• Kolom
  • RUANG RENUNG #23: Menghidupkan Kembali Bayang Senja yang Menolak Surut

RUANG RENUNG #23: Menghidupkan Kembali Bayang Senja yang Menolak Surut

Patung adalah cara berkesenian yang sangat tua dan yang paling awal merekam jejak peradaban manusia, jauh sebelum teks dan lagu mana pun.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran Jejak Langkah Kami Patung Ada di Galeri Soemardja ITB. Pameran ini dari tanggal 22 Juni-6 Juli 2023. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/Penulis)

3 Juli 2023


BandungBergerak.idDalam sebuah sapuan jemari terpapar sebuah konten edukasi yang ternyata cukup mengagetkan: bahwa di planet Merkurius kita punya cukup salju untuk bermain ski, karena dengan suhu minus 170 derajat molekul air dengan mengkristal dan menghampar – di wilayah bayang yang terbebas dari deraan 460 derajat Celsius papar panas matahari. Tentu saja, ini bukan sebuah halaman lusuh dan berkerut dari sebuah buku komik fiksi ilmiah usang: ini adalah hasil kerja manusia untuk terus menggali sesuatu yang mungkin terlihat basi dan pasti. Merkurius mungkin punya sesuatu yang masih mengagetkan kita, dan ternyata benar adanya.

Bayang Merkurius Para Pematung

Tata Surya kita memang punya para bintang, dan planet-planet yang tidak terlalu banyak dibicarakan. Ada Mars yang segera akan menjadi pusat peradaban manusia berikutnya, setidaknya satu atau dua abad ke depan. Ada Venus dan deretan satelit planet Jupiter dan Saturnus yang menjadi incaran para ilmuwan berikutnya. Namun ada juga Merkurius, yang hingga beberapa tahun lalu dianggap sudah tuntas – selesai – dan tidak akan menawarkan kebaruan apa pun. Menariknya, justru sekarang para pakar mulai melirik kembali Merkurius dengan sangat serius – bahkan keberadaan planet terdekat dengan matahari ini bisa menjadi kunci untuk pembangkit listrik tenaga surya paling pamungkas yang bisa manusia raih – Dyson Sphere.

Pameran Jejak Langkah Kami Patung Ada – yang berlangsung di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB) dari tanggal 22 Juni hingga 6 Juli 2023 ini punya kesamaan dengan perlakuan peradaban saintifik kita pada Merkurius. Patung adalah cara berkesenian yang sangat tua – dan yang paling awal merekam jejak peradaban manusia. Jauh sebelum teks apa pun bisa dituliskan, jauh sebelum lagu mana pun bisa sampai ke catatan historis kita, berbagai artefak skulptik sudah bersaksi tentang masa-masa awal manusia membangun fondasi peradabannya. Jauh sebelum lukisan bisa keluar dari gua menjadi sebuah testimoni dari keagungan seseorang atau sesuatu – patung sudah bersaksi megah menjulang melewati zaman. Namun seperti Merkurius, ragam berkarya ini akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang terlalu biasa.

Sebuah Acara Bayangan yang Terang-terangan

Pembukaan pameran ini terasa mengiris – karena seperti sang pemilik rumah bertindak seolah minta izin masuk ke rumahnya sendiri. IKN – ibukota negara Indonesia yang sepenuhnya bebas dari beban historis – tidak mungkin dilepaskan salah-satunya dari I Nyoman Nuarta, legenda pematung negeri ini. Dari buah pikiran dan tangannya upacara 17-an akan berlangsung di Istana Negara IKN tahun depan, sekaligus sebagai penghargaan atas bakti Presiden Joko Widodo. Di acara pembukaan pameran tersebut sang maestro juga hadir dan memberikan sambutan. Namun ironisnya – beberapa pidato yang dibawakan oleh panitia punya kesan berkebalikan – seolah ada masalah sangat serius dengan keberlangsungan jurusan yang mengelola pendidikan para calon pematung ini.

