• Kolom
  • RUANG RENUNG #14: Bersaing Meng-aku di Tengah Impitan Pasar Cinta

RUANG RENUNG #14: Bersaing Meng-aku di Tengah Impitan Pasar Cinta

Setelah pandemi, berbagai gelaran seni di Bandung menjadi sebuah untaian lapak kaki lima, sekadar perpanjangan trotoar jalanan Braga.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran Katakan Seni Rupa dengan Cinta di Galeri Pusat Kebudayaan, Kota Bandung, Februari 2023. (Foto: Harris Riyadi)

25 April 2023


BandungBergerak.id - Cinta memang problematik. Jarak yang memisahkannya dengan benci yang sering bertindak di luar kendali saat kita sedang merasa kesal, hanya seujung kuku jari.

Entah rasa sayang atau mungkin rasa benci yang mendasari gelaran cinta tanpa warna merah muda di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, dari tanggal 17 hingga 25 Februari 2023 lalu. Dalam pameran “Katakan Seni Rupa dengan Cinta #2” yang dikuratori oleh Isa Perkasa dan dibuka oleh kurator Galeri Nasional Rizki A. Jaelani itu, puluhan karya bercampur aduk dalam sebuah gelaran rupa yang bercampur aduk dengan suasana agora – pasar – yang tidak pernah sepi.

Kegaduhan Libidinal, Cinta, dan Kebaruan

“Bercinta” memang tidak pernah senyap, karena gaduh adalah tanda sayang. Demikian pula dengan sekitar enam puluh karya yang mencoba untuk meloncat ke mata kita saat kita hadir di sana. Ini jelas bukan praktik komodifikasi rasa kangen, apalagi rasa suka, karena status modifikasi bersama komersialnya tidak menonjol. Yang tampil adalah mereka yang menjawab panggilan terbuka – open call – dan mau bergerak cepat menjawab lirikan nakal estetis yang menghantui gelegak gairah berkesenian yang muncul di bulan kedua tahun 2023 ini. Respons yang masuk pun beragam – dan kata-kata cinta akhirnya diuntai dengan spektrum yang lengkap dari berbagai titik keresahan libidinal yang beragam.

Temu “libido” semacam ini akhirnya menjadi semacam hiruk-pikuk musim kawin dari yang begitu meriah – seperti saat wildebeest dengan lincah dan sigap bertukar kode genetik untuk menjamin keberadaan mereka dari risiko kepunahan akibat tegasnya seleksi alam. Dalam waktu yang singkat ini, kepuasan estetik kembali diangkat sebagai elemen normatif – sebuah jeda untuk menarik napas dari kerasnya persaingan komersialisasi karya. Praktis karya-karya masuk ke sini terlebih dahulu mengisi kotak hasrat sebelum akhirnya masuk ke berbagai celengan visuo-estetis lainnya.

Istilah “cinta Platonik” mungkin mudah dilontarkan sebagai bahan diskusi obrolan santai di malam hari, namun mungkin sulit kita pahami apalagi hayati keluasan dimensinya. Memahami apa yang dikatakan Plato tentang cinta, mungkin, sesulit memahami perbedaan diabetes mellitus dan diabetes insipidus; keduanya sama-sama diabetes, meski yang kita maksud dengan diabetes – atau sakit gula dalam istilah keseharian kita – adalah yang pertama.

Plato, menurut Alan Soble, bicara tentang dua tipe cinta: tipe-e dan tipe-a. Tipe-a adalah cinta yang tidak menuntut, dan tipe-e adalah tipe yang sifatnya transaksional. Keduanya, bagi Soble, adalah keniscayaan – sesuatu yang harus ada di dalam diri manusia. Baik tipe-a maupun tipe-e berjalan seperti kaki kiri dan kanan, dan ketiadaan salah satunya membuat langkah kita pincang. Sama seperti kesalahapahaman kita akan diabetes yang sebenarnya bicara tentang gangguan ginjal, kesalahpahaman kita tentang cinta Platonik membuat kita lupa bahwa cinta antarmanusia juga punya sisi transaksional.

