh orang-orang. Keimanan bisa mengarahkan bagaimana perilaku seseorang di media sosial. Begitu pun sebaliknya, kita bisa melihat bagaimana media sosial memengaruhi keberimanan seseorang.
Kembali ke bulan Ramadan dan ekspresi netizen kita, hal itu pun sebenarnya hanya sekilas gambaran bagaimana keimanan berinteraksi dengan media sosial melalui konten/pesan. Ada yang serius, seperti akun dakwah yang dikelola dengan konten dari riset mendalam dan desain yang estetis. Tetapi ada pula yang iseng. Contohnya Bapak Sekretaris MUI Sukabumi dan kawannya yang mengangkat senjata seperti hendak menembaki orang-orang yang mereka anggap musuh agama.
Namun, hal paling absurd yang saya temui di media sosial pada momen Ramadan kali ini ialah adanya beberapa imam salat menyiarkan salat jamaah mereka secara langsung melalui media sosial. Harapannya, mereka mendapat saweran digital dari penonton. Tampak lebih konyol dari aksi siram gayung ibu tua renta beberapa waktu lalu. Saya terheran-heran, lantunan ayat suci kok dikomersialisasi, setiap rakaat yang ditegakkan kok malah berharap dapat saweran. Gusti Nu Agung! Apakah amin sudah tak lebih berharga dibanding koin? Apakah media sosial bisa jadi perlambang siapa sebenarnya aku dihadapan-Mu?