RUANG RENUNG #10: Meniti Parade Agora Tahun Baru Hening
Pameran Prelude di Galeri Pusat Kebudayaan (GKP), Bandung. Kurator dan perupa seolah ada tawar menawar yang umum kita temui di pasar tradisional.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
1 Februari 2023
BandungBergerak.id - Pameran Prelude yang berlangsung di Galeri Pusat Kebudayaan (GKP), Bandung, memang singkat, tapi padat dan ramai. Menariknya, pameran ini tidak hanya seperti dewa Romawi Janus – yang melihat ke belakang dan ke depan – seperti yang dikatakan oleh perupa Yogie A. Ginanjar, sang kurator, tetapi juga sebuah agora.
Di zaman Yunani Klasik agora adalah tempat setiap orang mengungkapkan isi pikirannya secara terbuka, dan setiap orang bisa mendebat dengan liar dan bahkan brutal. Di agora di Athena pula sang Sokrates, “serangga pengusik kenyamanan” menyalak menukas kaum sofis dan kemudian mementahkan semua barang dagangan argumentatif mereka.
Imaji-Imaji di tengah Bisingnya Agora
Di pameran yang berlangsung selama 10 hari dari tanggal 21 Januari hingga 31 Januari 2023 – dan diperpanjang hingga 3 Februari – itu, suasananya seperti pasar, semua tumpah ruah begitu saja, dan mereka hadir atas inisiatif diri mereka sendiri untuk sebuah inisiasi. Seperti berbagai venue yang dekat dengan keramaian dan hingar bingar, risiko untuk timbul dan tenggelam memang selalu ada.
Beberapa perupa yang berpartisipasi di sini sudah cukup veteran mengisi berbagai gelaran bertingkat nasional hingga internasional, namun mereka seperti turun membaurkan karya mereka dengan bunyi klakson dan deru mesin hingga keriuhan jalan Braga yang membuat kita susah masuk dalam suasana kontemplatif – seperti umumnya galeri-galeri yang memberi jeda hening pada pengunjung yang datang untuk menikmati traktiran visual dan reflektif.
Bahkan lepas dari bingarnya agora Braga dan pusat keramaian wilayah alun-alun dengan segala bunyi dan bising yang beradu kuat menggapai tempat pertama untuk memekakkan telinga, tata letak karya pun terhitung bising dan riuh. Beberapa karya diatur tanpa aturan tertentu dengan tujuan tertentu. Semua seakan mencoba meloncat langsung ke mata, seperti pedagang pasar yang dengan agresif mencoba memburu pelanggan, bahkan sampai kita beralih berlalu mereka masih mengejar. Demikian pula dengan karya-karya ini yang hadir dengan teriakan mereka masing-masing. Semuanya berteriak pada saat yang bersamaan, dan dengan itu mereka menghadirkan sebuah kakofonik – berbagai suara yang mencoba menyeruak tanpa menunggu yang lain.
Baca Juga: RUANG RENUNG #7: Jeda Titik Transit dalam Repetisi Identitas
RUANG RENUNG #8: Merengkuh Realitas dalam Serpihan Cermin-cermin Retak
RUANG RENUNG #9: Godaan Tertib dalam Rangkulan Kenakalan Hasrat
Gudang Tetangga dan Harta Karun Kita
Mujurnya – dan bukan sialnya – di pasar kita bisa menemukan harta karun. Seperti kebahagiaan yang ditawarkan oleh temuan-temuan harta yang tidak bisa dilukiskan oleh kata-kata. Singkatnya, ini adalah sebuah upaya menghadirkan kembali pasar rakyat yang sebenarnya lahir di Eropa sebagai benih-benih pemaparan visual karya-karya rupa – sebelum galeri dan balai lelang mengambil alih dan kolektor berpunya menggantikan para pembeli yang biasanya mengenakan sandal dan berpakaian senyamannya. Penemuan ini pun dimeriahkan dengan tema yang cenderung bebas: antara kurator dan perupa seolah ada tawar menawar yang umum kita temui di pasar-pasar tradisional. Dengan longgarnya tali ikat tematik yang biasanya memilin para seniman dalam jalinan tenun yang tertib, mereka sekarang bisa bernapas lega untuk berteriak menarik pengunjung.
Arman Jamparing (Act Move) yang rutin menggelegar tidak kehilangan rutinitasnya dengan karya grafis dari ujung dinding yang satu ke ujung dinding lainnya; Patriot Mukmin, yang biasa disapa Majong, hadir dengan ritual rutin anyam-anyaman spiritualnya; Erwin Windu Pranata hadir dengan rangkaian foto-foto fetish penuh dengan simbolisasi erotic; serta Muhammad Reggie Aquara dengan ilusi optisnya. Beberapa perupa lain pun tidak kalah lantang dengan pelantang karya masing-masing. Pameran ini dibuka dengan ritual basuh diri – sebuah upacara yang terbilang universal di budaya mana pun di permukaan planet ini, oleh Angga Wedhaswhara. Angga membasuh diri di bawah payung yang memastikan pemakainya basah kuyup, dan kemudian menggantung artefak kostumnya di ruang pamer. Basuhan Angga ini sangat padat dengan polesan kontemporer yang menghidupkan jejeran foto – yang juga artefaktual – yang ada di sisi kanannya.
Prelude seakan menawarkan kembali pemahaman Jean-Luc Nancy soal persoalan imaji. Nancy mengangkat kritik Kant tentang Schwärmerei – bahwa imaji tidak lantas berarti begitu saja secara spiritual. Karya-karya di gelaran ini mengambil peran intuitus derivatus, dan bukan intuitus originarius. Dalam intuitus derivatus – derivat realitas intuitif – imaji (Bild) hadir sebagai Einbildung – atau Einigung dari imaji – Bild – itu sendiri. Einbildung memberi kebebasan dan waktu – freedom and time – pada pengamat. Pengalaman mengimaji akhirnya terbenam dalam interior intimo ipso, sebuah momen yang sangat intim saat interaksi antara pengamat dengan karya menjadi skematik: sebuah skema pre-(s)-ents self presenting; sebuah amalgam antara es bildet dengan vor-bildet. Imaji yang berbicara lantang bagai rayuan pedagang di sebuah pasar siang.
Memahami “Apa” dalam Gamitan “Bagaimana”
Ilusi optis yang diangkat Reggie – saat jarak mengangkat dua matra beralih ke dimensi tiga – persis menjabarkan yang dikatakan oleh Nancy: “ein Bild ist was sich einbildet und wie es sich einbildet” – imaji adalah what dan how sekaligus, dan bukan sekadar what. Parade lantangan para perupa ini mencoba “menegur” kecanduan kita akan “apa” yang kerap mengabaikan “bagaimana”. Inilah oleh-oleh yang bisa kita bawa pulang dari pasar imaji intelektual yang digelar di tengah agora Braga dan Asia Afrika ini.
Namun demikian, kebisingan eksternal venue dan sekaligus internal susun letak boleh jadi membuat kita abai terhadap pesan dari para perupa ini. Tahun 2023 yang sekarang sudah berkurang satu bulan ini mungkin menjadi tahun biasa dengan segala kemungkinan yang biasa-biasa saja. Kita sekadar melihat “apa”, tanpa tahu harus “bagaimana”. Berbagai peristiwa bisa menjadi sekadar peristiwa yang berlalu tanpa memberi kita apa pun. Jeda epistemik “bagaimana” mungkin bisa menjadi pengantar – sebuah prelude – bahwa selalu akan ada kebaruan dalam setiap keseharian yang kita jalani waktu demi waktu.