RUANG RENUNG #24: Bambu-bambu Problematik Schrodinger
Sebuah pameran unik dan eksentrik tentang bersepeda atau "menggowes" digelar di Orbital Dago, Bandung. Sebuah surat undangan aktivisme.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
5 Juli 2023
BandungBergerak.id - Sebuah pameran unik dan eksentrik mencoba mengerlipkan mata di sudut Bandung Utara untuk sebuah tawaran dan godaan untuk “menggowes”. Sang pemilik galeri Orbital Dago, Rifky “Goro” Effendi, mencoba mengajak sebanyak mungkin orang untuk menjadi “pengabdi setang sepeda”.
Aktivisme yang tergolong high-brow ini memang unik – yang dibahas yang sangat biasa dan sehari-hari –, sementara cara membahasnya menjamin kita masih mengerenyutkan dahi. Judulnya pun dibungkus garis argumen Kartesian yang problematis: “Saya Bersepeda Maka Saya …”, yang hadir dari tanggal 14 Juni sampai 2 Juli 2023.
Ego Bicyclo Ergo Sum
Kedipan “nakal” Goro, sang kurator, memang sakti. Bahkan kemilau setang sepedanya berhasil memikat seniman sekaliber Agus Suwage dan Joko Avianto untuk turut mengisi tanda elipsis dari tajuk pameran ini. Setidaknya untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, penatnya kegiatan berpamer mendapat selingan segar yang lahir bukan dari mata rantai karier untuk naik tangga dari galeri periferi ke galeri utama, atau dari motif transaksional yang ditujukan untuk mengisi kulkas para seniman dengan bahan makanan hingga dua bulan ke depan. Pameran ini lahir karena keintiman Goro dengan dengan setiap bagian sepeda – mungkin tidak terkecuali mur dan baut sekalipun. Intensi aktivisme pameran ini, setidaknya dari bincang senimannya, cukup kental.
Namun demikian, artikel ini cenderung ditujukan untuk mengiris satu kehadiran khas dari seorang Joko Avianto – yang pernah membuat sensasi hingga karyanya di pusat kota Jakarta mendapat stempel negatif dari banyak warganet. Lepas dari cap yang kental muatan politik tersebut, di pameran ini Joko justru hadir dengan sebuah guliran tajam yang dengan tangkas masuk ke tiga titik diskursif pada saat yang bersamaan. Dan sebagaimana garis “tanda-tangan” Joko, bambu-bambu akhirnya dicoba untuk disinggahkan beberapa minggu untuk menemani sejuknya kawasan utara Bandung ini. Setidaknya – dan seturut judul gelaran ini – kita bisa mulai dengan “saya bersepeda” – ego bicyclo – “maka saya” – ergo – “… mendatangkan tiga wajah bambu untuk sebuah disposisi ambigu” – tawar Joko.
Baca Juga: RUANG RENUNG #23: Menghidupkan Kembali Bayang Senja yang Menolak Surut
KOLOM RUANG RENUNG #22: KUTUB-KUTUB PSEUDO-ARTISTIK VERSUS SAINTIFIK RUANG RENUNG #22: Kutub-kutub Pseudo-artistik versus Saintifik
Bambu Kesayangan Schrödinger dan Undangan Aktivisme
Pemikir terkenal Austria – Erwin Schrodinger – dengan formasi studi fisikanya – pernah melontarkan lelucon yang kemudian dikenal dengan istilah “kucing Schrödinger”. Istilah ini sebenarnya hanya keisengan seorang fisikawan pendiri teori kuantum dari fisika modern. Singkatnya, dalam model yang diajukan oleh Schrodinger kita tidak akan mungkin mengetahui kondisi pasti sebuah partikel – dan ketika kita melihatnya, kita hanya melihat setengah peluang kejadiannya. Kembali ke kucing sang pemikir, di dalam sebuah kotak kuantum sang kucing bisa saja hidup dan mati pada saat yang bersamaan. Aksi kita sebagai pengamat membuat entah kucing tersebut hidup, entah mati terpapar gas beracun; tapi bukan keduanya.
