• Kolom
  • RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer

RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer

Pameran di Ruang Dini, Bandung, menampilkan coretan-coretan karya anak-anak. Pameran ini menunjukkan karya yang memberi.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Karya berjudul The Goose dan The Cheese yang dibuat Saffron Sky Adrian yang dipamerkan dalam pameran di Ruang Dini, Bandung, Oktober lalu. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)

24 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Dua orang sibuk membaca sebuah tulisan seorang anak yang sudah masuk dalam kategori karya di Ruang Dini, Bandung, Oktober lalu. Mereka mengejanya persis seperti sang anak mengeja kata-kata dalam bahasa Inggris. Kedua pasangan itu membaca dengan bangga, an mengusung linguistik kekanak-kanakan mereka dengan sepenuh hati. Ini hanyalah sebuah contoh kecil tentang bagaimana inklusivisme sudah mulai mendapatkan ruang.

Utang-utang Kemanusiaan Kita 

Jean-Luc Marion, seorang pemikir Perancis, mengangkat sebuah gagasan: dunia yang kita hidupi ini kita pinjam. Ini berarti bagi Marion kita semua hidup dari realitas terberi. Tugas kita dalam hidup adalah untuk mengembalikan apa yang dipinjamkan pada kita sebanyak mungkin. Keberhasilan kita adalah saat kita mampu menuntaskan hidup kita dalam upaya mengembalikan tanpa pamrih – itulah tugas manusia. Marion punya alasan, setidaknya ilmu fisika setuju dengan filsuf kontinental kontemporer itu.

Bila Anda dan saya berada di atas tanah di 0 meter di atas permukaan laut, maka Anda dan saya punya utang percepatan gravitasi yang sama, 9,8 meter untuk setiap kuadrat detiknya. Tarikan gravitasi ini hanya bisa dibayar lunas saat manusia bisa memberikan kecepatan awal sekitar 11 ribu meter per detiknya. Utang ini tidak murah, karena itu berarti minimal kita harus menyediakan 400 ton bahan bakar bila roket yang dipergunakan adalah Falcon 9 dari perusahaan yang dikomandoi oleh Elon Musk. Manusia memang belum punya cukup teknologi untuk melepaskan diri dari gravitasi tanpa bantuan bahan bakar cair.

Singkatnya, dalam perspektif fisika setiap gerak kita adalah upaya membayar utang. Justru kita dituntut untuk bertindak contra-naturam – membayar hutang-hutang kemanusiaan kita. Setiap kali kita bergerak kita membayarnya dengan energi. Saat kita menaiki tangga kita membayar tiket energi potensial yang diminta oleh lantai di atas kita. Saat kita memasak kita memindahkan upaya kita mengambil gas bumi dari dalam tanah untuk memindahkannya ke atas kompor. Singkatnya, kita secara Marion harus terus memberi untuk tetap manusiawi.

Ruang Meminta Versus Memberi

Ruang pamer yang meminta adalah perkara biasa. Sejak karya rupa menjadi auratik – meminjam istilah dari Walter Benjamin – dan bergantung pada monopoli kharisma senimannya, seni masuk dalam wilayah menuntut, bukan memberi. Seni pada awalnya adalah kegiatan untuk yang lain; sebagai sebuah kemungkinan untuk terkesima kata Katya Mandoki – “latched on” (2010), seperti bayi yang mulutnya menyatu dengan puting susu ibunya. Dengan keterpukauan semacam itu seni selalu menjadi untuk yang lain, inklusif.

Saat seni masuk ke dalam tembok-tembok ruang pamer, kuncian bata atau panel pajang semacam itu mau tidak mau meminta – atau bahkan menuntut kita untuk menjadi bagian eksklusif. Kedatangan kita ke ruang pamer justru untuk karya seni itu. Modernisme dalam seni mematri itu semua, dan membuat batas-batas tegas atas nama komodifikasi karya; hukum permintaan dan penawaran pun menjadi raja. Dalam gelagat komersialisasi semacam ini, akhirnya seniman tunduk pada pasar sebagaimana mereka tunduk pada raja atau tunduk pada penguasa.

Kehadiran kita di ruang pamer pun menjadi sangat bertolak-belakang dengan realitas kemanusiaan kita yang digagas oleh Marion. Karya yang manusiawi adalah karya yang memberi, dan kita malah datang untuk memanjakan karya itu. Pemusatan sebuah karya hanya pada satu titik eksklusif sebenarnya mencerabut karya itu dari marwahnya. Puncak eksklusivitas semacam itu bisa kita lihat dalam lukisan Mona Lisa di Louvre. Lukisan Da Vinci itu pun akhirnya menjadi hamba dari tiket museum.

Karya sudah sepantasnya untuk memberi, dan pemberian terbaik dari sebuah karya adalah kerelaannya untuk membuka diri. Membuat sebuah pameran yang menerima donasi buku adalah persis kebalikan dari eksklusivisme pameran yang super elitis. Kehadiran buku di dalam pameran itu adalah untuk memberikan dirinya bagi yang datang – sang buku bahkan hadir untuk melayani yang datang karena ia adalah yang diberi dan sekarang memberikan dirinya. Pada titik ini, buku donasi yang dipamerkan untuk membuat dirinya dibaca oleh yang lain adalah – menurut istilah Marion – keterberian (givenness) yang sesungguhnya.

Baca Juga: RUANG RENUNG #1: Menyeret Keluar Fotografi dari Kooptasi Media Sosial
RUANG RENUNG #2: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif
Kehidupan Biner Nol Sang Hikikomori di Tengah Megapolitan

Pameran bertajuk Hidup itu Ilustrasi Hidup di Ruang Dini, Bandung, Oktober lalu. Pameran ini menampilkan seni rupa karya anak-anak. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)
Pameran bertajuk Hidup itu Ilustrasi Hidup di Ruang Dini, Bandung, Oktober lalu. Pameran ini menampilkan seni rupa karya anak-anak. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)

Mengingat Anak-anak sebagai Karya yang Memberi

Tidak mudah memang untuk mengubah paradigma pasar, dan mungkin tidak perlu diubah. Pameran di Ruang Dini ini mungkin adalah sebuah bentuk upaya elitis lewat berbagai kurasi. Namun demikian, ajakan untuk memberi setidaknya menampilkan multinarasi – ekstrema – yang hadir utuh secara berbarengan.

Pameran ilustrasi yang dikuratori oleh koletif Kokken+ ini mengambil judul yang menarik, “Hidup itu Ilustrasi Hidup.” Judulnya sendiri pun sudah siklik – diberi untuk memberi – dan kuratornya pun hidup dari klien. Namun masing-masing ekstremum bisa berjalan bersama-sama tanpa mengorbankan yang lain.

Salah satu peserta pameran, Saffron Sky Adrian, menampilkan The Goose dan The Cheese. Kedua corat-coret ini seperti meminta kita untuk membacakan cerita untuknya. Dengan membaca tulisan Saffron, kita membaca untuk pengunjung yang lain di ruang pamer ini. Saat suara sang pembaca terdengar oleh yang lain, kita bercerita untuk yang orang lain. Kita sekali lagi diberi untuk memberi. Kita diajak keluar dari jerat-jerat eksklusif yang biasanya menyesakkan ruang pamer.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//