RUANG RENUNG #7: Jeda Titik Transit dalam Repetisi Identitas
Different Realities, sebuah mini-pameran di perpustakaan Goethe Institut Bandung. Mengeksplorasi batas-batas, atau margin, dari fotografi.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
13 Desember 2022
BandungBergerak.id—Bagi yang tidak pernah mendengar kata identidem, identitas mungkin terasa seperti sebuah kata yang tidak pernah bergeming. Uniknya, kata dalam bahasa Latin identidem berarti mengulang-ulang – lagi dan lagi dan lagi. Identitas selalu bergerak maju untuk kemudian mundur dan berosilasi tanpa henti. Kata yang kita anggap diam beku membisu ternyata selalu berada di tempat yang berbeda setiap kali kita melihatnya. Sabrina Asche, sang kurator pameran persis menangkap kenyataan itu. Tidak heran bila tajuk mini-pameran di perpustakaan Goethe Institut Bandung ini adalah Different Realities, sebuah pameran dengan nada Deleuzian yang sangat kental yang sekali lagi mengeksplorasi batas-batas, atau margin, dari fotografi.
Masih terkait dengan Bandung Photography Triennale 2022 (BPT 2022) yang berakhir bulan Oktober lalu, Asche dengan para peserta lokakarya yang diadakan pada saat BPT 2022 memang memberikan kejutan. Asche sebagai seniman yang turut berpartisipasi dalam triennale tampil mengejutkan. Ia membawakan semua elemen fotografi secara lengkap dan kemudian “membunuhnya”. Asche mencoba menghadirkan kembali roh – soul – dari fotografi. Sebuah tindakan penyangkalan realitas dengan tujuan menghadirkan realitas itu dalam keutuhan dan bebas distorsi rentang perseptif manusia. Bersama seniman bimbingannya, kini Asche kembali menyasar garis-garis terluar dari fotografi dengan tujuan sama dan modus operandi yang berbeda.
Gilles Deleuze, seorang filsuf Perancis, menolak kebekuan realitas yang dikunci dalam peti mati verbal dan paku-paku verbum yang menyegel jenazah di dalamnya. Salah satu gagasan Deleuze adalah tentang repetisi tanpa henti, yang menjadi prasyarat dari realitas yang paling riil. Catatan Deleuze sebenarnya sederhana: kita membuat segala sesuatu menjadi berbeda karena kita tidak pernah melakukan hal yang sama saat kita mengulang semua hal yang menurut kita itu-itu saja. Ini berarti kita bisa merevisi sebuah pepatah lama menjadi “there is nothing old under the sun”. Sejalan dengan spirit Deleuzean tersebut, Asche menghadirkan pengulangan dalam dua sisi yang berbeda.
Sisi pertama adalah lokasi. Pameran mungil ini diadakan di perpustakaan, dan satu hal yang pasti dari perpustakaan adalah buku fisik yang keluar masuk rak. Sebuah rak dengan demikian tidak pernah sama – komposisi buku yang ada di dalamnya pasti berbeda. Bandingkan dengan karakter statis ruang pamer manapun dengan bingkai yang tidak akan berubah selama berminggu-minggu. Asche mementahkan karakter ruang pamer dengan cara yang cukup ekstrim: “bingkai” rak buku dari mayoritas karya di “ruang pamer” terus berubah, dan mereka tidak pernah berada di tempat yang seratus persen sama.
Sisi selanjutnya adalah kehadiran foto sebagai gugatan atas foto. Sekali lagi, seolah melanjutkan ritme BTP 2022, seniman-seniman besutan lokakarya ini tampil sebagai foto yang dipamerkan di layar dan diperlakukan sebagai foto. Dalam kerangka teknis, persoalan ini memang tidak mudah. Seni video menjadi kosakata yang lebih tepat untuk menggambarkan lirik-lirik imagerial karya-karya di pameran ini. Asche memilih untuk menghadirkan kediaman foto dalam gerak video. Ada jeda-jeda momen yang kokoh dalam tembok-tembok transparan yang membuat transisi antar imaji menjadi garis-garis difraksi sublim yang menyembulkan keberadaan foto. Singkatnya, Asche kembali “mem-foto-kan” video; dan menghadirkan roh imaji kembali bersih dari distorsi persepsi.
Baca Juga: RUANG RENUNG #6: Baris-baris Sajen Tertanah, Bertanah, dan MenanahRUANG RENUNG 5#: Ruang yang tidak Bisa Digenggam
RUANG RENUNG #4: Mencari Celah di antara Pejalnya Kerja
RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer
Titik yang Berseberangan
Ada dua titik berseberangan di dalam pameran ini. Septi Maulina memilih untuk hadir di bagian yang paling “hangat” dari ruang pamer, namun kehadirannya hanya diisi dengan tiga arah tatapan mata. Sebaliknya, Stella Anjani memilih dingin gerus anginnya jendela sebagai tempat menaruh tablet foto karyanya yang hanya dapat dilihat dari luar – dari area parkiran motor. Keduanya seperti dua titik paling ekstrim yang memberi ruang spektral bagi karya-karya rekan seniman lainnya. Septi memilih untuk menampilkan gerak sublim, dari identitas sementara Stella menampilkan sisi vulgar dari keriuhan imaji-imaji media sosial yang cukup keras untuk menembus kaca buram jendela sekalipun.
Pesan keduanya cukup kental dalam kerangka repetisi yang diangkat Deleuze. Septi berangkat dari kegelisahan untuk tinggal di dalam satu bingkai identitas yang sama dari generasi matrilineal yang satu ke generasi matrilineal selanjutnya. Bingkai kulturalnya sebagai etnis Minang ternyata memicu perdebatan internal dalam diri – sebuah gerak argumen tentang ke-saya-an yang tidak pernah bisa dibungkam diam. Gerak kegelisahan yang sama juga ada dalam teriakan visual Stella yang menolak peminggiran peran identitasnya sebagai seorang Tionghoa keturunan. Rangkaian swafoto yang ia tampilkan – yang biasanya ditujukan untuk pengikut media sosial – kini ia lepaskan untuk siapa saja – sebuah gugatan frontal atas represi budaya yang ia alami. Keduanya, baik Septi maupun Stella, tidak menyangkal “kode genetik” kultural yang mereka warisi, namun tidak juga mereka terima begitu saja.
Diam adalah bencana bagi identitas karena segala ekses ketidakseimbangan bisa mengambil alih – membajak – identitas untuk tujuan apapun yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sang pemilik. Namun bersuara lantang tanpa kendali juga tidak mengembalikan titik keseimbangan identidem ke ranahnya. Otokritik adalah bekal dari pengulangan identitas yang sehat, dan tugas dari siapa pun yang beridentitas adalah untuk mengamini wujud etimologis dari kata identitas itu sendiri. Hanya bila gerak osilatif dari afirmasi dan negasi identitas dimungkinkan, realitas yang paling riil bisa dicapai. Dengan demikian, dalam repetisi yang tidak mungkin kita nafikan ini, jeda-jeda titik transit menjadi wasit yang sah untuk memeriksa jawaban-jawaban atas pertanyaan sesederhana “siapa saya”, tanpa jatuh dalam fanatisme etnis atau sebaliknya, penelantaran akar budaya.