RUANG RENUNG #8: Merengkuh Realitas dalam Serpihan Cermin-cermin Retak
Hartanto memamerkan karyanya dalam pameran Limbo di Ruang Dini. Setiap kanvas dimulai dengan satu tarikan tegas horizontal yang menandai ritual negasi visualnya.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
2 Januari 2023
BandungBergerak.id - Kebenaran selalu mencoba untuk lepas saat kita singkap, aletheia, demikian kekhawatiran Heidegger hingga akhirnya ia mencoba untuk berhenti menjadi subjek yang mengobjektifikasi. Dari eksplorasi asimptotik yang cukup intens dengan filsafat timur, Heidegger mencoba membahasakan cara berpikir apofatik – menempuh via negativa: negasi – sebagai cara untuk menghadirkan yang ada. Pemikir dari generasi pasca-Heidegger, Jean-Luc Marion, selanjutnya membuatnya menjadi literal secara harfiah, dengan mencoret kata untuk menyingkap makna sebuah kata; kata “manusia” baru berarti, seturut Marion, saat “manusia” tidak hadir. Tindakan mencoret ala Marion ini menitis ke tangan dan kuas R.E. Hartanto dalam pamerannya yang bertajuk Limbo di Ruang Dini, Desember 2022 lalu.
Dalam analogi sederhana, pasir bisa digenggam bila tangan terbuka dan bukan mengepal, sake bisa dituang bila cangkir kosong, dan itu berarti kemanusiaan baru bisa dihadirkan ke kanvas saat manusia ditarik keluar dari bidang lukis. Pada titik ini, alegori hadir sebagai cara untuk menghadirkan realitas yang paling riil – kasunyataan – dari absensi spesies yang sekarang berjumlah 8 miliar jiwa ini. Yang paling riil tidak akan lari bila tidak pernah dikejar. Kengototan kita akan realitas absolut justru menghadirkan jurang yang tidak akan bisa kita seberangi. Satu-satunya cara untuk bercermin adalah dengan meremukkan cerminnya dan menemukan kesejatian imaji kita dari keping-keping cermin yang terserak.
Mas Tanto, demikian sapaan akrab R.E. Hartanto, mencoba untuk menarik garis tegas antara realitas yang kita angankan dengan realitas sejati yang sebenarnya hadir dan menunggu untuk kita rengkuh dan angkat. Setiap kanvas dimulai dengan satu tarikan tegas horizontal yang menandai ritual negasi visualnya. Titik negasi ini hadir lebih dulu sebelum elemen-elemen yang lain hadir, dan bahkan Hartanto menggaungkan gema garis anarko-negatif ini secara gradual dengan gradasi yang lembut dan halus. Saat ritual ala Marion ini tuntas, baru berbagai elemen bermunculan. Dalam terminologi Heideggerian, Tanto mulai dengan menyiapkan memberi lampu sorot pada being untuk membuka jalan pada kehadiran Beings – yang hadir dalam bentuk metafor yang sekali lagi menegasi kehadiran formal manusia.
Seakan tidak puas dengan penyangkalan forma homo sapiens-sapiens yang telah ia lakukan, Hartanto dengan tekun menarik oposisi biner negatif dari afirmasi visualnya. Dari enam cermin yang telah ia “remukkan” faktualitasnya, Tanto melanjutkan dengan melepaskan konteks spasio-temporal dan menawarkan liminalitas ruang yang nyaris membawa pengamat pada “tempat-yang-sepertinya-ada-tapi-tidak-mungkin-ada” – spasialitas “non-place” yang sekali lagi mengaburkan makna dari setiap kaitan tautologis yang mungkin muncul. Misi dekonstruktif ini menariknya tidak jatuh pada nihilisme – karena karakter meditatif dari latar – background – justru memberi ketenangan pada riuhnya panggung – foreground. Justru afirmasi terkuat yang bisa kita temukan dari cermin-cermin retak di ruang pamer ini adalah negasinya. Dan memang tidak mudah bagi sang seniman untuk sampai pada penyangkalan meditatif ini; pendekatan yang ia lakukan nyaris menyentuh titik asketik.
