• Kolom
  • RUANG RENUNG #4: Mencari Celah di antara Pejalnya Kerja

RUANG RENUNG #4: Mencari Celah di antara Pejalnya Kerja

Penatnya siklus kerja membuat sang seniman mencari jeda untuk menikmati waktu yang hilang karena kesibukan kita yang tanpa akhir.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Pameran tunggal The Untold Story di Orbital Gallery, Dago, Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)

2 November 2022


BandungBergerak.id - Tidak sulit bagi kita saat ini untuk lelah tanpa hasil. Tidak berbeda dengan hamster yang berlari kencang tanpa hasil, kita didesain untuk hidup di zaman serba berlari di atas ban berjalan; tugas dan kesibukan membuat kita tidak pernah mencapai apa-apa selain membuang waktu untuk semua jadwal mekanis yang tidak pernah didesain untuk kepuasan kerja dan kebahagiaan hidup kita. Itulah mungkin yang diangkat dari personifikasi Tennessee Caroline pada sang putri pipi tembem yang hadir di pameran tunggal The Untold Story di Orbital Gallery, Dago.

George Ritzer pernah bicara tentang McDonaldisasi – sebuah derivat dari Fordisme abad lalu. Dalam McDonaldisasi setiap titik adalah profit; dan setiap tahapan barang dan jasa adalah barang dagangan. Menjual dimulai dari awal hingga akhir. Cerita pengantar tidur anak-anak pun jadi fulus di setiap lini. Itulah yang menjadi semangat korporasi yang menjual setiap sisi dari karakter seperti Cinderella dan Putri Tidur. Alih-alih menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak, mereka sekarang sudah jadi karyawan korporasi.

Iten sang seniman mencoba masuk ke dalam kehidupan sang tokoh mitik yang biasa menghidupi dunia anak-anak. Setiap tokoh kartun adalah keseharian anak-anak yang sesungguhnya; teman dialog yang hidup di dalam angan dan kepala. Dulu, saat cerita masih dititipkan di depan api unggun, imaji-imaji itu adalah teman dan sekaligus guru yang tidak pernah usai menemani masa belajar informal yang sesungguhnya, yang bebas kurikulum namun sarat nilai dan makna yang dapat membentuk kemanusiaannya.

Mereka, tokoh-tokoh itu, pun masih utuh dan tulus saat mereka adalah bagian dari kisah malam para orang tua yang mengantarkan anaknya tidur. Dalam cerita pengantar lelap itu ayahanda dan ibunda menghidupkan mereka untuk masuk dan menemani alam mimpi anak-anak mereka, sembari menyisipkan pesan-pesan kebijaksanaan yang membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi tanpa perlu terjebak dalam berbagai dogma keberagamaan yang kaku dan eksklusif. Tokoh dongeng dan cerita itu pun menjadi teman seperjalanan yang sampai kapan pun tidak akan pernah meninggalkan bocah-bocah mungil – bahkan hingga mereka beranjak dewasa.

Cerita-cerita dongeng seperti itu pun tidak selalu berakhir bahagia. “Happy End ist bei uns garantiert” – akhir bahagia adalah proses standardisasi ujung kisah yang sebenarnya tidak pernah baku saat Grimm bersaudara mengumpulkan berbagai cerita pengantar tidur dari berbagai keluarga di berbagai penjuru di Jerman. Hanya ketika cerita-cerita ini dikomodifikasi menjadi komoditas yang tidak hanya menghias mimpi tetapi juga menjadi tas sekolah, sandal, kaos, dan cangkir minumlah semua bentuk akhir bahagia semua para tokoh di perdongengan dimulai; titik yang menjadi penanda kontrak kerja mereka dengan komersialisasi gaya hidup.

Baca Juga: RUANG RENUNG #1: Menyeret Keluar Fotografi dari Kooptasi Media Sosial
RUANG RENUNG #2: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif
RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer

Pameran tunggal The Untold Story di Orbital Gallery, Dago, Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)
Pameran tunggal The Untold Story di Orbital Gallery, Dago, Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak/penulis)

Tanpa Jeda

Tenessee kemudian mencoba untuk menyelami tuntutan para putri yang menjadi karyawan korporasi atas nama hiburan. Sang seniman seolah membayangkan menjadi sang putri yang harus terus mengenakan kosmetik, mengikuti jadwal syuting yang tidak pernah kenal jeda istirahat, dan akhirnya masih harus tampil di berbagai barang dagangan tentang dirinya. Ariel – sang putri duyung, misalnya – kini tak ubahnya bagai eksekutif 40 tahunan yang kolom agenda di tabletnya tidak pernah tanpa jerat tulisan ini dan itu. Kebahagiaannya pun lenyap ditelan jadwal dan kesibukan tanpa henti apalagi jeda.

Dipaparkan dalam warna-warna kilap khas industri perfilman animasi saat ini, karakter glosofilik menjadi tema sentral yang bertarung dengan raut cemberut yang dengan mata memicing orang-orang yang punya segalanya tetapi tidak bisa menikmatinya. Bagai semut mati di gula, demikian pula ironi yang dihadirkan oleh Tennessee di atas kanvasnya. Kemewahan kilau dan kekayaan bentuk yang seolah menapak tekstur yang membuatnya menjadi multidimensional akhirnya berhenti menjadi sesuatu yang dekoratif; datar oleh rutinitas dan kepenatan duri-duri kinerja yang selalu menusuk pelan-pelan.

Untuk itu pula, mungkin, Iten menyiapkan kendaraan-kendaraan bagi para putri ini untuk sejenak pergi berlibur yang melupakan segalanya dan meraih kebahagiaan yang menjadi haknya. Lepas dari latar belakang pekerjaan desain dekoratifnya yang membuatnya leluasa mengimbuhkan realitas glosofilik semacam ini, sang seniman mungkin menitipkan kepenatannya pada mobil-mobilan mini untuk berjalan-jalan dan melepaskan kelelahan mental yang tidak pernah bisa digantikan dengan orderan selangit dan kilau di buku tabungan.

Kembali ke Ritzer, kita hidup di era yang memberi penekanan sangat kuat pada kinerja. Kita membeli tablet, laptop, ponsel, kabel, pengecas, dan berbagai pernak-pernik lainnya hanya dari satu merek tertentu untuk menjamin kinerja. Korporasi pun memastikan keparipurnaan kinerja dengan cara menjaga gerbang produksi dari hulu hingga ke hilir. Monopoli berubah menjadi monopsoni, dan pasar menjadi itu-itu saja. Tidak ada yang baru dari setiap produk baru yang mereka luncurkan. Saat globalisasi bergerak cair menetes ke segala sudut, kendali monopsonistik justru menjadi antitesis: gerak homogenisasi yang menyimpul hanya di satu titik kendali.

Seekor hamster mungkin tidak tahu bahwa ia sudah berlari sejauh ujung timur Bandung ke ujung barat, dan ia berada di kandang puluhan senti yang sama. Kita juga mungkin sudah menghabiskan waktu kerja yang sama dengan perjalanan kapal pesiar dari Jakarta kembali ke Jakarta setelah singgah di New York dan Marseille, namun yang kita dapatkan hanya kepenatan. Seorang pemikir Dan Ariely pernah mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa jika kita ingin menghargai waktu yang menyublim dalam kesibukan kita yang tanpa akhir, kita perlu menandai waktu itu dengan catatan-catatan yang memang ditujukan untuk kepuasan kita pribadi. Untuk catatan semacam itulah karya-karya ini dibuat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//