RUANG RENUNG #18: “Door to the River”, Sisa Tenaga saat para Begawan Kadaluwarsa
Pameran foto “Door to the River” di Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi Bandung menjadi penutup rangkaian Bandung Photography Triennale tahun ini.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
24 Mei 2023
BandungBergerak.id – Mitologi mengajarkan kita setidaknya satu hal, mulai dari puisi-puisi Edda di tebing utara Skandinavia, ke bait-bait lakon Ramayana dan Mahabarata di bantaran Sungai Gangga, dan akhirnya ke lantunan sajak-sajak Homeros yang berkelana dan bertutur dari polis Athena hingga Elis di semenanjung Yunani: bahwa mereka yang angkuh dengan kekuatannya dan segala kedigdayaannya adalah titik-titik lemah peradaban. Door to the River, sebuah pameran nadir yang menjadi terpal penutup dari sebuah persembahan bernama Bandung Photography Triennale, adalah cuplikan kesaksian jujur dari ekstrak mitologis semacam itu. Dari pembukaannya di tanggal 13 Mei 2023 di “galeri perjuangan” Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi Bandung, orang biasa – yang selalu berada di tepian sejarah – adalah senjata terakhir fotografi dalam perang pamungkas melawan degradasi peran dan mekanisasi imaji.
Baca Juga: RUANG RENUNG #15: Land/Escape, Keping-Retak Musik Kamar untuk Simfoni Embrionik Ganjil
RUANG RENUNG #16: An Other Land, Jotosan Balik Sang Nir-waktu Nir-ruang
RUANG RENUNG #17: Mengais Sein zum Leben dari Puing Sein zum Tode
Luka yang Tidak Akan Pernah Sembuh
Kelahiran adalah sebuah paradoks: proses sakit yang berkepanjangan selama berbulan-bulan sontak berubah menjadi sebuah luka yang sangat menyengat, sebelum akhirnya menjadi sebuah kebahagiaan memuncak tanpa jeda yang tidak mengenal tanda titik. Namun sayangnya, dari saat fotografi lahir, luka sejarah tak henti-hentinya meneteskan darah. Peralihan dari karakter despotik seniman dengan seratus persen kendali di tangannya menjadi kolaborasi demokratis dengan mesin adalah proses yang tidak dan tidak akan pernah mudah. Tidak ada buku diskursus fotografi yang tidak membahas tragedi itu: saat fotografi ditolak untuk melenggang di karpet merah elitisme seni yang rutin mengisi dinding dan ruang dari kastil dan istana para aristokrat karena dicap “kurang manusiawi”.
Luka semendarah itu mungkin sudah tidak sekoyak dulu, sekitar satu setengah abad yang lalu, saat ego supremasi “intuisi dan kreativitas” sudah mulai luntur di era 1970-an di hadapan kenyataan bahwa satu-satunya cara untuk bisa menaklukkan mesin adalah dengan mengakrabinya dan lalu jatuh cinta padanya. Meski demikian, bak kekasih yang selalu curiga dengan pasangannya yang sudah pernah selingkuh, cinta yang mungkin bersemi masih saja muncul setengah hati. Bahkan istilah fotografer dan seniman foto masih terasa seperti dua dunia yang berbeda, meski kata “painter” dalam bahasa Inggris tidak membedakan mereka yang di studio lukis dengan tukang cat yang membantu saya merenovasi gudang belakang. Orang tidak pernah pusing dengan “painter” – tetapi “photographer” adalah soal lain. Luka ini mungkin tidak lagi menganga, tapi perkara sembuh itu urusan nanti.
Tidak Ada Kata Tidak
Burgin -Victor Burgin – seorang esais yang dengan tajam membedah narasi-narasi filosofis tentang fotografi dan dampak pervasi visualnya – dalam “Looking at Photographs” menyentil aristokrasi karya seni “pra-fotografi” sebagai sesuatu yang masih bisa ditolak; dan sebaliknya, secara eksplisit menukas bahwa sebuah foto adalah “an offer you can’t refuse”. Sederhananya, butuh waktu dan mungkin upaya klarifikasi yang serius untuk mementahkan foto saya yang sedang mengenakan kostum badut dan menari di ruang kelas, yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI) Midjourney, dibandingkan dengan lukisan bergaya realis yang menganvas saya sedang memegang trofi Piala Dunia di Qatar tahun lalu yang dibuat oleh AI Dall.E-2. Mata manusia tidak akan mampu menolak apapun yang dikemas oleh sang phos – foton cahaya: koneksi neural di otak kita terlalu naif untuk menyangkal kebohongan fotonik semacam itu.
Lebih lanjut bahkan Burgin mengangkat bahwa kamera tidak sekadar memotret, tetapi mereproduksi ideologi lewat sebuah instrumen yang ia kemas dengan istilah “‘the frame of mind’ of ‘our points of view’”. Bingkai mata yang ada di kamera dalam kamus Burginian adalah sebuah tongkat sihir yang seketika menubuhkan konstruksi ideologis yang ada di kepala kita. Ideologi bukan barang sederhana dan ala kadarnya; John B. Thompson dan Jack M. Balkin adalah dua pengkaji ideologi yang dengan tegas menggagas bahwa tanpa ideologi, manusia mungkin tidak mungkin melewati 24 jam dalam hidupnya. Ideologi adalah “software” tak terbantahkan dari “hardware” material dunia hidup kita. Fotografi membadankan abstraksi ideologis ke dalam raga visualnya. Seperti mesin cetak tiga dimensi, setiap kali pencetak ini bekerja, maka segala gaya berpikir kita – entah yang kita sakralkan sebagai privasi atau kita lacurkan sebagai modus operandi sosial – menghambur menjelma begitu saja. Kamera membuat saya tidak bisa mengatakan tidak, baik sebagai produsen imaji maupun sebagai konsumen.