Namun demikian, adalah sebuah kekeliruan untuk memahami konsep cinta yang digagas oleh Plato sebagai degradasi atas “kemurnian cinta”. Plato tidak mengobral cinta. Justru dalam karya terkenalnya Symposium, Plato mendudukkan kembali persoalan cinta.

Bagi Plato, cinta punya dua unsur, yakni harapan dan tindakan. Cinta tipe-a adalah cinta harapan, dan tipe cinta-e adalah tindakan. Kita tidak mungkin mencinta bila kita tidak pernah punya mimpi dan angan tentang apa yang kita cintai dan cintakan. Sebaliknya, mencintai adalah hampa tanpa tindakan yang mau tidak mau bersifat transaksional. Kenaifan kita kadang membuat kita “sok altruis” dengan cinta yang tanpa balas – unconditional love – namun kita mesti jujur, pada titik tertentu sang ayah atau sang ibu misalnya mematok standar balas jasa yang tidak murah dari sang anak. Cinta dua manusia yang tak berbalas adalah kenaifan infantil khas cerita masa kecil.

Baca Juga: RUANG RENUNG #13: Dilema Sang Penipu, Merengut Verasitas dari Keruhnya Realitas
RUANG RENUNG #12: Tangga Nada Temporal Balok-balok Not Kehidupan
RUANG RENUNG #11: Peluang Bagi-bagi Cipta ala Tukang Bakso dalam Berbagi Berkarya

Cinta Gagal dari Pasar Libidinal

Persoalan yang paling mendasar dari beberapa pameran yang kembali menggeliat setelah pandemi usai seolah menyeruak di pameran kali ini, dan beberapa pameran setelahnya. Dua sisi cinta yang diungkap Plato gagal hadir di tempat ini, dan di tempat-tempat sebelumnya. Berbagai gelaran seni di Bandung kemudian menjadi sebuah untaian lapak kaki lima, sekadar perpanjangan trotoar jalanan Braga. Tema yang diusung sang kurator menjadi sebuah lagu tematik dari sebuah sinetron ala kadarnya: apapun lagunya filmnya sama. Serialnya itu-itu saja.

Pameran kali ini masalahnya tidak menyentuh sisi cinta-a dan cinta-e. Dari sisi cinta tipe-a, pameran sekitar sepekan ini adalah sebuah kegagalan wacana. Dari sisi tipe-e, transaksi yang ada di sini mungkin jauh panggang dari api. Singkatnya, tema cinta yang diusung kemudian berubah menjadi nafsu, dan gairah libidinal tinggal sebagai hasrat sekilas yang tidak pernah menjelma menjadi perjuangan cinta ala Plato.

Dalam sebuah obrolan singkat dengan penulis, Rizki Jaelani mengatakan bahwa persoalan utama dari geliat memajang karya adalah persoalan mengaku dan “meng-aku”. Kedua istilah ini bukan sekadar permainan kata, tetapi sebuah perenungan mendalam. Cinta sejati baru tumbuh saat kita berani mendeklarasikannya dengan pengakuan yang diwujudkan dalam harapan dan tindakan. Bila kita begitu bergairah tapi belum berani mengakuinya, kita baru sampai pada tahapan meng-aku.

Menjual karya butuh cinta, bila kita tidak ingin jatuh menjadi gairah. Dalam mencinta, gairah adalah bara pertama yang kemudian harus digodok menjadi harapan dan tindakan cinta. Namun demikian, melihat antusiasme peserta pameran, bukan tidak mungkin bara yang muncul di bulan Februari yang lalu ini akan menjelma di geliat-geliat pasca-pandemi lainnya menjadi kesejatian cinta yang dicita-citakan Plato. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//