• Kolom
  • RUANG RENUNG 5#: Ruang yang tidak Bisa Digenggam

RUANG RENUNG 5#: Ruang yang tidak Bisa Digenggam

Selasar Sunaryo Art Space mengadakan pameran maket-maket sang maestro dalam sebuah gelaran yang diberi judul Pro Forma Le Corbusier. Masih relevan?

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Relevansi desain Le Corbusier di abad yang penuh dengan persoalan skala global menjadi pertanyaan yang sangat menarik. Jawabannya bisa ditemukan dalam spirit yang digaungkannya tentang ruang. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

12 November 2022


BandungBergerak.idManusia sudah mengenal Çatalhöyük sekitar sembilan milenia yang lalu, 7.000 tahun sebelum masehi. Setidaknya sembilan ribu tahun sebelum Le Corbusier meneriakkan slogan “we must create the mass production spirit”, orang-orang yang tinggal di protokota Çatalhöyük telah memiliki semangat yang sama. Di era yang mengeraskan kebudayaan agrikultural ini, transisi dari masyarakat berburu dan meramu menjadi masyarakat bertani memang tidak mudah. Namun jauh sebelum orang-orang Minoan menemukan apartemen berlantai lima, masyarakat awal di daerah yang sekarang disebut Turki ini memang mendahului zamannya.

Le Corbusier seolah menjadi reinkarnasi dari spirit transisional semacam ini. Abad saat Corbusier bekerja adalah abad peralihan dari tinggal sebagai menghuni menjadi sekadar meninggali. Sebuah era saat manusia berubah dari manusia bebas menjadi karyawan – saat kota berganti menjadi pusat pelatihan dan penduduk kota tidak ada bedanya dengan buruh-buruh pabrik – kata pemikir Perancis Henri Lefebvre. Di abad ini pula kata Giddens, waktu dan ruang yang biasanya dikuasai oleh manusia menjadi sesuatu yang bersifat luar – “eksternal”. Waktu yang biasanya dinikmati sekarang menjadi kewajiban – kenikmatan temporal menjadi keharusan jadwal.

Selasar Sunaryo Art Space – atau lebih khususnya Selasar Paviliun – beberapa minggu lalu mengadakan pameran maket-maket sang maestro dalam sebuah gelaran yang diberi judul Pro Forma Le Corbusier. Kira-kira mengapa – atau lebih tepatnya – apa alasan menggali kembali desain-desain dari awal abad ke-20 yang diisi dengan perang -perang dunia brutal paling berdarah dalam sejarah manusia? Pertanyaan ini yang menarik untuk kita simak dan telusuri. Mencari relevansi Le Corbusier memang tidak mudah – sama problematisnya dengan memaksa seni lukis modernis agar relevan dengan persoalan-persoalan paling aktual seperti perubahan iklim.

Arsitektur sekarang memang serba salah. Dalam Towards a New Architecture, Le Corbusier mengatakan bahwa tugas seorang arsitek adalah untuk menubuhkan keindahan dari kerasnya wajah ekonomi sebuah bangunan. Ini berarti seperti seorang pemain akrobat yang berjalan memegang galah penyeimbang di atas seutas tali, mendesain ruang selalu berada dalam sebuah tegangan tanpa henti. Di satu sisi ekonomi, dan di sisi yang lain persepsi. Jatuh ke salah satunya bak terjungkal masuk ke jurang dan berujung pada bencana yang bukan sekadar visual. Arsitektur adalah seni yang dihidupi dan mungkin berisiko. Kesalahan desain bisa berakibat pada siksaan persepsi seumur hidup – bila yang digarap adalah rumah tinggal.