Bahkan saat kita masuk ke dalam – kita tidak akan kurang terkejut dengan apa yang kita lihat. Ada pematung senior yang karya patungnya begitu lumrah dilihat di berbagai tempat yang sering disambangi oleh penulis di kampus Universitas Katolik Parahyangan. Ada yang pernah menjadi aktivis dari Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Ada pula satu-satunya seniman perempuan yang karyanya begitu menggugah sehubungan dengan kesadaran sosial atas kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Singkatnya, meskipun karya-karya yang tersaji di sini mungkin bukan benar-benar baru, namun dampak estetik maupun artisitik yang mereka hasilkan tidak perlu diragukan lagi.

Baca Juga: RUANG RENUNG #20: Menginstagramkan Ruang Pamer untuk Pamer di Instagram
RUANG RENUNG #21: Vaksin Fotografis untuk Daya Tahan Visuo-Mental Pasca Pandemi
RUANG RENUNG #22: Kutub-kutub Pseudo-artistik versus Saintifik

Pematung senior Sunaryo mengunjungi pameran Jejak Langkah Kami Patung Ada di Galeri Soemardja ITB. Pameran ini dari tanggal 22 Juni-6 Juli 2023. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/Penulis)
Pematung senior Sunaryo mengunjungi pameran Jejak Langkah Kami Patung Ada di Galeri Soemardja ITB. Pameran ini dari tanggal 22 Juni-6 Juli 2023. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/Penulis)

Pengunjung yang Gagal untuk Percaya

Kendall L. Walton, pemikir senior di bidang estetika mengangkat sebuah konsep yang ia gadang sebagai “make-believe”. Menurutnya sebuah karya baru akan memiliki status estetis bila pengamat bisa dibuat percaya – dalam pengertian diyakinkan seyakin anak-anak kecil untuk tenggelam dalam petualangan menyelam ke dasar laut dengan kapal selam dari kardus di halaman belakang rumah mereka. Bagi Walton, tidak cukup sebuah lukisan bunga membuat lebah hinggap di atasnya karena mengira sedang menghinggapi bunga asli. Tidak cukup pula patung pualam dengan tekstur kulit lentur yang seolah bisa “dicubit” sebagai ukuran seberapa menyentak sebuah karya. Walton menarik garis keterlibatan kuat – sebuah undangan dan uluran tangan dari anak kecil yang satu ke yang lain – untuk segera menganggukkan kepala dan mengiyakan bermain.

Ajakan untuk terjun bermain ini yang hilang dari gelaran karya kali ini. Di sini pengunjung tidak bisa menemukan Walton – alih-alih yang menyambut mereka yang datang adalah Francis Fukuyama – dengan ide megalothymos-nya. Peristiwa menggelar karya kali ini adalah sebuah kartu nama tiga dimensi yang dibagikan secara agresif – yang membuat mereka yang menerima kartu-kartu nama ini terkejut. Seperti selebaran yang dibagikan di luar musim diskon, demikian pula kegagalan para tamu estetik untuk sampai pada kesibukan Waltonian. Justru sebaliknya, yang terjadi adalah sebuah papan pengumuman megalotimik yang bertujuan untuk menarik tangan dan menjejalkan brosur ke dalam saku.

Merkurius yang Duduk di Bangku Taman

Nama Merkurius adalah adaptasi dari Hermes – yang berperan di Olimpus salah satunya sebagai dewa penyampai pesan. Nama ini didaulatkan para astronom karena jarak tempuh orbit planet yang lebih kecil dari bulan terbesar koleksi planet Jupiter ini berevolusi sangat sibuk dan cepat terhadap matahari. Seni patung mungkin sesibuk Merkurius – dari zaman kelahirannya hingga keemasannya yang tidak mungkin usang. Mungkin karena kesibukan itulah kita merasa patung sebagai sesuatu yang sangat biasa – yang kita lihat di pinggir jalan raya hampir 52 minggu dalam setahun. Namun seperti Merkurius yang ternyata masih mengejutkan kita, seni patung tidak perlu terlalu kuatir untuk menarik urat membagikan kartu nama. Pameran ini mungkin lebih tepat kita andaikan seperti Merkurius yang kita ajak duduk di bangku taman, dan berbincang hangat dalam uluran secangkir kopi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//