Pemaparan terlalu singkat dan jelas belum mengurai kekayaan potensi dari fisika kuantum tersebut memang bisa menjerumuskan pendengar pada sekadar tawa atau rasa bosan. Namun implikasinya jauh lebih pekat daripada bergelak tawa atau tertidur pulas. Analogi sang kucing sebenarnya mengatakan bahwa yang melihat adalah yang menentukan bagaimana sebuah peristiwa itu terjadi.
Bila kita “sadur” lelucon Schrodinger tersebut dalam sebuah kasus pembunuhan, mungkin kita baru bisa sedikit tergelitik. Mati hidupnya seorang korban di tangan pembunuh justru ditentukan oleh detektif yang sedang mengusut kasus: pembunuh atau penyelamat yang sesungguhnya adalah sang penyidik. Joko, sang seniman penuh waktu dan pesepeda perempat waktu, datang ke pameran ini dengan bambu-bambu Schrodinger di tangan.
Joko hadir di sebuah pameran seni murni dengan membawa produk, yang memang tidak didesain untuk menjalankan fungsinya, dan produk gagal ini memang tidak dibuat untuk menjadi sebuah karya seni yang betul-betul murni. Sadel-sadel bambu yang dibuat oleh Joko memang bukan sebuah karya untuk dipajang di ruang tamu atau koridor kamar tidur. Namun desain Joko adalah desain setengah matang – karena ia hanya setengah mendesain.
Dalam bincang seniman Joko mengakui bahwa sadel yang ia buat adalah untuk ketidaknyamanan – dan ia sukses menegasi fungsi produk yang ia desain tersebut. Namun ketidakjelasan aspek semantik dari karya Joko membuat ruang pamer yang tadinya murni untuk perenungan menjadi seperempat etalase toko sepeda. Untungnya Joko tidak sendirian dalam mengambiguitaskan Orbital Dago kali ini. Ada Singgih Susilo Kartono yang ikut mementahkan aspek renung dengan rangka bambunya – meski Singgih masih menjaga komitmennya dalam menjaga fungsi.
Singkatnya, Joko Avianto datang dengan bentuk yang bukan karya murni, tapi juga setengah desain yang didasarkan atas rasa sakit, yang memang bukan untuk direnungkan sebagai sebuah rupa mendalam di permukaan. Dengan kata lain, Joko tidak membawa jok sepeda, ia hanya membawa bambu yang dengan kacamata Schrodingerian akan menjadi entah bilah entah jok entah pajangan ketika kita masuk ke ruang pamer. Joko membuat kita tidak nyaman untuk melihat, tidak nyaman untuk duduk, dan terlalu nyaman untuk memajang. Jok yang ia pajang adalah sebuah deklarasi liminal – situasi spasial yang tidak memberi petunjuk apapun – yang ia bahasakan dengan kosa kata Schrodinger.
Bila entah kucing entah bambu tadi kita tepikan sejenak, kita dengan mudah mendapati bahwa Joko bertandang membawa kritik – yang bila diurai, lebih tepat kita sebut undangan untuk bergerak. Terlalu sering hambatan kita untuk mengambil keputusan adalah konsep – dengan segala beban konseptualnya. Kita terlalu sering untuk ragu meretas tembok kata, dan memilih untuk mengunci diri di dalam kepenatan makna.
“Menggowes” bisa jatuh seperti lubang hitam flexing klub-klub foto waktu senggang: pameran bisa diprostitusi menjadi sekadar adu panjang angka nol dari setiap alat sepeda yang dipajang. Untungnya – atau mungkin ruginya – keputusan Joko untuk nakal dan ambigu pada titik temporal yang bersamaan malah menjernihkan gelaran mungil para pengayuh pedal “pretty” ini untuk masuk lebih tebal dalam agenda aktivisme mereka yang mungkin sayup dan samar.