• Kolom
  • RUANG RENUNG #15: Land/Escape, Keping-Retak Musik Kamar untuk Simfoni Embrionik Ganjil

RUANG RENUNG #15: Land/Escape, Keping-Retak Musik Kamar untuk Simfoni Embrionik Ganjil

Pameran foto Bandung Photography Triennale 2022 bertajuk Land/Escape menyajikan visual yang sangat bingar, memelintir landscape menjadi permainan visual yang jeli.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran foto Bandung Photography Triennale 2022 bertajuk Land/Escape yang berlangsung Maret 2023 di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. (Foto: Dokumentasi Panitia Bandung Photography Triennale)

6 Mei 2023


BandungBergerak.id – Sebuah simfoni dengan puluhan pemain musik bisa menghasilkan teriakan; sebuah komposisi musik kamar dengan pemusik yang hanya hitungan jari bisa menghasilkan gema. Persis seperti inilah yang berlangsung di babak pertama rangkaian musik kamar dari simfoni raksasa Bandung Photography Triennale 2022, yang berlangsung dari tanggal 11 hingga 21 Maret 2023 yang lalu. Bila dua komposer tematik di gelaran besarnya ditulangpunggungi oleh Asmujo J. Irianto dan Henrycus Napitsunargo, di komposisi Kammermusik kali ini di Gedung Pusat Kebudayaan Bandung, Henrycus – dengan tandem in-house curator Isa Perkasa – bermain solo untuk kembali menyajikan interval riak-riak imaji ala Fontcuberta.

Baca Juga: RUANG RENUNG #14: Bersaing Meng-aku di Tengah Impitan Pasar Cinta
RUANG RENUNG #13: Dilema Sang Penipu, Merengut Verasitas dari Keruhnya Realitas
RUANG RENUNG #12: Tangga Nada Temporal Balok-balok Not Kehidupan

Foto yang Lebur dan Cair Jadi Imaji

Bila kita mencoba mencermati kelatahan intelektual ala Walter Benjamin, mungkin kita bisa menarik garis “cocoklogi” yang bisa memuaskan kehausan kita akan rima peradaban dari “art in the age of organic revolution”, lanjut ke “art in the age of mechanical revolution”, berikut ke “art in the age of digital revolution”, dan tutup buku di “art in the age of machine intelligence”. Dalam revolusi organik, manusia berperan sebagai mekanisme biologis yang bisa mengatasi keterbatasan dari “sekadar hidup”. Kepunahan yang dialami oleh dinosaurus terjadi karena reptil belasan ton tersebut hanya sekadar hidup. Evolusi selalu mencoret apapun dan siapa pun yang ala kadarnya.

Revolusi berikutnya dialamatkan khusus oleh Benjamin untuk fotografi dan segala dampak yang muncul karena ketakutan dan kepanikan akan supremasi mesin jilid satu. Bila sejarah bumi yang 4,5 miliar tahun kita padatkan dalam sehari, maka sudah sekitar beberapa jam manusia merayap menyerak di permukaan planet ini, namun baru kisaran menit mesin-mesin industri menyentak peradaban manusia: kita jelas tidak siap. Benjamin mewakili kekalutan eksistensial Homo sapiens (sapiens) dengan mengatakan bahwa mesin boleh hadir, namun aura sudah terusir ke pinggir – kita sekarang menghidupi jaman pasca-auratik, tukas Benjamin.

Supremasi mesin ternyata kembali menjelma menampakkan wujudnya yang kedua: mesin-mesin digital. Sekali lagi, fotografi mengalami serangan bertubi-tubi. Bila persoalan melukis praktis tidak mengalami persoalan serius sejak manusia mulai menghiasi dinding-dinding gua paleolitik di Lascaux, Perancis, sekitar 19 ribu tahun yang lalu, maka dalam hitungan kurang dari seabad piksel kimia fotosensitif di atas kertas berlapis resin diganti dengan piksel-piksel yang tersimpan dalam bahasa biner dan ditulis dengan tinta magnetik. Memotret menjadi sesuatu yang asing – sebuah situasi deteritorial dan defamilar. Kefanaan – efemeralitas – fotografi dengan cepat mengubah optimisme ilusi optik yang sifatnya utopik menjadi pesimisme delusi distopik. Orang disentak dengan kenyataan bahwa now here adalah sebuah wilayah no where – saat jejak waktu dengan mudah ditata dan bukan digurat. Bila melukis tidak pernah terasa asing, maka konsep memotret selalu mengasingkan dirinya dari kamus konseptual kita.