Askese ala Tanto ini masih ditambah dengan penegasan Kantian dengan renggutannya – enrapturement. Konsep ini dihadirkan Immanuel Kant untuk memberi justifikasi atas kehadiran keselarasan semesta yang bisa kita temukan dalam keindahan yang tidak jatuh pada perdebatan kusir de gustibus non est disputandum (“suka-suka gue”): bagi Kant tidak ada manusia yang memperdebatkan indahnya matahari terbit dan terbenam. Singkatnya, bahwa hakikat otoritatif itu ada dan kehadirannya akan merenggut – enrapture – siapa pun yang hadir di hadapannya. Ruang pamer terasa padat dengan sergapan visual dari enam kanvas yang berhadapan dan seolah berpasangan.
Baca Juga: RUANG RENUNG 5#: Ruang yang tidak Bisa Digenggam
RUANG RENUNG #6: Baris-baris Sajen Tertanah, Bertanah, dan Menanah
RUANG RENUNG #7: Jeda Titik Transit dalam Repetisi Identitas
Puisi-puisi Visual
Dari penuturan sang pelukis, Tanto, setidaknya sergapan alegori yang ia hadirkan mengakar pada arus-arus deras yang mengalir dalam Lucian Freud dan pasangan Yu Hong dan Liu Xiaodong. Freud menegasi keramahan dan keberadaban manusia dengan kekarnalan dan kebinalan manusiawi dalam komposisinya, sementara Hong dan Xiaodong membuktikan bahwa sergapan dan renggutan visual bukan omong kosong; sebuah kanvas tidak mesti hanya duduk manis dan menanti pengamat – lukisan bisa juga menatap dan memanggil keras pengamat yang disergap untuk meluangkan pandangannya. Namun demikian, misi pembacaan berlapis-lapis Hartanto bukan tanpa risiko.
Puisi-puisi visual yang ia hadirkan – sebagaimana puisi verbal pada umumnya – berisiko untuk hadir terlalu formal – apalagi Tanto memilih untuk menghadirkan wujud-wujud yang bisa dikenali dengan mudah. Misi alegorisnya bisa jatuh pada jebakan deskriptif, terutama saat negasi-negasi subtil yang ia tawarkan menjadi terlalu halus – terselip atau tersilap di antara traktiran dan jamuan permainan komposisi yang memang menawan. Bahkan pendekatan teknis yang ia lakukan memiliki cekungan algoritmis yang dengan mudah diisi oleh kekuatan komputasi dengan algoritma yang berkali-kali lebih perkasa – dengan lengan-lengan 3D printing dan robotika yang sekarang semakin halus dan mumpuni. Singkat kata, misi yang diangkat Tanto menjadi sangat berisiko dalam banalitas dunia AI generated images – imaji-imaji yang dihadirkan kecerdasan buatan – yang hanya mengenal langkah maju dan asing dengan langkah mundur. Sederhananya, ada tantangan serius dalam tawaran puitik ala Tanto – yang disiplin dengan struktur dan proporsi yang tertib dan matematis.
Namun demikian, seperti yang digagas Henning Beck, seorang pakar neurosains, masa depan cara berkesenian Hartantonian ini di dalam proses itu sendiri. Proses meditatif yang bersifat reflektif memiliki lompatan-lompatan imajinasi yang tidak akan bisa dialur-algoritmikan dengan cara apa pun. Errare humanum est – manusia memang cenderung keliru – bagi Beck adalah harta berharga yang hanya dapat direngkuh lewat proses meditasi dan refleksi. Kecepatan dan kekuatan menemukan antiklimaksnya pada ketenangan dan kesahajaan, dan persis di titik ini Tanto sudah menemukan tempat singgah tapa visualnya. Cermin-cermin yang diretakkan dengan sengaja ini adalah sebuah undangan ke rumah tapa tempat kita menemukan kembali manusia dalam kemanusiaannya.