Ragnarok dan Bellum Omnium contra Omnes
Untuk tutupan lembaran terpal terakhir sebelum berhibernasi dan membuka terpal berikutnya di Bandung Photography Triennale kedua di tahun 2025, Icus – Henrycus Napitsunargo – kurator pameran ini harus melantunkan bait-bait dalam puisi Edda – yang bercerita tentang Valhalla, Odin, Thor, Loki, dan akhirnya Ragnarok. Perseteruan para dewa dari mitos Nordik ini berakhir dengan kadaluwarsanya kekuatan dan kekuasaan para jawara khayangan ini, dan mereka akhirnya tanpa sengaja melepas kekuatan armagedonik – kehancuran tiada akhir yang akan melumat segalanya. Odin, yang putus asa di tahtanya, akhirnya menempuh langkah yang oleh pemikir Thomas Hobbes didiktum sebagai bellum omnium contra omnes: perang semua lawan semua – sebuah bencana Ragnarok. Odin membangkitkan semua orang biasa yang tersisa yang belum menjelma menjadi tentara kehancuran menjadi tentara dewata, dan akhirnya menyelamatkan pohon keramat Yggdrasil, sebuah ranah kosmik yang menaungi kehidupan semua manusia.
Dengan dua dewa Valhalla di kiri dan kanannya, pakar proses Mick Siregar dan Deni Rahadian, kurator pameran titik akhir nadir ini justru memulai dengan panggilan terbuka – dan dijawab 15 orang yang tidak tahu apa-apa tentang berkesenian di era fotografi analog. Bahkan lebih ekstrem lagi, mereka yang terjun dan menyelam dalam Ragnarok melawan banalitas kerecehan imaji foto di media sosial dan naiknya dominasi kecerdasan buatan seperti Midjourney harus membuat kamera lubang jarum (pinhole) mereka sendiri – dengan segala kegagalan dan ketakutan di dalam kota hitam seukuran genggaman tangan tanpa bingkai bidik. Mereka bahkan mesti masuk ke kamar gelap – sesuatu yang asing bagi mereka yang hanya punya kosa kata lightroom di dalam kepala. Dengan pedihnya bak cuci dan literan bahan kimia menggantikan manisnya tuts dan tombol operasional Photoshop, mereka tidak punya pilihan. Karya mereka adalah leburan dari antusiasme, ketakutan, kegelisahan, keputusasaan, dan apapun yang menghantui fotografer di era pra-digital.
Foton, Foto, Imaji, dan Hati
Hasil dari proses bimbingan selama satu bulan ini adalah bencana komposisi. Selama hampir dua ratus tahun sejarah fotografi, hasil yang diinginkan pada perkembangan mutakhirnya adalah foto yang akurat, detil, tajam, memukau. Para tentara Ragnarok visual ini kembali dari kamar gelap dengan deretan karya mayoritas dengan struktur rel film 35 mm sebagai bingkai karya dan imaji-imaji untuk diterka – yang lahir dari ketidaksengajaan dan ketidakberuntungan. Singkatnya, mereka mementahkan semua pencapaian teknologi fotografi bahkan hingga ke titik pra-Nicéphorean. Objek yang harus mereka kejar pun tragedi: bagaimana Sungai Citarum dan Cikapundung diperkosa oleh ketamakan laba dan kerakusan akan kemajuan yang tidak pernah memberi dan hanya mengambil. Singkatnya yang mereka bingkai dalam sebuah proses yang sangat asing bagi mereka adalah sebuah disposisi ideologis yang jauh – bahkan terlampau jauh – dari kata nyaman.
Namun demikian, pameran ini adalah juga tuai panen melimpah– karena untuk pertama kalinya kita bertemu kembali dengan foton – sang cahaya – yang jujur yang tidak bisa dan tidak pernah akan bisa kita tolak, yang selama ini dibekap sekap dalam komposisi. Biasanya yang kita lihat adalah foto. Lebih parah lagi, seperti yang dikhawatirkan Foncuberta, yang sampai ke tangan kita bahkan hanya imaji-imaji paksa yang diculik oleh bidik kedip layar-layar media sosial. Sekarang, mereka hadir sebagai foton – yang hanya mungkin terjadi bila jemari tangan berdialog dengan hati. Eksistensi fotonik ini sebenarnya sudah selalu ada, namun kerakusan kita akan manisnya komposisi diabetik visual membuat mereka terlupakan. Fotografi megah dan cantik tak ubahnya seperti mengusir tuan rumah dan kemudian datang bertamu: yang kita jumpai hanya bangunan kosong miskin makna.
Para begawan foto dangkal, mahal nan cantik Indonesia, misalnya – kerap terlalu fokus pada karya sehingga mereka tidak pernah sampai pada mahakarya. Mereka memosisikan diri seperti orang-orang kaya Eropa dan Amerika di awal abad ke-20 yang dengan harta melimpahnya pergi ke Afrika hanya untuk menembaki hewan-hewan di alam bebas dan kemudian menggantung kepalanya di dinding rumah sebagai bahan flexing – pamer – dan berhenti sampai di sana. Mereka inilah ancaman bagi keberlanjutan fotografi – mereka sudah selayaknya dikubur oleh algojo kecerdasan buatan setingkat Midjourney atau bahkan lebih. Biarkan mereka punah oleh sejarah, karena tugas mereka sudah selesai, dan foton pun sudah melupakan mereka. Biarkan dialog abadi kita – manusia – dengan foton menjadi pencarian abadi dan hakikat tak berkesudahan dari apa yang hampir dua abad lalu kita sebut fotografi.