• Kolom
  • RUANG RENUNG #13: Dilema Sang Penipu, Merengut Verasitas dari Keruhnya Realitas

RUANG RENUNG #13: Dilema Sang Penipu, Merengut Verasitas dari Keruhnya Realitas

Seniman dan sekaligus aktivis, Ng Swan Ti dan Mohammad Fadli, membahas membahas persoalan mendasar dari foto jurnalisme beserta tantangan paling mutakhirnya.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Bandung Photography Triennale tahun ini menggelar Public Lecture on Photography di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung pada 13 Maret 2023 lalu dengan menghadirkan seniman dan sekaligus aktivis, Ng Swan Ti dan Mohammad Fadli. Acara dipandu Sari Asih, seorang seniman yang juga aktif menggeluti dunia fotografi. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

20 Maret 2023


BandungBergerak.id – Rangkaian acara Bandung Photography Triennale yang digongkan tahun lalu sekarang memasuki babak lanjut, dan kali ini sebuah studium generale – kuliah umum – digulirkan di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 13 Maret yang lalu. Hadir untuk memberikan materi pada kesempatan ini adalah seniman dan sekaligus aktivis, Ng Swan Ti dan Mohammad Fadli. Acara yang berlangsung di sore hari santai namun serius ini dimoderatori oleh Sari Asih, seorang seniman yang juga aktif menggeluti dunia fotografi.

Kuliah dibuka dengan menyajikan persoalan mendasar dari foto jurnalisme beserta tantangan paling mutakhirnya. Sebagai studi kasus dalam pemaparan kali ini, Swan Ti dan Fadli mengangkat karya-karya dari Rony Zakaria, Rosa Panggabean, dan Mohammad Fadli.

Baca Juga: RUANG RENUNG #12: Tangga Nada Temporal Balok-balok Not Kehidupan
RUANG RENUNG #11: Peluang Bagi-bagi Cipta ala Tukang Bakso dalam Berbagi Berkarya
RUANG RENUNG #10: Meniti Parade Agora Tahun Baru Hening
RUANG RENUNG #9: Godaan Tertib dalam Rangkulan Kenakalan Hasrat

Tiga Titik Hitam Tragedi di Nusantara

Ketiga karya jurnalistik ini terikat dalam satu ulas dan ulasan tentang sejarah kelam Indonesia, meski mereka hadir dengan warna dan risiko yang berbeda. Rony menggarap projek Pantura, yang merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan kembali jejak kelam eksploitasi pembangunan Jalan Raya Pos – De Groote Postweg – pada masa Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Pembangunan jalan dari Anyer hingga Panarukan selama kurang lebih tiga tahun itu (1808-1811) adalah sebuah tragedi bagi yang dijajah dan solusi taktis-strategis bagi yang menjajah. Beberapa penulis, seperti Joko Darmawan (Sejarah Nasional ketika Nusantara Berbicara, 2017) menyitir tentang tindak koruptif para pejabat yang tidak membayar upah para pekerja – dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak buruh yang kerap luput dari ingatan sejarah.

Rosa mengangkat tentang luka historis yang masih lekat dengan kita dan begitu ambigu sekaligus destruktif bagi perkembangan keberbangsaan Indonesia: sejarah 1965 – sebuah tahun yang begitu berdarah, dan fatalnya, simpang-siur. Tahun yang mungkin tidak akan pernah bisa tuntas dikaji hingga kini, karena banyak kepentingan berkonflik dan saling bersinggungan; tragisnya, himpitan yang dialami keluarga korban pun semakin pengap dan sesak. Mengungkap peristiwa yang sangat problematis ini mungkin akan menjadi agenda sentenial bangsa ini; dan mungkin pula baru di peringatan seratus tahun Indonesia merdeka di tahun 2045 nanti kita akan menemukan titik terang dari tragedi paling berdarah, yang menurut berbagai klaim literatur politik mengorbankan setidaknya setengah juta orang.

Fadli mengangkat tentang pulau Neira di gugusan kepulauan Banda dan persoalan perenialnya: dominasi dan monopoli bahan rempah yang begitu menggugah dan menggairahkan – begitu seduktifnya hingga sebuah peristiwa sekaliber genosida pun singgah di kepulauan ini. Banda-Neira sudah menjadi salah satu mausoleum hitam dari cakar-cakar kolonialisme di era “Gold, Glory, dan Gospel”: seduksi aroma pala ternyata cukup memabukkan hingga persoalan moral ditepikan dan didesak keluar dari ranah hati nurani. Orang-orang Banda-Neira pun akhirnya menjadi saksi hidup dari realitas pengungsi ala Suriah di abad 21 ini. Mereka menjadi diaspora dipaksakan yang terusir karena perebutan dominasi rempah di tanah kelahiran mereka.