Di sisi lain, terlalu humanis bisa membuat harga melenting dan melambung tinggi. Bila yang didesain hanya sebuah rumah untuk satu orang, mungkin tidak akan ada masalah. Namun sebaliknya, jika yang menjadi bencana perseptif adalah sebuah kompleks perumahan, maka kesalahan desain pada titik ini menyentuh sisi historis. Memperbaiki sebuah gedung bertingkat tidak pernah murah apalagi mudah – entah dari sisi manapun kita melihatnya. Kesalahan sebuah lukisan bisa kita perbaiki dengan segera – dan mungkin solusi terbaiknya adalah gudang atau tempat pembuangan. Singkatnya, arsiteknya sebenarnya tidak boleh salah. Mereka adalah dokter bedah jantung di dunia seni, yang berbeda dengan dokter spesialis yang berurusan dengan bulu mata. 

Maket Villa Savoye karya Le Corbusier turut dipamerkan di Selasar Paviliun Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)
Maket Villa Savoye karya Le Corbusier turut dipamerkan di Selasar Paviliun Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

Baca Juga: RUANG RENUNG #2: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif
RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer
RUANG RENUNG #4: Mencari Celah di antara Pejalnya Kerja

Formula Corbusier 

Mengamini titik-titik ekstrem semacam ini jelas bukan pekerjaan mudah. Namun demikian, Le Corbusier ternyata bisa menemukan formula ampuh, dan ia tidak perlu jauh-jauh. Sebelum Corbusier, ruang adalah sesuatu yang relatif “bisa digenggam”; maksudnya, ruang bisa dengan mudah dilabeli untuk dikuasai. Ada sisi “dalam” dan “luar”. Ada kejelasan ruangan apa ini dan apa itu. Saat kita melihat, kita butuh kejelasan; setidaknya itulah spirit dari modernitas: harus ada label yang terukur dari semua elemen yang kita hidupi dalam sudut-sudut kota.

Corbusier kemudian menawarkan resep yang menjadi tradisi para arsitek setelahnya. Bila sebelumnya ruang bisa digenggam, maka Corbusier mencoba untuk membuatnya licin tak tergenggam. Persis seperti itulah komentar Yori Antar, seorang arsitek Indonesia, dalam kekagumannya terhadap maket Villa Savoye. “Kita tidak bisa tahu sisi luar dan sisi dalam”, demikian kira-kira tukasnya penuh semangat di malam pembukaan. Corbusier menghadirkan peluang untuk lepas dari genggaman kepastian label – persis seperti yang dikatakan oleh pemikir Elizabeth Grosz – bahwa ruang yang sesungguhnya kita hidupi adalah dimensi yang tidak mungkin kita genggam. 

Kembali ke persoalan mendasar: mengapa Corbusier, dengan beton-betonnya yang jelas sekarang tidak lagi bisa diterima dalam pergulatan manusia untuk mencegah pemanasan global di atas 1,5 derajat, yang menurut PBB semakin sulit dihindari? Jawabannya mungkin ada dalam semangat untuk menghadirkan sesuatu yang tidak bisa digenggam, dan untuk berhenti menyekap ruang dan membiarkannya tumbuh. Saat ini arsitektur bergerak ke arah desain biofilik – yang mengembalikan bangunan menjadi sesuatu yang tumbuh dan hidup. Persis seperti yang digadang-gadang oleh futurolog sekaligus teknolog Maurice Conti, masa depan terbaik manusia dengan mesin adalah pada kemampuan manusia untuk hidup selaras dengan alat bantunya – termasuk dengan teknologi yang menghidupinya.

Pameran ini, dengan demikian, mencoba mengingatkan kita bahwa era yang kita jalani sekarang tidak lepas dari kerelaan kita untuk berhenti mengekang dan menggenggam. Ruang sudah sepantasnya menjadi teman bermain manusia untuk menciptakan ide-ide. Menghidupi ruang berarti menghidupi gagasan, dan untuk itu manusia perlu untuk berhenti sejenak menguasai dan membiarkan dirinya mengambang di kolam permenungan. Sama seperti saat kita menyikapi air di kolam renang, gerak terbaik kita adalah dengan mengakui keberadaannya dan membiarkannya mendayung kita bergerak maju ke depan.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//