• Kolom
  • RUANG RENUNG #6: Baris-baris Sajen Tertanah, Bertanah, dan Menanah

RUANG RENUNG #6: Baris-baris Sajen Tertanah, Bertanah, dan Menanah

Pameran Pulang Pada Tanah di Selasar Sunaryo Art Space Bandung menghadirkan tanah dalam kelengkapan dimensinya.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Resep-resep Leuwigoèng (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

2 Desember 2022


BandungBergerak.id—Mungkin sedikit yang pernah mengulik hingga ke dalam dan menggali ketanahan dari kebudayaan yang selalu kita percakapkan di sela-sela jamuan dan ramah-tamah. Kebudayaan berhutang akar etimologis pada petik “kosa” kata Latin “cultura” – yang berarti bertanam di atas tanah. Berbudaya, dengan demikian, sudah selalu bertanah, karena setiap kali kata kultural meluncur dari interaksi palatal organ bicara kita selipan urun linguistik “tanah” ikut menyemat di dalamnya. Pengabaian kita atas pijakan membuat kita melayang – bukan sebagai simulakra – tetapi sebagai hantu-hantu peradaban.

Prilla Tania dan Adjo Akasia tahu persis bahwa pada mulanya manusia sudah tertanah – entah dari ketidaksengajaan seleksi alam Darwinian entah dari mitos-mitos nusantara dalam daftar panjang kreasionisme mitik – dan mereka menolak menjadi hantu-hantu budaya. Untuk itu mereka, dan enam peserta ruwatan lainnya, menghadirkan sesajen kebudayaan untuk sebuah peradaban yang kembali mendarat ke atas tanah, dan tidak lagi gentayangan mengganggu keselarasan tapa sang Nyai Pohaci. Upacara mereka adakan di Selasar Sunaryo Art Space, di Ruang B yang sekarang ramai oleh sapa renung tentang sang tanah.

“Pulang,” ujar para penyapa, “Pada Tanah” adalah sebuah bentuk aktivisme yang tenang tanpa angkat kepalan dan pentungan sambil menabrakkan diri ke perisai aparat yang rutin terlihat dalam drama-drama penggusuran yang selalu menjadi tajuk utama media-media yang butuh umpan klik. Kepulangan ini pun bukan sebuah proses sekali jalan, tapi sebuah perjalanan dalam ayunan cangkul berulang-ulang yang memadukan kata dan peluh. Keringat mengalir dari setiap dialog dengan permukaan tanah yang menghasilkan tanam dan tumbuh, sementara percakapan menyembul dari rasa ingin tahu penduduk di daerah Leuwigoèng, tempat proses kreatif ini berlangsung bahkan dari sebelum pandemi menginterupsi ritme kehidupan global.

Baca Juga: RUANG RENUNG 5#: Ruang yang tidak Bisa Digenggam
RUANG RENUNG #4: Mencari Celah di antara Pejalnya Kerja
RUANG RENUNG #3: Keluar dari Jerat Eksklusif Ruang Pamer
RUANG RENUNG #2: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif

Tertanah-Bertanah

Anil Gupta, filsuf Inggris, pernah menulis bahwa pengalaman bukan isapan jempol, dan cerapan indrawi tanpa pengalaman adalah sebuah kekeliruan. Menganalisis hasil pencerapan pancaindra memang langkah yang tepat untuk mengetahui dan membangun konstruksi pengetahuan, ujar Gupta, namun bukan langkah paripurna. Keparipurnaan pengetahuan hanya dapat dipenuhi saat pengalaman menjadi penyerta perjalanan dan memberi warna pada kalkulasi rasio. Itulah saat upaya kita untuk menggamit kasunyataan mulai membuahkan hasil. Bukan analisis empiris semata, dan bukan hanya pengalaman belaka. Seperti kepakan sayap seekor burung, seperti itu pula pancaindra dan pengalaman harus bersanding bersebelahan.