Antara Penipu dan yang Ditipu

Jurnalisme sudah selalu bermasalah karena kamera, sejak dari kelahirannya, adalah penipu ulung. Menariknya, tipuan yang diberikan kamera menjadi sangat paradoksal: kamera adalah penipu yang sudah selalu terang-terangan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran fotografis menjadi sebuah persoalan yang tidak pernah sederhana, karena kebohongannya diamini sebagai sebuah kebenaran sejati. Joan Fontcuberta, seorang pemikir estetika yang banyak mengkaji masa depan fotografi, menyamakan gugahan sebuah foto dengan rasa sayang dusta yang sebenarnya tidak pernah sedikit pun tulus. Sebuah imaji fotografis pada hakikatnya adalah kebohongan sejati, dan oleh karena itu, kebenaran fotografis hanya bisa diraih dengan cara meremukkan realitas semu yang ditawarkan oleh kamera. Hantam sebuah foto dengan kebohongannya sendiri, dan biarkan kebenaran memancarkan wajahnya perlahan demi perlahan – sebuah kematian semu yang tidak akan pernah berakhir demi kehidupan yang sejati, eternal now, kata Nietszche.

Itu mengapa akhirnya posisi ketiga fotografer yang menjadi studi kasus di dalam kuliah umum kali ini menjadi sangat berisiko. Menurut pendapat penulis, Rony masuk dalam jebakan rayuan manis kamera sang penipu, Rosa berhasil keluar dan meremukkannya berkeping-keping, sementara Fadli berhasil berakhir seri dengan lawan tarungnya. Ketiga posisi ini juga seolah memberi antisipasi tentang tiga kemungkinan bersikap seorang jurnalis foto: tunduk pada birahi seduktif kebenaran semu, meremukkan kebohongan dan tampil sebagai pemenang serta merengkuh realitas yang sublim dan nyata, atau bersikap netral dan membiarkan bola pandora bergerak sesukanya sendiri – sebuah posisi seri tanpa pemenang dan tanpa pecundang.

Rony, Rosa, dan Fadli

Persoalan Rony dengan pendekatan straight photography yang dipilihnya adalah pada ketidakmampuannya untuk mengalahkan gairahnya sendiri saat berhadapan dengan seduksi alur temporal yang sudah mengeras di daerah Pantura. Seorang pelaku straight dan sekaligus street photography, Erik Prasetya, di rumah lamanya di daerah Duren Sawit pernah berbincang dengan penulis di akhir dekade 1990-an tentang betapa mudahnya mengeksploitasi tangis dan air mata. Kemiskinan, keterpurukan, dan penderitaan itu memotret dirinya sendiri, demikian rangkum-padat dari obrolan panjangnya. Dalam sebuah diskusi publik yang ikut menyandingkan jurnalis foto kantor berita Antara Oscar Motulloh, Erik mengatakan bahwa salah satu kekuatan jurnalis Indonesia adalah pengalaman langsung mereka yang “pernah miskin”. Ini berarti pendekatan straight photography tidak memberi ruang bagi tukang intip – voyeur – yang sekadar merengut paksa atau mencuri sebuah momen demi sebuah kesenang-senangan estetik.

Rosa, di sisi lain, berhasil keluar dari jebakan tangis dan air mata palsu dan sampai pada kesejatian momen-momen transformatif yang begitu kokoh dan kuat – sebuah hasil upaya menyintas yang telah menemukan kedamaian hakikinya. Peristiwa yang terjadi pada 1965 bagi mereka yang menjadi korban adalah sebuah kejahatan kemanusiaan – saat warga negara tidak lagi diperlakukan sebagaimana warga negara harus diperlakukan. Namun dalam pergulatan yang demikian perih, mereka – yang menyintas peristiwa kelam tersebut – berhasil menemukan nada-nada ketenangan dan kedamaian dalam dirinya, sebuah alunan simfoni kemanusiaan yang agung dan universal. Rosa berhasil meraih titik monumental tersebut, dan kebohongan fotografis pun luruh runtuh – hanya kebenarannya yang tersisa.

Fadli, menariknya, membawa kita dalam sebuah dialog. Bagai lawan di sebuah ring tinju yang tidak pernah kita kanvaskan, Fadli seolah mengurai kepalsuan fotografis dalam bentuk potongan balok-balok lego dan menyerahkannya pada kita. Pengamat akhirnya menjadi penentu rekonstruksi imaji yang ditawarkan ulang oleh sang jurnalis. Fadli mencoba untuk berdialog dengan tawaran imaji semu yang diulurkan oleh sebuah foto, dan mengupasnya dalam sebuah proses dialog yang tidak pernah dirancang untuk menyentuh titik akhir. Bila sebuah proses dialogis biasanya berakhir dengan ucapan terima kasih dan salam penutup, maka Fadli menyudahi dialog ini tanpa baris pengakhir apapun. Percakapan ini pun menjadi sebuah diskusi terbuka tanpa akhir.

Kamera memang teman kita, dan bahkan jurnalisme memperlakukannya seperti pacar, simpanan, atau bahkan selingkuhan. Singkatnya, sebuah foto jurnalistik intim dan lekat seperti lem yang mampu mengikat kayu dan bahkan logam. Namun seperti musuh dalam selimut, atau kecupan yang diberikan oleh Yudas Iskariot dalam analogi ala Fontcuberta, sebuah foto adalah musuh terbaik kita bila yang kita harapkan adalah kebenaran sejati, verasitas. Fotografi berbohong dan menipu kita mulai dari milidetik pertama proses foto itu dimulai. Realitas fotografi adalah matra keruh, yang bisa menguasai kita, atau kita kuasai, atau kita gumuli tanpa henti. Pilihan yang kita ambil sepenuhnya menjadi risiko dan tanggung jawab kita.

               

Editor: Redaksi

COMMENTS

//