Belum genap lima dasawarsa dunia digital, kejutan yang bahkan baru dalam hitungan jari tahun datang, dan persis seperti amukan preman pasar, mengacak-acak segalanya. Kecerdasan buatan (AI), sekarang bukan lagi konsumsi komik dan film “fiksi ilmiah”. Dengan lincah AI memangkas karyawan di berbagai posisi – sebuah era yang sangat disruptif masuk dengan tiba-tiba seperti komplotan perampok berbekal senapan otomatis dan roket pelontar granat. Inilah wajah Protean – seturut dewa Proteus yang terus mengubah wujudnya – dari mesin yang sekarang hadir di mana saja. Seniman Turki Refik Anadol mencetuskan istilah “art in the era of machine intelligence” ini dengan mengangkat aspek manusiawi – antropomorfik – dari gedung dan bangunan; mereka juga punya memori tunggal dan kolektif selayaknya manusia. Mesin mengukuhkan antropomorfisasinya yang tidak terelakkan.

Suasana pameran foto Bandung Photography Triennale 2022 bertajuk Land/Escape yang berlangsung Maret 2023 di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. (Foto: Dokumentasi Panitia Bandung Photography Triennale)
Suasana pameran foto Bandung Photography Triennale 2022 bertajuk Land/Escape yang berlangsung Maret 2023 di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. (Foto: Dokumentasi Panitia Bandung Photography Triennale)

Misi Basi Dekonstruktif yang Segar

Dekonstruksi adalah sebuah istilah kenakalan filosofis yang dilemparkan oleh Derrida – Jacques Derrida – untuk memecahkan kaca tetangga dan mencorat-coret tembok filsafat yang rutin dan tertib. Namun sebagaimana semua bentuk kebandelan – Derrida segera menegasi kebaruannya sendiri. Menghancurkan forma untuk mendapatkan ulang forma yang baru pada dasarnya adalah sebuah tindakan otokritik dalam filsafat yang sudah basi, dan yang dilakukan Derrida adalah menyegarkan kembali yang sudah basi semacam ini. Henrycus mencoba mencari “gara-gara” dan mengambil kerikil besar untuk melempari jendela keteraturan fotografi manis ala maestro sekelas Darwis Triadi, Kayus Mulia, dan sederet fotografer senior lainnya yang hidup dari komposisi-komposisi cantik yang bisa membuat mata manusia jadi diabetik secara visual karena kelebihan gula-gula komposisi. Henrycus sekarang benar-benar “bandel”.

Ia bahkan “mencorat-coret” prasasti pertama yang paling sakral dalam fotografi: lanskap (landscape). Kenakalan kurator ini dimulai dengan tindakan sakrilegi terhadap benda yang pertama kali ditangkap kamera: lanskap. Nicéphore Niépce mengawali halaman pertama teknologi fotosensitif dengan lanskap, dan wilayah ini yang pertama menjadi korban si anak nakal. Di tangan Henrycus, landscape dipelintir menjadi land/escape. Permainan visual jeli ini memang sangat bingar: bahkan hiruk pikuk jalan Braga yang rutin sukses membunuh berbagai pameran visual di sana gagal menghabisi kurator yang satu ini. Lanskap sekarang menjadi bebas: dari serbet yang menjadi titik tengah pengganggu komposisi andalan foto-foto kalender hingga aliran elektron yang menghadirkan konsep baru “lanskap listrik” – kulminasi kita dari hiper-adiksi akan semua yang berbau elektronik.

Mengapa ia melakukan semua ini? Seperti sabda profetik Fontcuberta akan leburnya foto menjadi imaji, Henrycus mencoba semua kemungkinan untuk bermain dengan imaji – dan bukan lagi dengan foto. Ia dengan dua tangan terkatup sekarang melantunkan doa-doa fotografis sembari menggenggam bulir-bulir imaji fotografis untuk meminta Muse – sang dewi inspirasi – untuk hadir dan memberinya peta gaib yang bisa menuntunnya ke Bandung Photography Triennale yang kedua, di tahun 2025. Seperti ilmuwan “sableng” yang hampir meledakkan laboratoriumnya sendiri, permainan solo sang kurator di babak kedua ini adalah sebuah langkah awal – yang mencampurkan larutan antusiasme, bubuk kegilaan, dan api intelektualitas demi lahirnya sebuah embrio fotografi yang relevan dengan abad baru kecerdasan kognitif non-manusiawi. 

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//