RUANG RENUNG #9: Godaan Tertib dalam Rangkulan Kenakalan Hasrat
Mungkin di masa kecilnya tidak pernah terpikirkan oleh Yoyo untuk berkarier di dunia seni. Di pameran ini sang Uncle Joy memilih tetap menunjukkan kenakalannya.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
11 Januari 2023
BandungBergerak.id - Tri Haryoko Adi mencoba untuk masuk ke dalam memori masa mudanya yang disesaki oleh pecutan-pecutan hasrat yang menyala dan mengintip dari setiap celah rutinitasnya. Ingatan-ingatan itu kembali naik ke permukaan setelah sang “Uncle Joy” atau Yoyo, panggilan akrabnya, mulai menahap ke kehidupan setengah abad – 50 tahun.
Pameran yang diluncurkan dalam kerangka Janusian ini di Orbital Gallery Bandung mulai di 14 Desember 2022 dan berakhir di 15 Januari 2023. Seperti dewa Janus dalam mitos Romawi yang satu wajah menatap ke masa lalu dan wajah yang lain menatap ke masa depan, gelaran reflektif bertajuk Grafitikasi ini juga menatap ke belakang dan mengintip ke depan.
Sembulan-sembulan Juvenil Yoyo Jahil
Mungkin di masa kecilnya tidak pernah terpikirkan bagi Yoyo untuk berkarier di dunia seni. Mungkin pula yang memenuhi kepalanya saat masih menjadi “anak nakal” adalah keutuhan hidup berandalan – penuh dengan umpatan kesal tetangga dan kejaran hansip gang RW sebelah. Namun dari pameran ini kita tahu bahwa di usia paruh bayanya sang Uncle Joy memilih untuk tetap nakal memberandal – sesigap dan seberandal rutinitasnya menghantui dinding-dinding bersih sudut-sudut kota dengan cat semprot dan spontanitas gagasan.
Grafiti adalah lambang pemberontakan yang paling ideal untuk remaja tanggung dan dewasa muda yang gerah dengan kerasnya modernitas dan rindu akan pelukan kemanusiaan yang lentur dan cair. Persis demikianlah “jalan ninja” sang petualang jahil yang terus-menerus berkejaran dengan penjaga keamanan dan gelapnya malam, hanya untuk melihat karyanya kedaluwarsa dalam hitungan minggu atau bulan berakhir sebagai dinding-dinding putih polos.
Di masa formatif seorang Yoyo belum ada Banksy – seniman jalanan Inggris yang tetap di jalan. Yang ada pada waktu itu adalah seniman grafiti yang akhirnya dikenal, terkenal, dan lalu masuk tunduk ke dalam roda gigi sistem; dari panasnya aspal ke nyamannya ruang berpendingin udara. Banksy menjadi pahlawan karena ekstremanya, di titik ekstrem yang satu bahkan orang rela membiarkan cat semprotnya ditorehkan begitu saja saat Banksy menerabas ruang-ruang privat: bahkan bangga karenanya; sedangkan di sisi lain Banksy mencatatkan dirinya di balai lelang bahkan tanpa restu sang seniman sama sekali. Banksy tetap Banksy – lahir, besar, mulia, dan mungkin berakhir di jalan. Mungkin bila Banksy sudah jadi pahlawan urban jalanan di masa formatif seni jalanan Haryoko, sang Yoyo akan tetap berkeliaran dan tajam di antara kerasnya aspal. Namun waktu berkehendak lain dan ia memilih bekerja di bidang seni grafis sebelum akhirnya mendarat di antara deburan ombak dan derasnya arus di Bali.