Pengalaman tentang menanah masih menjadi defisiensi pengalaman kita kaum urban yang bahkan hampir tidak pernah lagi menyentuhkan kulit kaki kita pada tanah ranum yang bukan hamparan rumput kota atau bahkan rumput sintetis. Pengetahuan kita tentang tanah menjadi sangat empirik – terlalu rasional – hingga di kepala orang kota tanah identik dengan barang dagangan; sesuatu yang transisional dan harus segera ditaklukkan oleh beton-beton bangunan untuk membuatnya ramah. Seperti yang dikatakan Gupta, pengetahuan empirik kita tentang tanah telah menjadi pseudo-pengetahuan yang semu dan palsu.

Tania dan kawan-kawan petapa lainnya menghadirkan tanah dalam kelengkapan dimensinya. Mulai dari apa yang ada di dalam tanah, yang dihasilkan oleh tanah, dan yang akhirnya menjadi cita rasa kuliner dari peluh dalam mengolah tanah. Bambang Trisunu dan Terranova Waksman, misalnya, menghadirkan rantaian panjang paparan visual dari resep-resep yang ada di Leuwigoèng. Tania menghadirkan biji dan sapu jerami yang menjadi penanda wajib dari sebuah ladang di satu sisi, dan di sisi lain guntingan kertas gelap penanda bayang pepohonan teduh dan rimbun yang masih kita jumpai di desa-desa. Agni Yoga Airlangga dan Nur Aini mendialogkan dua elemen alami pembentuk tanah dan tanam: api dan air, dalam perbincangan benang-benang yang tersambung di antara dua dinding yang berisi telaah rasional tentang cara mengelola ladang.

Peta gagasan Leuwilegoeng (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)
Peta gagasan Leuwilegoeng (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

Menanah

Manusia, kata sejarawan Yuval Noah Harari, mulai menjadi manusia yang bertanah saat ia bisa mengelola api, sebagai pemburu dan peramu. Dengan api ia bisa memasak makanan dan menghalau binatang buas, dan bertahan dari dinginnya malam. Saat manusia mencapai fase masyarakat agrikulturnya, api dan air adalah dua instrumen utama untuk berladang. Api mengubah ilalang menjadi pupuk alami, dan air memberi nutrisi. Dari dialog keduanya muncullah bulir-bulir padi, yang menjadi pilar asupan energi dari hampir seluruh masyarakat yang hidup di nusantara ini. Namun seperti yang juga diajarkan sejarah masa kolonial, tanah juga menyisakan satu catatan kelam.

Tanah pulalah yang menjadi magnet kaum kolonialis dan agrikulturalis. Tanam paksa di masa kolonial Hindia Belanda adalah sebuah praktik yang bukan saja historis, tetapi juga traumatis. Kemerdekaan Indonesia salah satunya disumbangkan oleh rasa senasib dan sepenanggungan atas air mata dan darah yang dititikkan di atas tanah. Jejak-jejak pahit tersebut juga tidak akan pernah hilang dari butiran tanah di pulau-pulau di negeri ini. Di pameran ini satu sudut luas didedikasikan untuk segala penderitaan yang ditangiskan dan dipekikkan di atas tanah. Pohon ranting kecil menjadi titik sentral dari bidang hitam yang diberi tulisan; sebuah tugu peringatan atas sisi kelam dari kebertanahan manusia.

Pameran ini dibuka secara visual dengan sebuah peta gagasan – mind map – sebelum pengunjung bisa menjelajahi sudut-sudut lainnya dan persis inilah oleh-oleh yang ingin dibagikan kepada kita saat meninggalkan ruang pamer. Setidaknya ketanahan kita yang selama ini tidak sengaja – tertanah – mulai kita miliki – bertanah. Saat kita sudah memiliki, para petapa yang meruwat sajen karya artistik di pameran kali ini meminta kita untuk mulai memikirkan kata kerja aktifnya, menanah. Pulang, dan lesapkan hakikat pijakan kemanusiaan kita pada tanah – yang selalu setia menatap setiap drama kehidupan kita apapun itu, dan tidak pernah meninggalkan kita dalam luka dan suka.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//