Hampir satu setengah dekade ia habiskan di atas papan selancar hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke lingkaran seni dan mengambil nomor antrian di sistem alur kerja standar galeri, pasar, dan kolektor. Pecahan hantaran ombak memang memiliki daya magis, semagis seni jalanan yang tidak pernah bisa digenggam dan dibekuk oleh rapihnya kolom-kolom jadwal kerja harian. Bahwa belasan tahun ia habiskan berselancar bukan kebetulan, setidaknya kenangan ceria nan indah ini mewujud dalam warna-warna merah jambu yang menjadi tema utama dari pamerannya. Sapuan ombak pula yang memelihara kerinduan infantilnya akan nuansa polos yang hadir di pameran dalam bentuk objek-objek lugu seperti sepatu yang menolak kompleksitas makna yang dipaksakan. Gumpalan kain yang menjadi jembatan anamnesik masa lalunya pun hadir sebagai tombol-tombol mesin waktu yang membawanya ke ingatan amorf tentang kenakalan jujur tanpa pretensi.
Baca Juga: RUANG RENUNG #6: Baris-baris Sajen Tertanah, Bertanah, dan Menanah
RUANG RENUNG #7: Jeda Titik Transit dalam Repetisi Identitas
RUANG RENUNG #8: Merengkuh Realitas dalam Serpihan Cermin-cermin Retak
Sebuah Undangan untuk Tetap Nakal
Melanie Mitchell seorang pakar di bidang kecerdasan buatan mencoba memanusiakan mesin dengan sebuah pesan algoritmik yang sederhana namun penuh sentakan buat sang AI: DWIM – atau Do What I Mean. Singkatnya Mitchell ingin mesin paham manusia – dan bukan sekadar patuh. Misi Mitchell sederhana, yaitu untuk mematahkan argumen filsuf kecerdasan buatan Nick Bostrom dengan tesis ortogonalnya: bahwa nilai tidak akan pernah relevan dengan fungsi. Dengan kata lain, seturut Bostrom mesin tidak akan pernah mengenal nilai karena persoalan makna adalah beban mahluk biologis cerdas seperti manusia.
Namun demikian, bagi Mitchell Bostrom melupakan kenyataan fundamental: bahwa kecerdasan beririsan dengan nilai – values. Memaksa mesin untuk menerima nilai namusia mentah-mentah adalah sebuah anggapan yang keliru bagi Mitchell; dan menganggap mesin cerdas tidak bisa memiliki nilai adalah kekeliruan yang lain lagi. Singkatnya, mesin punya nilainya sendiri – kenakalan mekanis mesin intelektual.
Karya Last Coversation seolah menjadi jembatan untuk sisi Janus futuristik yang diajukan oleh Yoyo. Dengan melukis keluar kanvas dan merambah dinding pameran – yang jelas tidak akan bisa dibawa pulang ke rumah sang seniman dengan utuh, Uncle Joy mengingatkan kita bahwa persoalan nakal bukan sebuah sisi minus tanpa peran. Persis seperti dialog Mitchell dengan mesin lewat DWIM, Yoyo seolah mengajak pengamat untuk SWIM – See What I Mean. Yoyo mencoba mengingatkan kita bahwa kehidupan selalu punya sisi tawaran yang tidak akan bisa kita kunci dalam anggapan arogan bahwa ego adalah satu-satunya pemilik nilai. Di usianya yang menyentuh “kepala lima” Haryoko menawarkan oleh-oleh reflektifnya yang tidak akan pernah usang: untuk selalu usil dan jahil seperti anak kecil supaya tetap relevan di masa depan.
Pada titik inilah, Yoyo berada di simpang jalan. Kaki Janusian masa kecilnya masih menyisakan bara kejahilan dan keusilan, kaki masa tuanya terlihat seolah lelah dan penat dengan rutinitas yang akan segera ia jelang. Kenakalannya di pameran ini akhirnya menjadi sesuatu yang seolah dipaksakan; lepas dari dua karyanya yang usil menabrak batas kanvas, karya-karya lainnya bagai “anak baik” yang berusaha meraih pujian. Uncle Joy dalam Grafitikasi ini berusaha untuk tetap ceria, sekalipun alasan untuk itu mungkin sudah lesap dalam garis-garis waktu. Setidaknya ia berusaha untuk tetap nakal, meski ia kini melakukannya dengan tertib.